Kilau Jernang Di Bumi Berkopi

RASA sepet (kelat) ciri khas buah satu ini. Berbiji kecil nyaris menyamai kopi. Warnanya merah muda kehitaman. Batang berduri serta sekilas seperti tanaman hama yang tak bermanfaat.

Namun, jangan salah tebak. Buah dimaksud adalah jernang (daemodorops draco). Tanaman sejenis rotan yang mulai dilirik sebagian petani di dataran tinggi Gayo, Provinsi Aceh.

Mungkin keberadaan jernang bukanlah cerita baru bagi para pelaku atau petani yang bergelut di bisnis ini. Namun di daerah Gayo, kilau buah penghasil renek ini masih ditekuni segelintir orang. Keberadaannya mulai merangsek kepermukaan diantara megahnya komoditi kopi arabika yang menjadi sumber andalan mayoritas masyarakat dan sudah dikenal konsumen dunia.

Seperti di Bener Meriah dan Aceh Tengah misalnya, sebagian warga mulai kepincut jadi petani jernang. Alasan mereka sangat klasik, ya selain harga jual sangat menggiurkan juga untuk mengais rupiah, mendapatkan buah satu ini tidak perlu lagi menghabiskan waktu dengan berburu jernang ke tengah rimba belantara.

Di mana, saat ini sebagian petani di daerah pedalaman Aceh ini sudah mulai membiakan jernang dengan cara membudidayakannya di area perkebunan, sebagaimana halnya bertani kopi yang sudah jadi tanaman primadona urang Gayo secara turun temurun.

“Prospek bertani jernang sangat menjanjikan. Kini harga jualnya Rp320.000/kg. Malah tahun kemarin (2018) nilai tertinggi pernah mencapai Rp470.000/kg dalam bentuk gelondongan,” kata Herman Ramli warga asal Kab. Bener Meriah dalam perbincangannya dengan penulis.

Ramli merupakan seorang petani “pendobrak” cara baru berbudidaya jernang dengan pola tanam tumpangsari diantara tumbuhan kopi di Gayo. Di mana sebelumnya jernang hanya diperoleh secara liar di tengah hutan belantara Aceh.

“Sejak tahun 70 -an saya sudah bergelut dengan jernang. Dulu saya ikut bapak (orang tuanya-red) berburu jernang ke tengah hutan. Tapi seiring waktu, kini sangat sulit mendapat jernang. Pencarinya sudah begitu banyak sekarang, sementara populasi jernang sudah jauh berkurang karena bila ditemukan berbuah batangnya langsung ditebang. Itu polanya,” sebutnya.

Pola tebang batang yang menyebabkan buah jernang sulit didapat di hutan, akhirnya menjadi “berkah” tersendiri bagi Ramli. Ia mulai mengubah cara lama dengan inovasi baru. Menanam jernang di area non hutan. Jernang mulai ditanamnya sendiri di ladang miliknya.

“Mulanya ketika saya bertanam jernang, banyak yang mencibir. Namun saya yakin, jernang bisa menjadi komoditi unggulan bernilai ekonomis tinggi. Alhamdulillah kini ada 7 hektar jernang yang sudah berproduksi dan mampu memenuhi kebutuhan keluarga, kami,” paparnya.

*Cara Bertanam Jernang

Ada beragam jenis jernang yang bisa ditemukan di bumi penghasil caffein di Gayo ini. Selain jernang kuning, juga ada jenis jernang padi, kacang dan lainnya. Namun untuk kualitas terbaik, hendaknya petani bertanam jernang kuning.

“Dari awal tanam hingga tiba musim panen, dibutuhkan waktu 4 tahun lamanya. Lain itu tumbuhan ini hendaknya ditanam sekurangnya 1000 batang. Kenapa demikian, karena saya sendiri belum bisa membedakan antara pejantan dan betina. Artinya, tidak semua bibit yang ditanam akan menghasilkan buah dikemudian hari. Dari itu dibutuhkan penanaman jernang dengan jumlah lumayan,” jelas Ramli.

Menurutnya, tanaman jernang juga membutuhkan pohon pejangga, selain pohon kakao (coklat) bagi para petani yang ingin menggeluti tanaman jenis ini, bisa juga memanfaatkan batang pete yang umum digunakan petani sebagai pelindung kopi di daerah dingin itu.

Untuk pemasaran sendiri, ketika tiba musim panen, petani di sana rutin didatangi buyer (pembeli). Mereka langsung membayar hasil panen jernang dengan uang cash. Tidak tanggung-tanggung dalam sekali transaksi ratusan juta rupiah mengalir dari para toke ke petani. Masih berdasarkan keterangan Ramli, dalam sekali panen, ia mampu mengumpulkan setidaknya 1 tonase (1000 kg) jernang dengan melibatkan sekurangnya 10 orang tenaga kerja.

Artinya jika 1000 kilogram dikali Rp320.000 (harga saat ini), ada Rp320.000 juta dana segar berhasil diraup dari para pembeli. Tentunya angka yang cukup fantastis untuk penghasilan seorang petani di daerah ini.

“Jernang sangat bernilai karena bahan bakunya bisa dimanfaatkan untuk; pewarna, kosmetik, bahan medis dan lainnya. Informasi kami terima, jernang dari Gayo ini sudah di ekspor ke sejumlah negara. Bahkan, kualitasnya yang terbaik di Pulau Sumatera atau mungkin di nusantara,” tuturnya.

Herman Ramli bukanlah satu-satunya petani jernang di daerah “Merapi” itu. Ada petani lain yang mengikuti kiprahnya. Namun masih dari bilangan kalangan terbatas. Ia berharap ke depan akan hadir petani-petani baru yang mengikuti jejaknya, meraup untung dari kilau buah jernang.[] **Irwandi MN

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.