KEHADIRAN Novel Siti Kewe karya Raihan Lubis, seorang jurnalis senior dan mantan wartawan Serambi Indonesia hadir pada saat yang tepat. Novel ini menjadi semacam “jangkar teks” tentang Gayo yang saat ini sedang dipolemikkan di ruang publik.
Setelah sebelumnya sempat muncul kontroversi tentang keberadaan Qanun Wali Nanggroe (Qanun No.9 Tahun 2013 perubahan atas Qanun No.8 Tahun 2012) yang dianggap menjadi klaim kepentingan kelompok politik dan etnik tertentu, kini muncul lagi problem “rasisme” dalam kebijakan. Sayembara DPR Aceh tentang pembuatan hymne dengan bahasa Aceh telah direspons keras, terutama oleh etnis Gayo (Serambi, 1/11/17).
Apakah protes itu berlebihan? Tidak! Konteks sosio-antropologi Aceh tidak merujuk kepada sebuah entitas tunggal, tapi heterogen dan plural. Baik dari segi etnis, bahasa, adat-istiadat, kesejarahaan, agama, bahkan keyakinan masyarakat Aceh tidak dipersatukan oleh aras dan konstruksi yang tunggal. Rekognisi identitas Aceh haruslah jelas di kepala semua orang, termasuk elite pemerintahan, bahwa alam bawah sadar etnosentrisme sangatlah menganggu dan tidak baik-baik saja.
Yang dimaksud alam bawah sadar etnosentrisme ialah pengakuan mayoritarianisme etnis Aceh –yang kebetulan menjadi populasi dengan penutur terbesar hingga 70 persen– untuk dapat melempangkan jalan sendirian dalam pembentukan identitas. Etnosentrisme ini bisa menafikan delapan etnis tempatan (host ethnics) lainnya yang minoritas, yaitu Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk Jamee, grup-etnis Simeulue, Kluet, Singkil, dan Haloban.
Belum lagi ditambah etnis atau ras lainnya yang telah mendiami wilayah Aceh hingga bergenerasi. Kaum diaspora itu bukanlah penumpang gelap. Sebagian besar dari mereka sudah menggunakan bahasa lokal sebagai bahasa pergaulan, perdagangan, dan pendidikan.
Padahal, jika diidentifikasi siapa pemilik teritorial, etnis Gayo lebih sah mendaku penguasa Aceh bahkan Sumatera. Manusia modern (Homo Sapiens) pertama Sumatera sebagaimana pembuktian dari eskavasi arkeologis di ceruk Mendale, menyimpulkan orang tanah tinggi Gayo sebagai penghuni pertama dari era neolitikum awal sejak 8.000 tahun lalu.
Bukan hanya pada sisi paleontologis, sisi intelektual dan linguistik pun manusia modern Gayo dianggap lebih maju dibandingkan manusia modern Batak, karena telah mengenal aksara; sesuatu yang bahkan tidak dimiliki oleh etnis Aceh. Makanya penghinaan atas etnis Gayo yang sempat bertebaran di media sosial adalah pengingkaran atas sejarah dan kebudayaan masyarakat yang lebih tua dan lebih maju di Sumatera.
Distorsi sejarah
Siti Kewe menjadi semacam interteks atas “narasi kolonialis” yang berbicara tentang Gayo. Salah satu teks itu seperti yang diproduksi oleh Ali Hasjmy –seperti yang direkonstruksi dalam sejarah oral publik Gayo– tidak berangkat dari cerapan pengetahuan secara emik, tapi penuh purbasangka (stereotype).
Distorsi sejarah ini akhirnya coba dijelaskan dalam narasi yang lebih demokratis, yaitu novel atau karya sastra. Karya sastra bukan berarti dusta. Ia tak lain tangkapan tentang realitas sosial-historis-kultural-politik masyarakat tanpa perlu statistik yang sifatnya kaku, positivistik, dan kejam. Ruang sastra mencari dimensi pengetahuan untuk mengisi hal-hal yang tidak terbaca dengan jelas (readibility) dalam pengetahuan publik. Publik perlu sastra untuk menghidupkan daya literasi dan imajinasinya; meneguhkan kebenaran yang belum lagi dikonsensuskan atau diilmiahkan.
Siti Kewe menceritakan banyak hal. Sebagian adalah rekaan ingatan sang penulis ketika meliput Aceh di era konflik. Namun muara utama kisah berhilir pada ritual perladangan kopi di Tanah Gayo. Tentang ritual penananam kopi yang masih hidup hingga kini; sebuah tradisi penghormatan terhadap tanaman yang telah memberikan banyak darah kehidupan bagi masyarakat. Doa atau mantra yang digunakan berbunyi: Orom Bismilah/Siti Kewe/Kunikahen ko orom kuyu/Wih kin Walimu/Tanoh kin Saksimu/Lo kin saksi kalammu (Dengan bismillah/Siti Kawa/Kunikahkan dikau dengan angin/Air walimu/Tanah Saksimu/Matahari saksi kalammu).
Mantra itu sendiri sesungguhnya puitika doa. Pelbagai metafora menghablur dalam ritual penuh khitmad mengelilingi tanaman kopi –yang dalam bahasa Gayo disebut Kewe. Sehingga memang secara ajaib menghasilkan kualitas buah dan biji yang dikenal terbaik di dunia, terutama untuk jenis Arabika.
Fenomena ini bertemu dengan model kultural masyarakat Gayo memahami agama. Dalam Islam, Law, dan Equality in Indonesia: An Anthropology of Public Reasoning (2003), antropolog Amerika John Bowen memasukkan tradisi keislaman model Tanah Gayo sebagai lebih kultural dibandingkan struktural-normatif.
Pembentukan kebudayan dan adat Gayo secara komprehensif berasal dari nilai dan norma keislaman, meskipun terjadi beberapa keunikan misalnya dalam melihat konteks pernikahan, perceraian, dan pembagian waris. Kebudayaan Gayo lebih dialektik menjadikan Islam sebagai inti perumusan nilai dan norma, tapi tidak menjadikannya secara normatif-formal. Lokalitas Gayo memiliki ruang definisi yang solid dalam tatacara keagamaan dan kesenian. Mereka mampu melepaskan diri dari kungkungan Arabesque atau langgam Arab. Jika kita berada di tanah Gayo, lantunan ayat al-Quran dan Salawat terdengar lebih lokal, liris, dan etnografis. Bahkan alunan zikir itu bertambah khidmat dengan balutan kesejukan alamnya.
Tentu ada saja tantangan ketika menjadi bagian dari Indonesia; sebuah konsep nasion baru yang memiliki daya paksa atas hukum nasional, termasuk ide-ide baru tentang persamaan, mobilitas, dan konsep adat dari “diktum agama”. Adat (ëdët) dalam pemahaman Gayo juga berasal dari norma dan moral Islam, meskipun tidak diabsorsi secara skripturalis. Adat berasal sumber-sumber moral masyarakat Gayo masa lalu.
Aceh multikultural?
Silang-sengkarut tentang politik identitas di Aceh menunjukkan ada problem mutikulturalisme di sini. Konsep multikulturalisme sebagaimana disitir Will Kymlicka, doktor filsafat politik dari Queen’s University, Kingston, Kanada, adalah kesadaran untuk bukan saja melakukan perjumpaan dengan etnis dan kebudayan berbeda dengan semangat emansipatif, tapi juga perlindungan pada kelompok kebudayaan minoritas.
Pembentukan kewarganegaraan multikultural (multicultural citizenship), tidak harus ditunjukkan dengan kesadaran multikultural sejak awal. Proses itu bisa berkembang berdasarkan pendewasaan warga atas keberadaan etnis dan kelompok kebudayaan lainnya. Boleh jadi penyatuan etnis berbeda itu sejak awal tidak terjadi secara sukarela, tapi selanjutnya konfigurasinya harus muncul secara sukarela dengan menyetujui “formasi federasi” yang saling menguntungkan (Kymlicka, Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority Rights, 1995).
Secara etnis Aceh bukanlah formasi identitas yang monokultur tapi multiculture with heterogeneous time – menyitir Parthaa Chaterjee. Etnis-etnis itu melakukan pengembaraan dan perjumpaan sebelum kemerdekaan, tapi memiliki sejarah yang berbeda-beda. Contohnya, perjuangan melawan kolonialisme Belanda oleh etnis Gayo dan Alas tak kalah berkobarnya.
Ada kisah pembantaian etnis Gayo yang dilakukan oleh kolonialisme Belanda seperti terekam dalam memoar Prof. Doed Joesoef,Rekam Jejak Anak Tiga Zaman (2017). Ada Prahara Kuta Reh, 14 Juni 1904, dengan 2.922 rakyat Alas dibantai oleh pasukan Gotfried Coenraad Ernst van Daalen atas perintah Gubernur Militer Belanda di Aceh. Bahkan menurut HC Zentgraaff, korban yang syahid lebih banyak lagi yakni lebih 4.000 orang. Ini menunjukkan bahwa bukan hanya etnis Aceh saja yang pejuang, tapi juga etnis-etnis minoritas di Aceh.
Dengan segala corak keberagaman etnis, sejarah, dan lokalitas budaya di Aceh, selayaknya hymne berbahasa Aceh itu dibatalkan. Setiap upaya untuk menumbuhkan politik identitas di Provinsi Aceh harus bisa melibatkan seluruh perasaan etnis-etnis yang ada. Bukankah akhirnya seluruhnya kita dipersatukan oleh satu imajinasi yang melampaui etnik, yaitu bangsa dan bahasa Indonesia?
Mengapa tidak Bahasa Indonesia yang menjadi medium artistik dan fonetiknya? Tak ada yang harus dikhianati dari Bahasa Indonesia yang akarnya adalah bahasa Melayu. Tak sedikit pemikir-pemikir besar Aceh masa lalu ikut mengembangkannya menjadikan bahasa pengetahuan (lingua franca), termasuk 10 bahasa paling banyak digunakan di atas muka bumi. (Sumber:http://aceh.tribunnews.com).
Oleh : Teuku Kemal Fasya
Penulis : antropolog Aceh.
Email: kemal_antropologi2@yahoo.co.uk