“Esensialisme”, istilah ini saya dapat di Twitter dari akun gm_gm milik Goenawan Mohammad yang namanya dikenal luas sebagai penulis catatan pinggir di majalah Tempo. Dalam serial Twitter yang dimaksudkan sebagai kritik kepada cara penyampaian media saat melaporkan kejadian bencana tsunami di Jepang yang terkagum-kagum oleh sikap orang Jepang dalam menghadapi bencana dan melecehkan bangsa sendiri.
Menanggapi hal ini, Goenawan Mohammad mengatakan bahwa “esensialisme” itu adalah sebutan untuk pikiran yang menganggap ada “esensi” yang tetap yg membentuk perilaku satu bangsa atau ras. Dalam serial twitternya itu Goenawan Mohammad membuktikan bahwa “esensialisme” itu hanyalah mitos, sebab kenyataannya perilaku, watak dan budaya sebuah bangsa atau ras itu sama sekali tidak bersifat tetap. Karena semuanya sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial dan ekonomi dari bangsa atau ras tersebut. Sebab terbukti, saat kondisi sosial dan ekonomi Jepang belum sebaik saat ini, mereka pun pernah sama rusuhnya dengan kita.
Di dunia ini banyak suku-suku inferior yang semakin terpuruk karena paham “esensialisme”. Dulu bangsa-bangsa timur, yang karena terpengaruh oleh paham ini banyak yang percaya kalau secara “esensi” orang Barat lebih unggul daripada orang timur. Tapi belakangan dengan bangkitnya Jepang disusul dengan Korea dan terakhir Cina, agaknya pandangan ini sudah terkoreksi dengan sendirinya meskipun di alam bawah sadar orang timur, kesadaran ini masih belum sepenuhnya hilang. Mitos ini juga sebenarnya sudah runtuh dengan terpilihnya Obama sebagai presiden Amerika yang pada saat ini merupakan gara terkuat di planet bumi.
Dalam skala yang lebih kecil, di Indonesia misalnya. Beberapa suku berpopulasi kecil yang termakan oleh paham “esensialisme” ini percaya bahwa orang yang berasal dari sukunya tidak bisa maju karena secara “esensi” sukunya memang inferior dibandingkan suku lain. Meski tidak banyak yang mau mengakui secara terbuka saya melihat, suku Gayo yang merupakan suku saya sendiri. Adalah salah satu suku yang terhambat kemajuannya akibat terjebak dalam paham “esensialisme” ini.
Meskipun ke luar orang Gayo sering berkoar tentang kebesaran masa lalunya. Tapi ke dalam, kita dengan mudah menemukan orang Gayo yang memandang karakter sukunya sendiri dengan demikian rendah.
Tapi yang namanya mitos. Karena tidak perlu dibuktikan kebenarannya, paham esensialisme ini juga bisa efektif untuk digunakan pembangkit semangat kebangsaan dan mengangkat derajat suatu bangsa. Caranya dengan memodifikasi (bahasa halus dari memanipulasi) beberapa fakta sejarah. Mengekspose bagian-bagian terbaik dari karakter atau sejarah bangsa itu yang ingin diangkat sambil mengubur dalam-dalam bagian negatifnya.
Contoh bangsa yang sukses mengangkat derajat bangsanya dengan cara seperti ini adalah Yahudi, yang berhasil menjadi bangsa terkuat di Timur Tengah dengan mengatakan bahwa mereka adalah bangsa pilihan Tuhan. Padahal sebelumnya mereka baru saja habis-habisan dibantai oleh Nazi Jerman yang muncul menjadi bangsa terkuat juga dengan doktrin berbasis “esensialisme” yang mengatakan bahwa mereka adalah ras ARIA yang merupakan ras pilihan. Belakangan kulit putih di Afrika Selatan juga mendominasi perpolitikan, sosial dan ekonomi setempat dengan mengandalkan faham ini.
Dan yang terbaru, tetangga terdekat kita Melayu Malaysia juga menggunakan jurus “esensialisme” ini untuk memberi mereka hak lebih dibanding ras-ras lain yang ada di negara mereka. Dan dalam mempropagandakan “esensialisme” ini, tetangga kita itu sampai sekarang masih belum berhenti. Mereka masih giat melakukan berbagai rasionalisasi atas klaim “esensialisme” itu. Itu bisa dilihat dari betapa agresifnya mereka mengumpulkan berbagai artefak dan serpihan sejarah melayu atau gencarnya mereka mengeluarkan ide-ide semacam Melayu Raya.
Secara lokal, jurus “esensialisme” ini juga pernah digunakan oleh Aceh, saat berkonflik dengan Jakarta. Saat itu kita di Aceh sangat akrab dengan berbagai propaganda yang mengatakan Aceh adalah bangsa yang lebih besar dari Jawa. Aceh adalah bangsa terhebat di Asia Tenggara dan lain sebagainya.
Belakangan, ide ini tampaknya mulai ditiru oleh orang Gayo melalui pembentukan World Gayonese Association yang berpusat di Kedah, Malaysia. Organisasi ini dibentuk oleh Sabela Gayo, yang sekaligus mengangkat dirinya sebagai Wali Orang Gayo sedunia. Organisasi yang dibentuk oleh Sabela Gayo ini terbukti cukup memiliki gaung di luar negeri dan cukup didengarkan statement-statementnya, seolah-olah suara organisasi itu adalah suara orang Gayo sedunia. Meskipun pada kenyataannya, bisa jadi di organisasi tersebut sebenarnya hanya Sabela Gayo sendirilah yang menjadi satu-satunya anggota.
Tapi meskipun mengangkat derajat suatu bangsa dengan mengekspose paham “esensialisme” ini sering berhasil. Selalu ada efek sampingan dari strategi ini yang tidak pernah bisa dihilangkan. Efek buruk itu adalah munculnya sikap angkuh dan sombong serta merasa diri paling hebat. Inilah yang kita temukan pada diri orang Jerman pada masa Nazi dan terbukti efek sampingan ini pula yang meruntuhkan mereka. Efek yang sama bisa kita lihat pada orang Yahudi, Kulit Putih Afrika Selatan dan juga Malaysia.
Pada skala yang lebih kecil di Aceh, meskipun eksploitasi “esensialisme” ini belum berhasil menjadikan Aceh sebuah negara. Tapi efek sampingnya berupa sikap angkuh dan sombong serta merasa diri paling hebat, telah mulai bersemi dengan subur. Indikasinya bisa dilihat dari mulai banyaknya bermunculan ide-ide untuk menjadikan bahasa Aceh sebagai bahasa “Nasional” di Aceh. Bahkan seorang wakil rakyat yang pun tidak merasa risih untuk mengatakan bahwa “orang Aceh, hanyalah orang-orang yang bisa berbahasa Aceh”.
Efek buruk seperti inilah yang membuat saya tidak setuju kalau MITOS “esensialisme” dijadikan alat untuk membangkitkan semangat dan meningkatkan derajat orang Gayo dalam tatanan sosial bernegara maupun dalam pergaulan panggung di dunia.
Secara pribadi saya lebih setuju untuk mengekspose fakta yang ada saja. Yaitu FAKTA bahwa orang Gayo adalah salah satu dari sekian ribu suku yang ada di dunia, yang memiliki keunikan sendiri. Sebagai orang Gayo, saya tidak merasa lebih hebat dan juga tidak kurang hebat dibanding suku-suku atau bangsa apapun di dunia.
Menurut saya, di zaman modern ketika batas negara sudah semakin tidak jelas seperti sekarang ini. Rendah tingginya pandangan orang terhadap kita, sama sekali bukan ditentukan oleh asal-usul suku/ras atau bangsa kita. Tapi itu semua ditentukan oleh bagaimana cara kita membawa diri dan bagaimana cara kita memandang diri kita sendiri.
Dan ini sudah saya buktikan pada diri saya sendiri dan juga keluarga saya. (Win Wan Nur)