Kritik dari Yusradi Usman Al-Gayoni yang di post di Lint@s Gayo http://www.lovegayo.com/ yang menyoroti penggunaan bahasa Inggris dalam penulisan Graffiti di Bur Gayo yang rencananya menjadi ikon pariwisata Aceh Tengah. Pada perkembangannya menjadi bola liar, dan merambat kemana-mana.
Kritik dari Yusradi dari sisi linguistik dan kemudian saya buktikan juga sebenarnya sama sekali tidak tepat dari segi pariwisata, rupanya telah menimbulkan kegerahan banyak pihak.
Ada banyak sikap defensif yang muncul dalam menanggapi kritik tersebut. Lucunya sikap defensif itu selalu melenceng jauh dari tema.
Sikap defensif model ini misalnya bisa kita lihat ditampilkan oleh Jusman Masga, yang dalam argumennya mengatakan “menarik kalau dibahas, sebenarnya tidak salah menggunakan istilah Inggris, supaya orang Gayo tidak asing dengan bahasa dunia tersebut dan Tanoh Gayo mudah dikenal di daerah lain dan negara luar. ( kalau di search di Google juga Gayo banyak yang tampil). karena untuk memajukan Gayo bukan hanya dengan melestarikan bahasanya saja, sementara daya saing kurang karena tidak menguasai bahasa lain.”
Ada beberapa tanggapan lain yang senada dengan ini. Yang intinya mengatakan bahwa dengan penulisan ikon wisata Aceh Tengah dalam bahasa Inggris akan membuat orang Gayo tidak asing dengan bahasa dunia.
Alasan seperti ini jelas sangat konyol, dengan menggelontorkan uang sekian ratus juta untuk membuat graffiti berbahasa Inggris mengharapkan orang Gayo jadi tidak asing dengan Bahasa Inggris. Saya pikir, mendengar alasan seperti ini, jangankan manusia, bebek dan ayam di kandang pun akan tertawa.
Kalau memang niatnya ingin membuat orang Gayo familiar dengan bahasa Inggris, jelas orang yang daya pikirnya paling lemah pun tahu. Kalau caranya adalah dengan membuat satu lembaga pendidikan bahasa Inggris yang berkualitas.
Lalu pertanyaan saya, kalau memang PEMDA ingin orang Gayo tidak asing dengan bahasa Inggris, apakah di Gayo sudah ada satu tempat kursus bahasa Inggris yang bonafid?. Baik itu di Bener Meriah, Aceh Tengah atau Gayo Lues?. Sepertinya tidak.
Berdasarkan pengalaman saya pribadi. penguasaan bahasa Inggris adalah salah satu handicap siswa-siswa asal Gayo. Pada UMPTN, mata uji bahasa Inggris adalah hantu yang ditakuti calon mahasiswa asal Gayo. Karena jangankan menjawab, tapi bahkan pertanyaan dari soal ini pun sering tidak mereka pahami.
Ini terjadi karena di Gayo, bahasa Inggris hanya dipelajari di sekolah. Sudah begitu, jarang sekali guru bahasa Inggris di Gayo yang benar-benar menguasai materi yang dia ajarkan.
Saya sendiri ketika pertama kali berkenalan dengan bahasa Inggris di kelas I SMP, langsung memecahkan rekor mendapat angka 5, yang saya dapatkan pertama sekalinya sepanjang saya bersekolah. Padahal di SD saya mendapatkan angka 6 pun tidak pernah.
Saya mendapatkan angka itu karena memang saya sama sekali tidak paham apa yang diajarkan oleh guru bahasa Inggris saya itu. Metode pengajarannya tidak terpola, tidak jelas siswa mau diarahkan kemana. Belakangan saya tahu, ketika saya pulang ke Takengen dengan seorang teman asal Australia dan secara kebetulan bertemu dengan guru bahasa Inggris saya itu di terminal labi-labi Bale Atu. Ibu itu langsung berkeringat dingin dan menolak berbicara. Si ibu malah berbisik kepada saya “enti keniko aku becerak Win, gere paham aku sana si cerak ne a”. Ternyata si Ibu yang guru bahasa Inggris yang memberi saya angka 5 itu sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris. Itulah cermin kualitas guru bahasa Inggris di Gayo. Dan perlu diketahui SMP tempat saya bersekolah adalah SMP Negeri 1 Takengon. SMP terbaik di Gayo pada saat itu.
Bersyukur sekali pada waktu saya masih SMP itu, di Takengen ada Pak Wahid, seorang guru bahasa Inggris berkualitas yang mengajar privat di depan Kodim. Yang benar-benar tahu cara mengajarkan bahasa Inggris yang baik. Meskipun saya hanya sempat les 4 bulan di tempat Pak Wahid, tapi dari sanalah semua pondasi bahasa Inggris saya berasal. Dan setelah les di tempat Pak Wahid, nilai bahasa Inggris saya di sekolah yang menunjukkan angka 5 pada kelas I, berubah menjadi 9 waktu kelas dua. Dan alhamdulillah, dari les 4 bulan di tempat Pak Wahid. Meskipun saya tidak pernah ikut test TOEFL atau IELTS sehingga tidak tahu berapa skor saya dan struktur serta grammar bahasa Inggris saya juga tidak sempurna. Tapi, kalau sekedar berbicara, berkat Pak Wahid, sekarang saya dapar berbicara dalam bahasa Inggris sama fasihnya dengan bahasa Gayo.
Tapi sejak Pak Wahid menjadi almarhum, saya tidak pernah lagi menemukan guru les bahasa Inggris yang cukup berkualitas di Gayo. Alhasil, adik-adik generasi di bawah saya, tidak ada yang familiar dengan bahasa Inggris. Dari 24 orang cucu kakek saya yang lahir di Takengen, hanya saya yang familiar dengan bahasa Inggris. Belakangan ada satu orang adik lagi (sekarang sedang kuliah di Jerman) yang bisa berbahasa Inggris, tapi itu pun dia pelajari waktu dia kuliah di Jogja.
Beberapa waktu yang lalu, ketika seorang siswa asal Gayo yang mewakili sebuah SMA di Banda Aceh menang debat bahasa Inggris di tingkat nasional Nasional. Saya kembali teringat pada masalah ini dan membicarakannya dengan Win Ruhdi Bathin dan Subhandy AP, camat Laut Tawar. Yang intinya bagaimana supaya siswa-siswa di Gayo memiliki penguasaan bahasa Inggris yang baik. Karena negara kita tidak seperti Jepang, Cina atau Perancis yang mau menghabiskan milyaran dollar uang untuk menerjemahkan buku-buku bahasa Inggris ke dalam bahasa mereka. Kita tidak, jadi kalau ingin mendapatkan sebanyak mungkin manfaat dari seluruh dunia. Minimal bahasa Inggris harus dikuasai.
Cuma memang masalah klasik di Aceh Tengah adalah penguasanya sama sekali tidak memiliki visi yang jauh ke depan seperti ini. Mentalitas mereka rata-rata sebatas proyek yang hanya punya efek jangka pendek. Contohnya seperti Kuburan Belanda yang dibongkar dan dijadikan sekolah, sehingga lenyaplah seluruh nilau sejarahnya. Atau yang paling mutakhir, Panti Asuhan yang memiliki sejarah panjang. Lahannya dijual untuk dijadikan Bank. Ini adalah cermin kualitas penguasa di Aceh Tengah. Jadi mengharapkan inisiatif seperti ini datang dari penguasa dengan mental semacam itu, jelas seperti mengharapkan Ikan Paus hidup di Laut Tawar.
Karena itulah, kalau kita menginginkan generasi Gayo ke depan , maju dengan penguasaan bahasa Inggris yang mumpuni. Pemerintah yang tidak punya visi ini harus didorong untuk membuat satu gebrakan untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggris siswa-siswa Gayo.
Kalau perlu desak pemerintah untuk mengeluarkan dana APBD sekian ratus juta per tahun untuk membangun satu lembaga pendidikan bahasa Inggris yang baik. Dengan metode pengajaran yang terstruktur dengan baik. Kalau perlu sewa satu native speaker. Pengelolaan dananya dibuat dengan manajemen terbuka yang bisa diakses oleh publik, sehingga tidak malah dijadikan proyek memperkaya diri sementara manfaatnya tidak ada.
Kalau memang maksudnya ingin membuat orang Gayo tidak asing dengan bahasa Inggris. Membuat kebijakan seperti ini tentu jauh lebih logis dibandingkan dengan mengalokasikan dana sekian ratus juta untuk membuat Graffiti bertuliskan “Gayo Highland”. (Win Wan Nur)