Eskalasi Gerakan Mahasiswa Indonesia

Oleh : Iwan Bahagia S Paoki*

(Tanggapan terhadap tulisan Zulikfli)

 

Menanggapi tulisan Zulkifli dengan judul “Mahasiswa dan Peran Gerakan Kepeloporan” yang dimuat di Lintas Gayo pada Juni 2011 lalu , yang pada intinya memberikan dinamikai perjuangan mahasiswa sejak 1998 hingga sekarang, sejak Soeharto hingga Susilo Bambang Yudoyono (SBY).

Menarik memang jika kita dapat review kembali kebelakang tentang bagaimana responsibility mahasiswa terhadap gejala dan perubahan social yang kian masuk ke ranah pasar yang dengan kata lain mahasiswa di hadapkan dengan peroblematika kapitalism dan  imperialism yang ada dihadapan mata.

Tetapi Pergerakan mahasiswa mestilah dikemas dengan kreativitas yang menarik untuk menggiring banyak mahasiswa ikut dalam barisan baik dalam advokasi maupun aksi turun ke jalan dan media untuk mempublikasikan pergerakan mahasiswa dengan memiliki objek atau sasaran pelaku gerakan.

Tidak hanya teori mengenai isu kapitalisasi yang sejak dulu kita hadapi namun penyelesaian secara terkoordinir tidak dapat mahasiswa lakukan, yang ada malah mahasiswa menjadi bagian daris system tersebut ketika almamater  (Universitas/kampus) dimana mereka menuntut ilmu masih mennggunakan pola kapitalisasi langsung atau tidak langsung, dan itu realita yang nyata. Maka pertanyaan saudara zulfikar yaitu bagaimana mahasiswa mendukung keterwujudan gerakan yang bisa melepaskan diri dari belenggu struktural dan kultural dalam lingkup akademis? Adalah pertanyaan yang hanya mengarahkan mahasiswa lepas dari belenggu lingkup akademis, padahal ukiran prestasi di kampus juga bagian dari revolusi diri, sedang gerakan tadi terganggu dengan kebijakan kampus yang mulai tak bersahabat dengan jiwa idelisme mahasiswa.

“Musuh” mahasiswa sebenarnya bukanlah pemerintahan yang Korup atau Pasar moda asing alias Imprealism yang menjajah negeri ini, tetapi gejala social masyarakat seperti kemiskinan yang seperti dengan sengaja di ciptakan, juga budaya kemunduran rasa kemanusiaan yang adil (sense of advance humanity) sesuai dengan UUD 1945 yang seharusnya dijunjung tinggi seperti yang Zulkifli pernah sebutkan., terhancurkan sendiri (self destructive) dan tidak bersosial masyarakat atau tidak perhatian terhadap sesama (civic cultur). Kearifan nilai (local wisdom) juga keistimewaan local (local uniqueness), yang secara keseluruhan menjadi pra syarat kolektif untuk membangun bangsa dan negara.

Karena gejala social yang buruk juga berdampak buruk terhadap perjalanan bangsa ini terutama pemerintah yang berperan langsung sebagai penyelenggara negara karena para pemimpin negeri ini cenderung lupa terhadap gejala gejala sosial masyarakat yang terus did era oleh kalangan menengah kebawah.

Dengan demikian, segala ragam bentuk perlawanan yang dilakukan oleh gerakan mahasiswa lebih merupakan dalam kerangka melakukan koreksi atau kontrol atas perilaku-perilaku politik penguasa yang dirasakan telah mengalami distorsi dan jauh dari komitmen awalnya dalam melakukan serangkaian perbaikan bagi kesejahteraan hidup rakyatnya. Oleh sebab itu, peranannya menjadi begitu penting dan berarti tatkala berada di tengah masyarakat. Saking begitu berartinya, sejarah perjalanan sebuah bangsa pada kebanyakkan negara di dunia telah mencatat bahwa perubahan sosial (social change) yang terjadi hampir sebagian besar dipicu dan dipelopori oleh adanya gerakan perlawanan mahasiswa.

Di indonesia gerakan 1998 usai sudah, masyarakat mulai berkomentar dengan tuntutan reformasi yang telah di berikan mahasiswa untuk bangsa ini, tidak sedikit yang berkomentar miring karena ternyata perilaku para pemimpin negeri dengan orde baru jauh tidak jauh beda, tidak sedikit pula yang memberikan jempol untuk pemerintahan orde baru. Lantas ketika masyarakat bertanya, apakah saat ini hasil reformasi lebih memuaskan rakyat?

Terlepas dari hal tersebut diatas, mahasiswa sekarang di tuntut untuk lebih mereformasi diri tanpa mengenyampingkan tugas dan fungsi sebagai media control terhadap kebijakan pemerintah dan control terhadap social masyarakat, merevolusi dengan memberikan aksi lebih kreatif melalui daya intelektualitas dan media yang telah diciptakan pada abad ini.

Eskalasi gerakan mahasiswa saat ini telah sampai pada titik jenuh, ketika mahasiswa hanya di hadapkan dengan pekerjaan kampus karena almamater mereka sudah memberikan ketentuan yang terkoordinir, yang padahal belum tentu menjadi jaminan kesuksesan anak bangsa. Perlawanan yang harus diberikan dalam hal ini adalah pembuktian kapasitas diri mahasiswa dengan tidak hanya Talk Less Do More.

Maka belajarlah dari china dan perancis, bahwa revolusi tekhnologi mampu memberikan jati diri bangsa jika mahasiswa sebagai pelaku di dalamnya, karena system kolonialim yang Saudara Zulkifli sebutkan kini juga mengarah kearah tersebut, lantas apakah kualitas sumber daya mahasiswa mampu mengarah ke arah itu? Bukan kah bangsa ini butuh perubahan dari segala sector? Maka tidak lah lagi kita bicara tentang kepeloporan mahasiswa karena pada gerakan 1998 kepeloporan itu melahirkan tokoh besar yang belum banyak memberikan kontribusi besar bagi bangsa ini, dan kepeloporan mahasiswa saat ini lebih kepada kepeloporan tekhnologi dan local wisdom sebagai identitas negeri.

Jika kita dapat membandingkan gerakan 1998 dan gerakan saat ini teori Neil Smelser  yang memberikan pendekatan yang lebih komprehensif dalam munculnya perilaku kolektif. Menurutnya, ada enam syarat pra-kondisi yang harus terjadi; struktural (structural conducivenes), ketegangan struktural (structural strain), kemunculan dan penyebaran pandangan, faktor pemercepat (precipitating factors), Mobilisasi tindakan (mobilization for action), dan pelaksanaan kontrol sosial (operation of social control).

Dalam konteks gerakan mahasiswa di Indonesia, keenam syarat itu terpenuhi; pertama kondisi sosial masyarakat saat itu yang mendukung aksi-aksi mahasiswa, kedua adanya kesamaan rasa tertindas oleh pemerintah, ketiga penyebaran serta gagasan dengan landasan kebenaran, hak asasi manusia dan rakyat sebagai dasar perjuangan , keempat adanya faktor pemicu dengan gugurnya mahasiswa Universitas Trisakti yang kemudian berlanjut pada peristiwa lainnya , kelima adanya usaha mobilisasi aksi dengan berbagai elemen masyarakat dan terakhir adalah adanya tekanan dari negara atau bentuk kontrol sosial lainnya yang berusaha menggagalkan/menggangu proses perubahan.

Jika kita runut kepada gerakan mahasiswa modernis saat ini Frans Magnis Suseno mendefinisikan ideologi sebagai keseluruhan sistem berfikir, nilai-nilai dan sikap dasar rohaniah sebuah gerakan, kelompok sosial atau individu, yang berfungsi mempolakan, mengkonsolidasikan dan menciptakan arti dalam tindakan masyarakat. Sementara Destut de Tracy menganggap ideologi sebagai visi yang komprehensif dan filosofis. Jika menafsirkan ketiga pendapat di atas, maka sesungguhnya intelektual merupakan ruh yang bergerak atas nalar wahyu untuk membentuk tatanan baru dengan pendekatan transendental. Maka inilah yang menjadikan mahasiswa tidak lagi focus mengenai Skandal sri mulyani, Bank Ceantury, seperti yang anda sebutkan maupun isu Nazaruddin yang baru-baru ini terjadi. Sekali lagi mind set mahasiswa sudah harus focus dan terarah menuju intelektualitas dan kreatifitas serta integritas, bukan hal-hal yang menyangkut aksi turun kejalan saja.

Sehingga, intelektualitas tidak lagi menjadi terkooptasi dengan definisi material melalui angka-angka. Pendekatan transendental ini kemudian menarik dikaji lebih jauh sejalan dengan tiga tradisi intelektual yang kini mulai ditinggalkan.Artinya intelektual mahasiswa menjadi mind set untuk melakukan perubahan yang dengan kata lain revolusi diri, reformasi diri dengan tidak melupakan tugas pokok dan fungsi mahasiswa sebagai generasi cerdas harapan bangsa, agar negara dapat melawan imprealism atau kolonialisme dan kapitalisme.


*Penulis adalah mahasiswa STAI Gajah Putih Takengon dan Koordinator LSM Masyarakat Transparansi Pembangunan (MANT@P_ACEH)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments

  1. mahasiswa adalah ruh perjuangan negri ini. ketika sudah terbentuk opini di masyrakat bahwa setiap aksi mahasiswa adalah negatif sungguh ini adalah tantangan yang sangat berat bagi mereka mereka yang turun ke jalan untuk memperjuangkan nasib rakyat dengan mengedepankan intelektualitas dan nilai kearifan (tidak rusuh). opini sudah terbentuk tapi perjuangan harus tetap di lanjutkan karena adalah salah satu tugas mahasiswa untuk “peka” terhadap kebijakan pemerintah, maka “pembersihan” nama atas aksi mahasiswa harus dilakukan yaitu dengan kembali menyadarkan rekan rekan mahasiswa kita bahwa kita adalah kaum intelek yang kritis dan berbudi luhur sehingga seharusnya hal ini tercermin dalam setiap perilaku keseharian kita bahkan alam aksi. ketika kecenderungan masyarakat sudah kembali pada mahasiswa maka setiap aksi yg kita lakukan walaupun itu kecil akan bernilai besar di masyarakat. Mari kita perbaiki kita kawan demi negri dan rakyat..

  2. payah mahasiswa sekarang,sulit di kendalikan emosi nya,,
    tapi aq suka gaya nya..
    kayan nya ada kemajuan nie,,
    ok,terus kan perjuangan kamu kawan

  3. Kontras dengan sifat mahasiswa yang social, penyayang, dan berbudi luhur memimpin berbagai aksi dan demontrasi untuk menuju masyarakat adil dan makmur merupakan suatu tantangan yang berat, tapi Mahasiswa dengan keuletan dan kebersatuan dapat merubah negeri ini sedikit demi sedikit menuju masyarakat madani yang perlu di ancongi jempol. Perubahan dari suatu kondisi yang nyaman menjadi kondisi yang tidak nyaman, yang memerlukan banyak pengorbanan dan kerja keras. Semua itu demi sebuah misi masa depan masyarakat/bangsa Indonesia, misi yang diperlukan tentunya untuk membawa masyakat/bangsa Indonesia ke tingkat yang lebih baik lagi dari keterpurukan yang disebabkan oleh ulah Bangsa Kita sendiri. Saya yakin Visi dan Misi Mahasiswa masih ada yang belum tuntas kalau kita pandang dari : P-S-E-B-A (Politik. Sosial, Ekonomi, Budaya dan Agama) Lanjutkan perjuangan dengan Mardhatillah!