Stehenk, Jawara Festival School Band di Takengon

Takengen | Lintas Gayo : Grup band Stehenk akhirnya diumumkan sebagai juara satu dalam ajang Festival School Band Competition yang digelar Sabtu (25/6) di pelataran doorsmer Kartika Takengon Kabupaten Aceh Tengah setelah menyisihkan 13 grup band lainnya. Sementara diposisi kedua dan ketiga masing-masing diperoleh Baby Steven Sound dan Audio Victor.

Dalam kegiatan yang disponsori oleh PT. Capella Dinamik Nusantara dengan memperebutkan sejumlah hadiah ini jumlah tampil beberapa grup band ternama seperti Zombeetnica, Punk 90 dan lain-lain dengan membawakan sejumlah lagu serta penampilan menarik Gema Beatbox Medan yang memperdengarkan suara sejumlah alat music percusi dengan mulutnya.

Amatan Lintas Gayo, para peserta yang terdiri dari para siswa dari Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah tampak bersemangat untuk tampil maksimal dengan membawakan masing-masing dua judul lagu. Jingle One Heart dan satu judul lagi bebas.

Yang agak menarik dan pantas mendapat apresiasi adalah tampilnya dengan percaya diri grup band Hamesha yang keselururuhan anggota grupnya adalah para siswi berjumlah 4 orang. “Walau tidak tampil maksimal dan tidak mendapat juara mereka tetap bersemangat dan ini festival yang kesekian kalinya mereka ikuti,” ujar Aulia, salah seorang juri festival tersebut kepada Lintas Gayo, Sabtu (25/6).

Acara yang terbilang sukses tersebut juga didukung oleh sejumlah pihak diantaranya Sentral Kupi, Level 72, Saufa Center, Mama Café, Bakso Pak Waluyo dan lain-lain.

Kurang Mendapat Ruang

Umumnya para peserta yang diminta menjawab pertanyaan apa harapan kedepan oleh presenter acara menyatakan permintaan agar diberi ruang gerak dan pembinaan oleh pemerintah setempat.

Hal ini ditanggapi salah seorang juri, Zainal yang mengaku sangat prihatin dengan sempitnya ruang bagi anak-anak muda yang berbakat dibidang music di Aceh Tengah. “Mereka kurang ruang gerak sehingga tidak bisa berekspresi dengan baik. Padahal potensi mereka luar biasa,” ujar Zainal yang mengaku sangat tidak sepakat atas tidak diperbolehkannya penyelenggaraan even music di malam hari di Aceh Tengah. Dia minta agar Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah mengkaji ulang aturan tersebut.

Pernyataan Zainal juga diamini oleh salah seorang panitia pelaksana Alfata. “Sudah beberapa kali even seperti ini kami gelar dan mendapat respon luar biasa dari generasi muda peminat musik di Aceh Tengah. Namun sayangnya kegiatan seperti ini kurang mendapat respon dari pihak pemerintah,” keluh Alfata.

Sementara oleh salah seorang juri lainnya, Khalis, yang diminta oleh panitia menjadi anggota tim penilai selaku wartawan yang kerap menulis tentang seni musik, budaya dan berita-berita yang berkaitan pembinaan generasi muda di Aceh Tengah menyatakan permintaan segera dipikirkan solusi agar generasi berbakat seni musik tidak merasa dianaktirikan di Tanoh Gayo.

“Ini adalah salah satu bentuk pelampiasan hobi yang positif bagi generasi muda dan perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak. Hendaknya jangan pandang sesuatu itu dari sisi jelek dan resikonya saja, coba kita pandang dari sisi positifnya,” ujar Khalis yang juga dikenal sebagai salah salah seorang pembina olahraga di Aceh Tengah.

Jika dilihat dari negatifnya, lanjutnya, maka seni Didong juga ada negatifnya karena dilakukan sepanjang malam hingga pagi hari dan tak jarang terjadi saling umpat antar ceh Didong. Juga dibidang olahraga seperti  berkuda, sepak bola, bola voli dan lain-lain juga negatif karena sangat mungkin atau patut diduga sebagai ajang perjudian.

“Sekarang banyak terjadi kenakalan remaja seperti bermesum, isap ganja, sabu-sabu, isap lem dan lain-lain, itu karena mereka tidak diarahkan dengan baik sesuai bakat dan kurang diberi ruang untuk berekspresi,” ujarnya sambil menyatakan keyakinannya jika anak-anak muda tersebut diminta manggung untuk menggalang dana pembangunan Masjid misalnya, pasti mereka mau dengan ikhlas tanpa dibayar.

Khalis juga mengungkapkan pengalamannya membina olahraga sepak bola, bela diri Kempo dan balap sepeda di Aceh Tengah. “Banyak atlit-atlit yang kurang mendapat perhatian di rumah atau malah yatim, piatu, yatim piatu atau dari keluarga kurang mampu  yang cenderung  nakal, kurang percaya diri dan keras kepala. Namun setelah dibina, kini mereka berubah jadi penurut dan merasa punya masa depan,” ungkap Khalis. (Wein Mutuah)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.