Bagi orang luar Aceh Tengah dan Bener Meriah. Kata Tanoh Gayo identik dengan daerah pegunungan berhawa sejuk. Sebuah tempat yang subur yang memiliki perkebunan kopi dan sayur-sayuran yang luas serta pemandangan danau Laut Tawar yang indah.
Tidak banyak yang tahu kalau di Tanoh Gayo juga ada sebuah wilayah luas yang berhawa panas dengan vegetasi alam berupa padang rumput dengan beberapa tanaman perdu jarang-jarang. Struktur tanah dan vegetasi alam di tempat ini mirip struktur tanah dan vegetasi alam di daerah perbukitan Lamreung, Seulimum, Jantho, Samahani sampai ke Sibreh di Aceh Besar. Sedikit yang membedakannya adalah banyaknya pohon pinus yang tumbuh di sini.
Wilayah Gayo yang berhawa panas ini mencakup kecamatan Linge, dari Isaq, Penarun, Uning, Pantan Nangka, Linge, Jamat sampai ke Lumut di kaki gunung Ise-ise yang berbatasan dengan Gayo Lues ditambah dengan Uber-uber sampai Samarkilang di kabupaten Bener Meriah.
Saya sendiri adalah suku Gayo yang berasal dari wilayah yang berhawa panas ini.
Berbeda dengan saudara-saudara kami yang tinggal di wilayah Tanoh Gayo berhawa sejuk yang umumnya adalah petani kopi dan sayuran. Kami yang tinggal di wilayah ini, meskipun memiliki sawah untuk memenuhi kebutuhan hidup kami sehari-hari. Tapi dengan memanfaatkan potensi padang rumput yang luas di daerah kami. Umumnya mata pencaharian utama kami secara turun temurun adalah berternak. Jenis hewan ternak yang kami usahakan adalah Kerbau.
Daerah kami adalah pemasok utama kebutuhan daging untuk wilayah Aceh Tengah. Dan karena ternak yang kami usahakan adalah kerbau, otomatis daging yang banyak dikonsumsi masyarakat Aceh Tengah adalah daging kerbau. Bukan daging sapi sebagaimana yang banyak dikonsumsi di daerah lain.
Cara kami berternak tidak sama dengan cara berternak yang banyak diketahui orang. Yaitu dengan menambatkan hewan ternak di kandang dan setiap hari memberinya makan. Kami berternak kerbau dengan cara melepaskannya di alam bebas. Dan karena Kerbau adalah hewan yang sangat tertib, berbeda dengan sapi. Kami hanya perlu melepaskannya dari kandang setiap pagi dan pada sore hari menjelang maghrib, kerbau-kerbau milik kami akan pulang sendiri. Supaya kerbau-kerbau itu selalu ingat pulang, tiap habis maghrib kami memberinya garam yang langsung mereka jilati dari tangan kami sendiri.
****
Di masa Orde Baru, banyak daerah mengeluh karena kebijakan yang sentralistik. Karena Indonesia hanya memfokuskan pembangunan di Pulau Jawa yang padat penduduk. Aceh memberontak pada Jakarta juga karena masalah ini. Saat dalam posisi terpinggirkan ini, Aceh sangat bisa merasakan pahitnya. Tapi di Aceh sendiri, apakah masyarakat di daerah yang jauh dari pusat kekuasaan telah merasa mendapat perlakuan adil?. Ternyata tidak, di Aceh sendiri banyak daerah yang juga tidak puas. Masyarakat di daerah ini merasa kebijakan Aceh terlalu sentralistik dengan mengutamakan daerah-daerah yang penduduknya berbahasa Aceh dan menganak tirikan daerah lain. Gayo yang merasa tidak puas dengan kebijakan ini mengajak daerah-daerah lain yang mayoritas penduduknya tidak berbahasa Aceh untuk melepaskan diri dari Aceh dan membentuk provinsi baru.
Seperti Aceh yang ingin melepaskan diri dari Indonesia dulu. Dalam propagandanya mengatakan, dengan lepas dari Indonesia. Aceh akan menjadi sejahtera dan semua daerah akan diperlakukan dengan adil. Gayo juga sama, saat mengatakan ingin mendirikan provinsi baru. Para pendukung ide inipun sama saja, menjanjikan masyarakat yang sejahtera dan keadilan akan merata di calon provinsi yang mereka namakan ALA.
Aceh saat mendapat kekuasaan yang lebih luas dari sebelumnya.Terbukti sama sekali tidak bisa menepati janjinya. Lalu bagaimana dengan ALA, kalau nanti berdiri apakah akan mampu menepati janjinya?. Kita belum tahu, tapi untuk mengetahuinya ada baiknya kita lihat selama ini. Apakah orang Gayo sudah berlaku adil kepada semua masyarakatnya?. Mari kita lihat.
Wilayah Gayo yang berhawa dingin ini biasa disebut wilayah Lut. Sementara kami yang tinggal di wilayah Gayo yang berhawa panas ini disebut Gayo Deret, yang secara harfiah berarti Gayo luar. Dan kenyataannya, sebagaimana sebutan harfiah itu. Dalam prakteknya, kami memang benar-benar orang Gayo Pinggiran.
Sejak Indonesia merdeka hingga sekarang. Segala dinamika politik, ekonomi dan sosial budaya Aceh Tengah melulu berputar di daerah-daerah padat penduduk di Kota Takengen dan sekitarnya. Segala pembangunan politik, ekonomi dan sosial budaya berkisar di wilayah ini. Tidak ada banyak orang yang peduli bahwa di tempat lain yang berhawa panas masih ada orang Gayo juga yang seharusnya juga memiliki hak yang sama untuk menikmati hasil pembangunan.
Dinamika sosial politik yang unik di Gayo Lut. Dengan segala persaingan antar mereka. Membuat orang Gayo Lut menciptakan sebuah bentuk kesenian yang aneh, bernama didong jalu.
Kesenian yang menampilkan nyanyian yang diiringi musik tepukan tangan para pengiring ini saya sebut aneh, karena kesenian ini mempertujukkan dua kelompok didong. Biasanya dari desa yang berbeda, untuk bertanding semalam suntuk saling mengejek dan menghina.
Kedua kelompok yang bertanding masing-masing dipimpin oleh seorang ‘lead vocal’ yang disebut CEH. Mengolok-olok, mengejek dan merendahkan lawan dengan nyanyian yang langsung diciptakan di tempat. Dengan lirik berupa pantun berima yang terdengar ‘catchy’ di telinga dan gampang melekar di kepala. Ejekan dan olok-olok itu tidak harus sesuai dengan fakta, tapi melulu berdasarkan imajinasi sang Ceh. Sebagai contoh, dalam satu didong jalu yang saya saksikan di Banda Aceh yang mempertandingkan dua group Didong asal Gayo. Dalam mengolok-olok lawannya, seorang ceh mengejek lawannya sebagai orang kampung yang belum pernah ke kota. Si ceh mengatakan, ketika ceh lawannya itu mampir ke toko pakaian dan melihat manekin yang cantik. Dia langsung masuk ke dalam toko dan mengelus-elus tangannya, karena menyangka manekin ini adalah seorang bidan desa ( saat itu di Gayo, perempuan yang berprofesi sebagai bidan desa sedang naik daun dan menjadi calon istri idaman).
Sepertinya pengaruh kesenian ini telah membuat orang Gayo Lut sangat mahir membuat olok-olok yang indah berima, ‘catchy’ di telinga dan mudah melekat di kepala. Olok-olok serupa pantun tersebut ditujukan kepada sekelompok orang yang tidak betul-betul mereka kenal.
Kami yang berasal dari wilayah berhawa panas yang tidak benar-benar mereka kenal ini adalah salah satu sasaran empuk olok-olok ini. Untuk kami mereka menciptakan sebuah pantun yang berbunyi “Urang Isaq pekak-pekak, kesing ungi taring ungak”. Dalam bahasa Indonesia, pantun ini berarti ” Orang Isaq, goblok-goblok, membuang ingus tersisa upil”. Pantun seperti ini tercipta karena bisa jadi pada masa itu secara umum orang Gayo Lut menganggap kami yang tinggal di daerah yang jauh dari pusat kota adalah sekumpulan orang bodoh dan jorok yang belum tersentuh peradaban modern.
Tapi kenyataannya, sampai pertengahan 80-an. Tidak banyak orang Gayo yang tinggal di wilayah berhawa sejuk yang benar-benar mengerti keadaan kami, orang Gayo yang tinggal di wilayah berhawa panas ini. Pada masa itu rata-rata orang di Takengen, takut berkunjung ke tempat kami. Karena dalam bayangan mereka. Isaq “kota” terbesar di wilayah kami ini dipenuhi oleh “Tukang Tube” dan “Jema Mudowa”. Kedua istilah ini dalam bahasa Gayo merujuk kepada orang yang memiliki kekuatan supra natural. “Tukang Tube” yang secara harfiah berarti TUKANG RACUN, merujuk kepada perempuan pemilik ilmu hitam yang suka mencelakai orang lain. Sedangkan “Jema Mudowa” merujuk kepada orang yang memiliki ilmu putih.
Olok-olok semacam ini bisa menjadi lucu-lucuan kalau diucapkan oleh seorang teman dekat. Tapi akan sangat memancing emosi kalau yang mengucapkannya adalah orang yang tidak terlalu akrab apalagi tidak dikenal. Pada waktu saya duduk di bangku kelas 2 SD, saya pernah berkelahi gara-gara ‘pantun'”Urang Isaq pekak-pekak, kesing ungi taring ungak”, diucapkan oleh salah seorang teman sekelas saya. Seperti yang terjadi dalam didong antar dua ceh, ejekan yang diucapkan oleh teman sekelas saya itu bukanlah kejadian sebenarnya. Karena kenyataannya, sejak kami kelas I, saya juga tidak pernah beringus. Sedangkan anak yang mengejek saya, saat itu membaca saja belum lancar. Tapi tetap saja, ejekannya membuat saya emosi dan perkelahian kami akhirnya didamaikan oleh kepala sekolah.
‘Orang asing’ lain, yang mendapat kehormatan dihadiahi pantun semacam ini adalah orang Aceh. Untuk mereka, orang Gayo Lut menghadiahkan pantun sejenis yang berbunyi ” Acih tengkang, meh oros nosoh gantang”, yang secara harfiah berarti, “Orang Aceh mengangkang, habis beras mencuri kentang”. Sementara untuk Etnis Minang, Jawa dan Tionghoa. Saya tidak pernah mendengar adanya pantun yang sama. Sampai hari ini saya masih belum paham, entah apa keistimewaan kami dan orang Aceh, sehingga hanya kami yang mendapat keistimewaan dihadiahi ‘pantun’ berima, ‘catchy’ di telinga dan mudah melekat di kepala.
Apa yang saya gambarkan ini adalah sikap orang Gayo Lut yang merupakan pemilik budaya Gayo mainstream kepada kami yang merupakan orang Gayo pinggiran, dari sisi sosial dan budaya yang terjadi pada masa lalu. Tapi sekarang meskipun masih ada ketidak mengertian di sana sini. Sikap seperti di tahun 80-an ini sudah banyak berubah.
Lalu bagaimana sikap mereka yang berkaitan dengan pemerataan dan keadilan ekonomi?. Apakah kami yang tinggal jauh dari pusat kekuasaan dimengerti oleh PEMDA Aceh Tengah, sama baiknya dengan Orang Gayo Lut yang tinggal di dekat pusat kekuasaan?. Apakah kami yang tinggal jauh dari pusat kekuasaan ini juga mendapat kue pembangunan yang sama adilnya?.
Saya akan membahasnya di bagian kedua tulisan ini. (Win Wan Nur)