Menunggu 1001 Janji

Oleh Johansyah*

 

Menjelang Pilkada akhir tahun ini, umbaran seribu satu janji menjadi barang obralan para calon bupati atau calon gubernur (cabup dan cagub). Salah satu contohnya sebagaimana pemberitaan di Lintas Gayo (17/06/11) di mana dalam kontrak politiknya, salah satu cabup/cawabup Gayo Lues yakni H.A. Karim Cukup dan Nurhayati Sahali mengatakan bahwa jika mereka dipilih warga Gayo Lues dalam pilkada mendatang maka mereka akan menginfakkan gajinya untuk kepentingan pendidikan, anak yatim dan dhu’afa.

Model semacam ini yang ditempuh oleh para calon sangat mudah untuk ditebak. Penulis yakin para cabup/cawabup lainnya melakukan hal serupa dengan janji-janji manis yang menggiurkan masyarakat termasuk juga di wilayah Takengon dan Bener Meriah serta wilayah lainnya di Aceh.

Lepas dari berbagai kepentingan, penulis sering mempertanyakan apakah memberi sumbangan, bersedekah, dekat dengan masyarakat, ramah serta santun harus dipamerkan ketika seseorang ingin naik menjadi calon?. Kita tidak tau apakah sebelumnya seseorang calon memang berwatak demikian, artinya sadakah dan sumbangannya hanya dikarenakan keinginanannya untuk naik menjadi pejabat.

Jika memang benar berarti semua itu palsu bukan?, dan bukankah hal ini sama juga dengan membeli suara rakyat karena sudah mengikat mereka dengan sumbangan-sumbangan yang berbentuk materi. Kalau memang karakternya adalah orang suka menyumbang, dekat dengan masyarakat disukai oleh rakyat maka mengapa seorang calon tidak melakukannya dari dulu ketika dia belum menjadi pejabat, orang besar dan terkenal. Di sinilah kelihatan sekali bahwa sifat dan karakteristik alaminya bukanlah sosok yang santun dan suka menyumbang melainkan ia sejenak memaksakan diri untuk pura-pura berbuat baik agar masyarakat empati dan akhirnya memilihnya.

Namun apapun ceritanya, langkah dan strategi semacam ini selalu menjadi pilihan kebanyakan calon untuk dapat memuluskan jalannya menuju tahta kekuasaan. Dalam kondisi politisasi yang begitu gencar, maka giliran masyarakatlah sebenarnya harus jeli dan kritis membaca kondisi ini. Jangan sampai nurani mereka dibeli dengan janji-janji manis menggiurkan dan sumbangan-sumbangan seketika yang memabukkan. Haruslah disadari bahwa  mempertahankan suara nurani dengan konsisten merupakan harga diri yang tak ternilai oleh bentuk materi apapun.

Bukankah kita sering mengalami dan melihat secara kasat mata, bahwa calon yang mengumbar banyak janji biasanya minim dan miskin dalam aksi. Janji tinggallah janji, seorang calon akan mengucapkan daah.. dan melenggang tanpa ingin menoleh ke belakang serta menelantarkan orang-orang yang menagih janjinya.

Rasanya sangat simpel melihat sosok calon yang menebar banyak janji. Persis bagaikan kedua sejoli di mana yang laki-laki mengatakan dengan suara lembut ‘aku mencintaimu, jika kita nanti menikah aku akan belikan kamu rumah mewah, mobil mahal dan kita tinggal serumah penuh kebahagiaan’. Dengan penuh hayalan pikiran sang perempuannya pun melayang ‘oh ya, aku akan hidup kaya dan bahagia dengannya’. Di balik janji manis itu semua rupanya sang pacar adalah seorang penipu ulung dan berstatus sebagai buronan polisi. Ya, dia masih dapat menghindar dan menutupi kedok busuknya, tapi kita tidak tau seberapa lama.

Pelajaran yang dapat kita petik dari mengumbar janji dalam berpacaran ini adalah bahwa seharusnya kita tidak tertipu dengan ungkapan-ungkapan lidah seseorang yang begitu piawai memainkan bahasa sehingga mampu meyakinkan pendengarnya. Untuk itulah, sebagai pendengar kita harus meneliti kebenaran dan rekam jejak mereka, apakah banyak kebaikannya atau sebaliknya.

Posisi masyarakat dalam hal ini adalah sebagai ‘wanita yang dilamar’ dan para calon adalah sebagai pelamarnya. Nah, tentunya pelamar akan berusaha untuk tampil sebaik mungkin dengan menggunakan pakaian rapi, wangi-wangian dan gaya rambut yang indah. Gaya bicaranya juga diatur sedemikian rupa agar kelihatan bertalenta dan berwibawa sehingga dapat menarik hati orang yang dipinangnya dan kalau perlu dia menceritakan semua kekayaannya. Jika masyarakat tidak mau tertipu oleh janji-janji gombalnya, maka telusuri, Tanya dan cari tau informasi-informasi tentang calon tersebut. Kita perlu menjalani proses amal tidur mimpi jege (melihat, menimbang, memperhatikan dan memutuskan) sebelum ada satu kesimpulan memilih atau tidak memilihnya.

Sadarkah kita bahwa proses penetapan calon yang dipilih hanya berlangsung beberapa detik di ruang pencontrengan. Tentunya contrengan dalam hitungan detik tersebut tidak menjadi biang penyesalan dalam jangka waktu beberapa tahun yang akan datang. Sungguh ironis kiranya jika kita mempertahankan yang lima detik dan mengorbankan yang lima tahun.

Hemat penulis, untuk melihat calon yang berkualitas dan berpotensi mampu memenuhi aspirasi rakyat adalah mereka yang tidak banyak mengumbar janji, sedikit bicara banyak kerja serta tidak mau mensosialisasikan keberhasilan dirinya dalam bentuk apapun. Namun demikian, kita juga berpikir apakah masih ada calon model ini?

Kehidupan sekarang adalah kehidupan yang didukung oleh teknologi informasi. Maka setidaknya kita tidak terlena dan ketinggalan untuk menelusuri lebih jauh siapa yang ingin kita pilih. Rasanya tidak ada lagi alasan bahwa kita tertipu dan terpedaya kecuali pola hedup materialisme yang kita anut sendiri yang menjerumuskan kita dengan tidak lagi berpikir logis melalui akal sehat karena suara nurani kita sudah ditukar dengan sekarung beras, satu kotak indomie dan uang lima puluh ribu dalam amplop.

Mengucapkan janji adalah mudah, namun memenuhi tidak semudah ketika diucapkan. Sejatinya para calon tidak mengumbar seribu satu janji namun perlu menunjukkan banyak aksi. Mereka harus ingat bahwa Tuhan akan menagih setiap janji. Di sisi lain, semoga menjelang pilkada ini, masyarakat semakin jeli dan cerdas sehingga tidak tertipu dan menyesali pilihan mereka. Mari kita lihat mampukah mereka yang terpilih mewujudkan janji-janjinya?. Kita tunggu!

 

*Penulis adalah Mahasiswa program Doktor PPs IAIN Ar-Raniry dan Ketua Jurusan Tarbiyah STAI Gajah Putih takengon

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.