Darah dalam nadinya “beraroma” kopi. Tanaman dengan taburan bunga putih semerbak ini, menjadi sumber nafas kehidupan mayoritas penduduk dalam pelukan bukit barisan, di ujung barat Sumatra. Tanpa kopi mereka bagaikan mati suri.
Menjiwai kopi sama dengan menjiwai kehidupan. Ribuan manusia di sana sudah meraih gelar sarjana, karena kafein yang menghampar luas. Negeri indah laksana surga ini bukan hanya berhawa sejuk, namun tanahnya memang subur. Wajar bila dinobatkan sebagai negeri kopi kualitas dunia.
Ketika dilangsungkan pawai memeriahkan HUT Kota Takengon ke 443, pada 18 Februari 2020, rasa mencintai sumber kehidupan, digambarkan peserta pawai. Ribuan siswa yang memeriahkan pawai, ada yang khusus membalut tubuhnya dengan kopi.
Daun dan buah kopi melekat di tubuh peserta pawai. Daun dan buah kopi itu ditempel di pakaian khas adat, Kerawang Gayo. Gadis generasi penerus bangsa ini berjalan keliling kota yang tubuhnya dibalut kopi.
Bahkan, Susi Pudjiastuti mantan Menteri Kelautan dan Perikanan disuguhi kopi yang baru dipetik dari batangnya. Warna buahnya bercampur antara hijau dan merah. Susi, mantan menteri yang tenar dengan kata tenggelamkan ini, terharu ketika Haura, murid SD 17 Bebesen memberikan kenangan untuknya berupa buah kopi dalam daun kopi.
Kebetulan Susi datang ke Takengon untuk menikmati kopi dan panorama alam Gayo. Dia diberikan penghargaan oleh Bupati Aceh Tengah, Shabela Abubakar untuk melepas peserta pawai memeriah Hut Kota Takengon.
Gadis dalam balutan kopi dalam pawai ini bukan hanya Haura, yang sengaja dipersiapkan orang tuanya untuk menghiasi diri dengan kopi. Banyak gadis lainya yang juga membalut tubuhnya dengan kopi.
Ketika Dialeksis.com ke lapangan Musara Alun, tempat peserta berkumpul, di sana terlihat cukup banyak gadis penerus bangsa ini membungkus tubuhnya dengan kopi.
“Kami mencintai kopi, dari kopilah kami hidup. Orang tua kami menjadikan kopi sebagai tempat bersandar,” sebut Puja Simehate, pelajar MAN 1 Takengon. Dialeksis melihat dua lagi temanya mengenakan baju kopi (Heni Wijayanti, Rizwan Bathin), juga mengungkapkan perasaan yang sama tentang kopi.
Kopi bagi rakyat Gayo adalah sumber nafas. Di sana ada sekitar 110 ribu hektar tanaman kopi. Untuk Aceh Tengah dan Bener Meriah saja luas areanya mencapai 94 ribu lebih, sisanya berada dalam pelukan gunung di Gayo Luwes.
Kebun kopi disana bukan dikuasai perusahaan. Namun milik petani. Lebih dari 170.000 kepala Keluarga (KK) mengantungkan hidupnya dari kopi. Setiap KK memiliki luas area kebun yang bervariasi. Kopi murni perkebunan rakyat.
Beragam varietas kopi ada di negeri ini. Mayoritas klasifikasi kopi arabika (Tim-Tim, Borbon, Ateng dengan sejumlah varitasnya). Sebagain kecil ada kopi jenis robusta. Rata rata produksi kopi di sana setiap tahunya antara 700- sampai 800 kilogram perhektar.
Dunia kini sudah mengakui kopi Gayo adalah kopi terbaik. Indikisi geografis kopi Arabika Gayo sudah resmi dikeluarkan pemerintah. Kopi Gayo sudah memiliki hak paten dari berbagai sisi.
Kopi Gayo bukan hanya memiliki citarasa yang khas, namun soal aroma kopi Gayo memang tiada duanya. Bahkan beberapa negara mencampur kopi Gayo dengan kopi dari belahan dunia lain untuk mengeluarkan aroma.
Kopi di sana tidak bisa dilepaskan dari aktifitas kehidupan masyarakat. Sebagai bentuk rasa mencintai kopi, banyak gadis Gayo ketika dilangsungkan pawai HUT Kota Takengon, dan juga saat HUT Bener Meriah dan Gayo Luwes, membalut tubuhnya dengan daun dan buah kopi.
Gadis Gayo mencintai kopi, tubuhnya saja dia balut dengan kopi. Ingin mencintai gadis Gayo, maka cintailah kopi, cintailah sumber penghidupan masyarakatnya. Bagaimana menurut Anda? (Bahtiar Gayo)