Semua becak di Takengen tidak dikayuh, karena warga Gayo menggunakan sepeda motor dan kursi penumpang yang ditempatkan di sisi kirinya. Keunikan ini menjadi daya tarik bagi turis luar dan lokal yang datang.
Ada yang unik dengan becak motor di Gayo Takengen. Keunikan itu diakui beberapa turis yang datang ke Takengen baru baru ini. Bentuknya seperti bajaj dan bisa ditumpangi oleh tiga orang. naik di belakang pengendara dan dua rekan lainnya duduk disamping motor yang ada tempat duduknya. Motor tersebut dimodifikasi dengan diberi atap supaya penumpangnya tidak kepanasan.
Win kurnia, 31, salah satu sopir becak di Gayo Takengen mengatakan, atap kursi penumpang bisa dibuka maupun ditutup sesuai permintaan. Namun pada umumnya atap itu ditutup, karena cuaca di Aceh Tengeh saat ini terkadang tiba-tiba hujan meski panas terik sebelumnya.
Di Gayo Takengen tidak ada angkutan umum seperti angkot, delman, atau ojek. Becak motor menjadi satu-satunya transportasi umum. Jalanan di sana pun cukup sepi, sehingga tak ada kemacetan atau bising seperti kota besar lainya. Bisa dibilang, Gayo takengen cocok dijadikan destinasi untuk menyepi dan bermeditasi.
Dataran tinggi Gayo ini juga dijuluki Negeri Diatas awan. Bagaimana tidak, sepanjang mata memandang, jalanan naik-turun dan berkelok membentang. Kanan-kiri pegunungan dan kebun kopi Arabika Gayo. Hijau adalah warna kota ini.
Daerah Gayo Takengen, 20 persennya merupakan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Tak heran, sungai-sungainya yang ada di bahu jalan begitu jernih dan pemandangan hijau luas membentang. Udaranya cukup dingin. Beberapa burung liar pun bisa dilihat mata telanjang di kawasan ini.
Udara yang dingin sebanding dengan hawa lapar yang kerap datang menghampiri. Berkeliling kota pada pagi hari untuk mencari sarapan. Di Gayo masyarakatnya gemar makan ikan, daging ayam. Di setiap rumah makan, ada aroma aneka ikan dan daging ayam,kambing dengan bumbu yang khas, sangat menggoda.
Penggemar ikan local, daging ayam, kambing, harus menguji lidahnya ke Gayo. Ikan adalah lauk yang mudah didapatkan meski di daerah pegunungan. Warga setempat kurang menggemari daging ayam dan sedikit warga yang memelihara ayam.
” Masyarakat di sini lebih suka makan ikan. Sumber andalanya danau dan sungai. Makanya jarang masyarakat disini memelihara ayam buras, petelur, ” tutur windera, 33, warga kecamatan Bies, Gayo Takengen.
Usai sarapan, saya melanjutkan perjalanan ke Desa tebes luwes, Kecamatan Bies, bersama Yudi, staf Bappeda Aceh. Di sana ada suatu tempat yang cukup hits dinamakan rujak Bies dan banyak muda-mudi di sana, karena tempat tersebut memang Instagramable.
Maksud hati ingin ke Pegasing, salah satu pintu masuk kekebun nenas. Namun saat itu abang becak tidak menyanggupinya, karena cuaca mulai hujan, selain itu medan yang dilalui juga penuh tanjakan dan penurunan.
Ongkos berkeliling naik becak motor di Gayo Takengen pun termasuk ekonomis. Hanya Rp 8.000 per orang untuk jarak dekat dan Rp 15.000-25.000 untuk jarak jauh. Sayangnya, becak motor ini hanya beroperasi usai subuh hingga pukul 21.00 WIB.
“Cuma sampai jam 9 malam, di sini jam 8 udah sepi biasanya,” win kurnia sang pengemudi becak yang mengandalkan roda tiga ini sebagai sumber hidupnya.
Benar saja, hanya segelintir sudut kota yang ramai di malam hari. Kami mampir ke Datu Coffee, kedai kopi yang terkenal selalu ramai di Aceh Tengah. Aroma kopi gayo arabika sudah menyengat ketika kamu duduk, udara sejuk menambah nikmat kapein ini masuk ke tenggorokan.
Lintasgayo.com menyarankan untuk berkunjung ke Gayo Takngen sekitar April-Juli untuk mendapatkan pemandangan lebih baik. Panen kopi arabika Gayo pun biasanya terjadi di bulan itu. Sehingga wisatawan bisa ikut wisata kebun kopi, karena bukan suasana penghujan. Berkunjung di musim penghujan siap-siap kecewa karena tejadi kabut tebal, tiap hari hujan. (Irwan Yoga/ Kayukul)