Ketercerabutan Kearifan Lokal

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*

Masyarakat Gayo merupakan sebuah masyarakat yang bersifat terbuka, toleran, dinamis, dan akomodatif. Banyak perubahan yang dialami masyarakat ini. Perubahan tersebut tentu tidak bersifat statis. Namun,bersifat dinamis baik yang menyangkut pola pikir, sikap maupun pola tindak. Terlebih lagi, pada saat perkembangan ilmu pengetahuan, informasi, dan teknologi serta perkampungan global (globalisasi) yang tanpa sekat terjadi, perubahan tadi menjadi kewajiban bagi masyarakat ini.

Bila kita runut lebih jauh, pelbagai perubahan tersebut dikarenakan dua hal, pertama: motivasi dari orang Gayo sendiri. Dalam istilah lokal dikenal dengan istilah bersikemelen (asal kata kemel=malu). Ber-sikemelen merupakan semacam kompetisi dalam istilah manajemen modern. Dalam manajemen masyarakat Gayo sendiri, ber-sikemelen tadi bermuara pada empat hal pokok yaitu cerdik, bidik, lisik dan mersik. Cerdik berarti cerdik, pintar, arif, bijak,  yang tentu tidak sebatas intelektual. Tapi, juga mengarah pada kepintaran emosional, spiritual, hati, dan fisik. Bidik berarti cepat. Yang terpenting, bagaimana mengutamakan kecepatan dalam menyikapi hidup. Bidik (kecepatan menyikapi hidup) akan menjadikan kuantitas dan kualitas hidup lebih baik (kebermanfaatan dan kebermaknaan hidup). Lisik, juga bermakna cepat termasuk juga unsur akselerasi di dalamnya, dan bijak dalam merencanakan, menyediakan rencana alternatif, menangkap berbagai peluang, dan siap dengan segala konsekuensi dari pertimbangan-pertimbangan, pilihan-pilihan, dan keputusan-keputusan yang telah diambil. Kata mersik sendiri berarti kuat secara fisik, sehat, dan mampu bertahan dalam berbagai kondisi (survive)

Kedua, dikarenakan pengaruh dari luar baik langsung maupun tidak langsung. Karakter terbuka, toleran, dinamis dan akomodatif tadi menghasilkan heterogenitas budaya pada masyarakat ini. Heterogenitas budaya tadi lahir dari interaksi budaya yang terjadi di titik-titik persebaran suku ini, mulai dari Takengon (Lut&Deret) termasuk Bener Meriah, Lokop/Serbejadi (Aceh Timur), Kalul/Pulo Tige (Aceh Tamiang), Gayo Lues (Gayo Belang), Aceh Tenggara (Gayo Alas) dan Aceh Selatan (sekarang/terutama di Betung).

Cerdik, bidik, lisik dan mersik (konsep manajemen dan motivator masyarakat Gayo/kearifan lokal) ini misalnya, tidak lagi dipahami secara mendalam. Hanya setengah-setengah dan sebatas kulit luar. Sebaliknya, pengertian dan pemahaman tadi tidak komprehensif, holistik (menyeluruh), dan tidak menyentuh wilayah substanif (mendalam). Begitu juga halnya dalam penerapan kearifan-kearfian lokal tadi (pola tindak). Hal tersebut semakin jauh dari rumusan konsep dan harapan dari pendahulu-pendahulu orang Gayo (muyang datu).

Masih dalam hal pemaknaan (memaknai/pola pikir), saat ini, juga terjadi perubahan mind set dari urang Gayo (yang mendiami tanoh Gayo), mulai berpikir instan dengan visi dan target yang rendah (gere bekekire naru). Orang Gayo tidak diarahkan untuk visi jangka panjang yang berkelanjutan (al-Gayoni, Lentayon, 2009). Pemahaman semakin sempit dan terbatas. Lebih jauh, perubahan-perubahan tadi tidak dikuatkan dengan kearifan lokal. Dalam istilah asing, kearifan lokal tadi dikenal dengan kearifan setempat “local wisdom” pengetahuan setempat “local intelligence,” atau kecerdasan setempat “local genious.” Kearifan lokal sendiri merupakan pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka (lihat Rajab http://www.depsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid+328). Sayangnya lagi, perubahan-perubahan yang datang, tidak dikuatkan dengan kearifan lokal yang dimiliki masyarakat yang mendiami tanoh Gayo. Banyak konsep-konsep (sesuatu yang datang dari luar) diterima mentah-mentah (unung-unung) tanpa filter. Padahal, belum tentu hal tersebut berterima dengan konsep, karakter, kearifan lokal, dan masyarakat tadi. Perubahan tersebut terjadi begitu saja dalam masyarakat ini. Dengan kata lain, perubahan tersebut lebih bersifat kebablasan. Tanpa pijakan yang kuat, rapuh, tidak berciri, mengendap, melembaga (meng-internalisasi), dengan arah, konsep, dan pencapaian yang tidak jelas serta evaluasi yang lemah (lihat http://yusradiusmanalgayoni.blogspot.com/).

Dalam sikap dan tingkah laku (attitude dan behavior) masyarakat Gayo juga banyak mengalami perubahan. Kebersamaan dan persatuan masyarakat ini sudah mulai berkurang (gere ne musara). Masing-masing individu dan komunitas di titik-titik persebaran tadi sudah menunjukan tingkat keakuan (individualistis). Tidak menunjukan ke-“kita”-an (sebagai sebuah suku bangsa). Juga tidak menguatkan identitas diri yaitu penguatan marwah dan nahma tanoh tembuni. Lebih luas lagi, masyarakat Gayo dan Aceh kini mulai berkiblat pada materi (ringit/pirak). Masyarakat tidak lagi melihat seseorang dari lisan, sikap, tindakan, tauladan, loyalitas, dan pengabdian yang baik. Sebaliknya, melihat dan menyandarkan ke materi (ringit, pirak/uang). Materi seolah menjadi motivasi dan ukuran dalam segala hal terutama setelah Tsunami. Dikarenakan masyarakat kita dibiasakan menerima, ‘berserah,’ tidak inisiatif,  dan disilaukan dengan uang tadi. “Barang kali sengaja diciptakan demikian”. Pada akhirnya,  masyarakat ini (Gayo, Aceh dan suku lainnya yang mendiami Aceh) semakin malas, bervisi/misi pendek dan lokal, jauh dari nilai-nilai keluhuran dan kearifan lokal tadi. Tak jarang, kebiasaan menerima dan pasrah yang dimaksud, akan memunculkan konflik sosial baru di Aceh lebih-lebih saat tidak adanya lagi NGO-NGO (terutama NGO asing), serta berhentinya bantuan dan pemberi bantuan tadi. Lebih jauh, kita (suku-suku di NAD dan bangsa ini) akan tetap dan selalu tergantung dengan uluran tangan dari bangsa lain (tidak berdikari).

Dalam pola tindak juga mengalami hal yang sama/terjadi perubahan. Katakanlah, dalam penyelesaian sebuah masalah (perkara), tidak lagi dengan cara genap mupakat (musyawarah), mengedepankan penyelesaian kekeluargaan, resam, dan adat istiadat setempat. Kerap terjadi, setiap permasalahan yang muncul berujung pada penyelesaian secara hukum (kepolisian dan pengadilan). Akibatnya, terjadi dendam yang berkelanjutan. Perlu dipahami, bukan berarti penulis anti dan menolak hukum positif yang berlaku. Namun, jalur tadi ditempuh sebagai solusi akhir setelah pendekatan pribadi, keluargaan berdasarkan resam dan adat istiadat yang berlaku (kearifan lokal). Nilai-nilai, ‘rasa,’ penerapan keramat mupakat tidak lagi dirasakan. Begitu juga kearifan-kearifan lokal tadi, tidak lagi menjadi semacam tawar (obat, penyejuk/solusi). Sebaliknya, hanya sebatas simbol dan bersifat pengulangan yang tak berarti, menggugah, merubah, dan berdampak positif bagi masyarakat ini (bersifat seremonial).

Tak jarang pula, akibat ekses (dampak) sosial dan politik yang melanda daerah ini (titik-titik persebaran suku tadi), dalam pola tindaknya berakibat pada pemutusan silaturrahmi, kekeluargaan, dan merenggangkan hubungan sosial kemasyarakatan (gere ne musara). Salah satu contoh yang paling nyata adalah pada saat pemilu “pemili legislatif” yang lalu. Anggota keluarga yang satu tidak lagi menyapa anggota keluarga yang lain (gere besiceraken/bersiturin). Curiga yang berlebihan dan tidak mendasar. Begitu juga untuk ukuran keluarga dan kelompok yang lebih besar (baca: tim sukses, individu/bagian keluarga tadi), saling menjelekkan, menjatuhkan, dan membunuh karakter masing-masing. Persoalan ini menjadi semakin sensitif dan dapat memicu munculnya konflik horizontal pada tingkat yang lebih luas. Bahkan, masyarakat ini dengan mudah dipecah belah oleh kepentingan sesaat dan tidak mengutungkan posisi dan nilai tawar mereka sendiri. Gambaran ini tak ubahnya seperti konsep dan pola yang dijalankan Snouck dulu (tahun 1901). Kalau sudah begitu, yang terjadi tulok wan opoh kerung, besisengkelit^ten, besisekut^ten (sikut kuen kiri), dan reloh/retul (saling menjatuhkan).

Dalam hal pembangunan fisik juga, kerap terjadi, “pemerintah serumpun” (terutama Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues dan Bener Meriah”) kerap mengabaikan pembangunan “warisan fisik” yang sudah ada. Bangunan tadi dianggap kuno, tidak artistik, tidak bernilai, dan tidak punya nilai jual. Warisan fisik tadi digantinkan dengan bangunan baru yang semakin jauh dari ciri dan karakter lokal. Padahal, bukti sejarah fisik (bukti arkeologis) tersebut merupakan akumulasi perjalanan sejarah suku ini (urang Gayo dan tanoh Gayo). Konsekuesinya, sekarang dan ke depannya, masyarakat ini tidak memiliki bukti sejarah fisik sebagai bagian dari identitas diri dan pelurusan sejarah keidentitasan tadi.

Sebagai tambahan, sejak suku ini mendiami Aceh untuk pertama kali (sebelum masehi) sampai sekarang, mereka (orang Gayo) belum memiliki museum Gayo (negeri Adi Genali). Pembangunan museum tersebut hanya sebatas wacana di atas kertas dan semacam pemanis (lip service) dari reje-reje yang hendak mendapatkan bawar (penguatan dan legitemasi kekuasaan dari rayat, rakyat-nya). Pada akhirnya, nanti suku ini akan hilang terlebih di tengah perkampungan global (globalisasi) yang tanpa sekat dan batas. Kondisi tersebut tak ubahnya seperti kekeberen (salah satu sastra lisan Gayo/cerita sebelum tidur). Hal-hal yang menyangkut suku ini, bermula dari kekeberen (meski mengandung nilai, otentisitas, dan validilitas kebenaran), tapi kemudian berakhir juga dalam bentuk kekeberen (menjadi cerita masa depan). Sungguh menyedihkan.

Banyak sekali kearifan-kearifkan lokal yang dimiliki suku ini. Namun, saat ini, sayang dan ironisnya, kearifan-kearifan lokal tersebut hanya sebatas konsep, simbol, dan pengulangan yang tak berarti. Tidak dimaknai secara menyeluruh dan mendalam (secara substantif). Tak lagi mampu menyentuh logika (pikiran), rasa (perasaan), sikap, dan pola tindak pelakunya. Kearifan-kearifan lokal (local wisdoms) tadi sudah mulai tercerabut. Bahkan, mulai ditinggalkan di tengah berbagai perubahan yang datang dan terjadi. Harapan penulis, masyarakat ini “urang Gayo dan yang mendiami tanoh Gayo” dapat merenungkan kekayaan kearifan-lokal dan warisan leluhur yang ada sebagai bagian dari identitas diri dan bangsa ini (Gayo)

 

Sumber: Majalah Lentayon Edisi VIII Thn III 2009

*Kolektor Buku Gayo dan Ketua Research Center for Gayo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.