Dalam kehidupan bernegara, keadilan sosial adalah dambaan setiap orang. Karena itu, dalam politik, isu keadilan sosial selalu menjadi tema yang paling seksi untuk dijual dalam setiap usaha meraih kekuasaan. Untuk terlihat lebih seksi lagi, isu keadilan sosial ini semakin mantap kalau dipadu padankan dengan isu solidaritas ras atau etnis apalagi kalau ditambah dengan isu solidaritas agama.
Kombinasi antara keadilan sosial dan isu solidaritas ras inilah yang dulu dikembangkan untuk membangkitkan semangat kemerdekaan Indonesia. Dalam propaganda untuk membakitkan semangat merdeka itu digambarkan bahwa, rakyat Indonesia hanya bisa makmur kalau negara dikelola oleh orang Indonesia sendiri. Kemudian terbukti, propaganda itu hanya isapan jempol saja. Saat Indonesia merdeka, ternyata yang makmur hanya segelintir orang yang dekat dengan kekuasaan saja.
Aceh yang kecewa dengan ketidak adilan yang ada, memberontak. Dan isu yang dijual juga sama, Aceh hanya akan bisa makmur kalau Aceh dikelola sepenuhnya oleh orang Aceh sendiri. Tapi ketika kekuasaan yang jauh lebih besar dibanding sebelumnya kepada orang Aceh. Kejadiannya juga sama, Aceh tidak menjadi lebih baik. Yang makmur tetap saja orang yang berada di lingkar terdekat kekuasaan. Malah yang terjadi, arogansi etnis mayoritas yang dulunya cuma ada di bawah permukaan. Sekarang semakin berani ditampilkan terang-terangan.
Akibatnya, etnis-etnis minoritas yang sejak lama merasa diperlakukan tidak adil dan sudah menyimpan bibit-bibit ketidak nyamanan hidup bersama di satu tata kelola pemerintahan. Mulai terang-terangan ingin memisahkan diri. Dan lagi-lagi yang digunakan sebagai senjata andalan, adalah isu keadilan sosial berbasis etnisitas ini.
Apakah kalau ide memisahkan diri ini terwujud, suku-suku minoritas ini nantinya akan mendapatkan keadilan sosial sebagaimana yang didengung-dengungkan para pengusung ide ini?. Kita belum bisa membuktikan. Tapi berdasarkan fenomena yang saya ceritakan pada bagian pertama http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150212508223966 dan kedua http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150216016218966 tulisan ini. hampir bisa dipastikan itu tidak terjadi. Kalaupun nanti provinsi baru ini berdiri, hampir bisa dipastikan kalau yang akan makmur tetap saja orang-orang yang ada di lingkar terdekat kekuasaan.
***
Soal keadilan dan kemakmuran ini adalah masalah persepsi. Persepsi soal keadilan dan kesejahteraan sosial ini hampir selalu bertolak belakang antara pemberi dan penerima. Di mata penguasa selaku pemberi, hampir bisa dipastikan kalau apa yang dia lakukan sudah adil. Mulai dari Presiden yang merasa sudah bersikap adil pada seluruh rakyat Indonesia. Gubernur Aceh juga berpikir sudah lebih adil dari gubernur-gubernur sebelumnya terhadap seluruh rakyat Aceh. Pemerintah di tingkat II juga sama. Tapi kalau kita yang ada di luar sistem melihatnya, tentu saja itu tidak benar.
Kalau sebelum berkuasa, sang calon yang menjual isu solidaritas ras ini bisa dengan mulut berbuih-buih menjanjikan kesejahteraan sosial bagi semua orang kalau nanti dia berkuasa. Tapi kalau ini kita tanyakan, ketika dia sudah berkuasa. Biasanya jawaban yang keluar selalu hampir sama. “Masalah kesejahteraan rakyat bukan semata tanggung jawab pemerintah”.
Itu terjadi karena seperti kata Teuku Kemal Fasya, seorang antropolog dari Unimal dalam komentarnya di bagian pertama tulisan ini. Solidaritas etnis sangat mudah dimanipulasi.
Dalam posisi tertekan, seperti halnya solidaritas apapun. Solidaritas etnis ini mudah sekali dimunculkan. Sebab dalam posisi tertekan, perasaan senasib membuat ide-ide solidaritas etnis ini jadi masuk akal. Dalam posisi ini isu mayoritas dan minoritas dan/atau superior-inferior menjadi sangat relevan. Padalah tanpa disadari bahwa secara internal etnis itu sendiri, sebenarnya juga memiliki pola relasi mayoritas dan minoritas dan/atau superior-inferiornya sendiri. Yang kalau kita amati polanya juga sama dengan pola relasi mayoritas dan minoritas dan/atau superior-inferior di atasnya.
Inilah yang terjadi di Indonesia, Aceh dan juga Gayo. Sebagaimana yang coba saya gambarkan dalam dua bagian pertama tulisan ini. Bahwa sebenarnya sama sekali tidak ada identitas etnis yang benar-benar tunggal.
Karena itulah meskipun dulu, waktu umur saya masih lebih muda. Saya sempat percaya pada ide dari orang-orang terpelajar untuk memperoleh kesejahteraan sosial dengan cara mengeksploitasi sentimen etnisitas seperti ini. Sekarang saya sama sekali tidak percaya lagi pada ide-ide semacam ini.
Ide semacam ini hanya bisa berhasil kalau orang-orang terpelajar itu sudah bersikap seperti apa yang dituliskan oleh Pramoedya dalam Novel Bumi Manusia. “Adil sejak dalam pikiran, lebih-lebih dalam tindakan”.
Kalau, sikap seperti ini belum ada. Meskipun kita harus menunggu sampai kiamat. Ide untuk mendapatkan keadilan sosial berdasarkan sentimen ras/ etnisitas atau agama tidak akan pernah berhasil.
Saya tak percaya seorang pribumi Indonesia yang terpelajar akan bisa bersikap adil sesamanya, kalau dia cuma bisa berteriak kalau perlakuan tidak adil menimpa dirinya. Tapi dia bisa mengabaikan dan bahkan tertawa ketika yang diperlalukan tidak adil itu adalah orang etnis Cina.
Saya tidak percaya orang Aceh yang terpelajar bisa bersikap adil sesamanya, kalau dia cuma bisa berteriak ketika Jawa berlaku tidak adil terhadap dirinya. Tapi dia bisa mengabaikan bahkan bisa tertawa ketika melihat Jawa dipites dan direndahkan di Malaysia.
Saya tidak percaya orang Gayo yang terpelajar bisa adil sesama orang Gayo, ketika dia hanya bisa merasakan sakit ketika dia ditekan oleh Aceh tapi mengabaikan bahkan merasa senang ketika Aceh diperlakukan tidak adil oleh pusat. (Win Wan Nur)
T A M A T