Kota para “pendongeng” bernama Jakarta

Win Wan Nur*

 

Sejak tinggal di Karawaci yang merupakan salah satu kota satelit Jakarta. Mau tidak mau saya pun jadi banyak bersentuhan dengan Jakarta. Bahkan nuansa di Karawaci ini sendiri pun masih sangat Jakara. Sehingga saya pun mulai akrab dengan kehidupan dan gaya hidup di Jakarta. Saya juga mulai berkenalan dengan banyak orang baru dan merasakan segala dinamikanya.

Dan apa yang saya lihat dan rasakan di Jakarta adalah; Dalam pergaulan di kota ini, citra dalam pengertian penampilan luar sangatlah penting. Bahkan lebih penting dibandingkan esensi. Penampilan luar akan sangat menentukan kita dihargai atau tidak. Di Jakarta ini, seseorang bisa diterima dalam pergaulan yang luas, kalau si orang tersebut dianggap modern, berpergaulan luas, berpendidikan dan punya uang. Sehingga seperti inilah citra yang ingin ditampilkan oleh setiap orang.

Dalam segi bahasa misalnya. Keempat citra di atas dicirikan dengan kemampuan berbahasa Inggris. Sehingga karena semua orang ingin mencitrakan diri sebagai modern, berpergaulan luas, berpendidikan dan punya uang. Timbullah fenomena bahasa Indonesia campur Inggris. Dimana tiap kalimat bahasa Indonesia dicampur dengan bahasa inggris semacam ‘which is’ yang dibaca “wicis”, “as if” dan lain-lain. Padahal sebenarnya padanan kata ini begitu mudah ditemukan dalam bahasa Indonesia.

Tapi mereka berbicara seperti itu seolah-olah karena sudah begitu terbiasanya berbicara dalam bahasa Inggris. Sehingga ketika bicara dalam bahasa Indonesia pun bahasa asing yang seolah-olah merupakan bahasa mereka sehari-hari itu secara tidak sengaja tetap tercampur.

Beberapa orang yang berasal dari daerah yang baru tiba di Jakarta, kadang langsung minder menghadapi fenomena ini dan merasa baru akan gaya dan dan diterima di Jakarta kalau sudah bicara seperti ini. Akhirnya gaya bahasa seperti ini menjadi wabah yang merambah ke mana-mana, sampai anak-anak kampung  yang bercelana jins murahan yang bagian bawahnya dijahit sekecil mungkin. Yang tinggal di pinggiran Jakarta sampai Tangerang pun bicara dengan bahasa Indonesia campur-campur ini. Tapi benarkah mereka memang sangat terbiasa berbahasa Inggris?.

Biasanya, sekali orangnya sudah keluar negeri, terus merasa ‘displaced'(maaf tetap menggunakan istilah Inggris karena sulit menemukan padanan katanya dalam bahasa Indonesia), maka otomatis apresiasi terhadap yang asli pun keluar. Sebab kalau sudah di luar negeri betulan seperti di Inggris atau Amerika atau Australia. Kalau  kita cuma ke Inggris-inggrisan, tentu saja  sama sekali sudah tidak keren lagi. Yang muncul justru apresiasi terhadap daerah asal.

Ini sama seperti logat ke Jakarta-jakartaan yang terdengar keren di daerah, tapi kalau sudah di Jakartanya sendiri tentu saja sudah tidak keren lagi.

Jadi orang yang berbahasa Inggris campur-campur (kadang-kadang konteksnya tidak tepat pula), patut disangsikan kalau dia benar-benar bisa berbahasa Inggris.

Saya sendiri sering iseng kalau melihat anak muda dan kadang orang seumuran saya yang bicara seperti ini di mall-mall yang saya kunjungi. Kadang-kadang, saya berpura-pura menjadi orang asing yang tidak bisa berbahasa Indonesia. Saya menghampiri mereka dan mengajak mereka bicara dalam bahasa Inggris tanpa campuran bahasa Indonesia dengan kecepatan berbicara yang normal. Yang terjadi mereka malah gelagapan, tidak mengerti apa yang saya katakan.

***

Selain bahasa Inggris, gaya asal jiplak yang mementingkan penampilan luar yang keren dan glamor tanpa mengerti esensi (unung-unung dalam istilah Gayo) ini tampaknya sudah merasuki segala segi kehidupan di Jakarta. Apa yang terlihat keren di luar negeri langsung dijiplak mentah-mentah secara vulgar di sini. Tanpa kedalaman sama sekali. Beda dengan dulu ketika Jepang meniru barat dengan melakukan restorasi Meiji.

Contohnya, budaya minum kopi yang memang sudah membudaya di eropa. Sekarang menjadi budaya pula di Jakarta. Cafe-cafe yang menawarkan kopi berkualitas muncul dimana-mana dan dipadati oleh pengunjung, para eksekutif muda yang terlihat begitu necis, perlente, bersih dan berkelas. Padahal rata-rata pengunjung itu sama sekali tidak memiliki apresiasi tentang kopi. Mereka tidak benar-benar bisa merasakan beda rasa antara kopi-kopi berkualitas yang ditawarkan dengan harga mahal di cafe tersebut. Dan mereka mau membayar mahal untuk sekedar terlihat gaya. Padahal dari hasil ngobrol-ngobrol dengan mereka rata-rata eksekutif muda yang necis, perlente, bersih dan berkelas yang nongkrong di Cafe itu bergaji di bawah 5 juta.

Melihat fenomena itu, saya sering secara otomatis membandingkan penampilan mereka dengan para tukang pembuat sepatu di Bali, yang berpenampilan lusuh dan wajah penuh debu. Atau tukang ayam yang bau di pasar Malabar yang dalam sehari bisa menjual 200 ekor ayam. Atau tukang lontong keliling yang setiap pagi nongkrong di depan pabrik tempat saya bekerja, yang sama sekali tidak gaya bahkan merasa minder masuk ke Cafe yang menjual kopi berkelas seperti itu. Tapi penghasilannya sebulan, di atas 6 juta.

Contoh lain adalah menjamurnya cafe yang menawarkan minuman anggur. Sekarang ini para sosialite di Jakarta tampaknya tidak keren kalau tidak minum anggur. Karena di kebudayaan barat, kegemaran minum anggur memang mencitrakan seseorang sebagai pribadi yang berkelas dan berbudaya.

Soal ini, saya pernah diperkenalkan oleh adik ipar saya dengan seorang calon rekan bisnis yang berusaha mencitrakan dirinya sebagai penggemar anggur yang fanatik. Calon rekan bisnis ini mengajak saya minum wine ( sekarang di Jakarta, anggur memang lebih dikenal dengan nama inggrisnya ‘wine’, kita akan mendapat kesan kampungan kalau menyebutnya anggur) di sebuah tempat minum wine di selatan Jakarta yang menurutnya memiliki koleksi yang cukup lengkap dan bagus-bagus.

Saya bukan seorang peminum anggur. Tapi dulu ketika saya masih punya anak satu dan punya waktu luang saya sempat punya rencana untuk menulis novel dengan judul “Antara Gayo dan Bordeaux”. Yang dalam ceritanya saya rencanakan akan membahas soal budaya minum kopi dan anggur. Cuma, karena belakangan, waktu luang saya sangat berkurang dan anak saya pun kemudian bertambah dua secara bersamaan. Akhirnya proyek novel ini tidak pernah terlaksana. Tapi karena dalam prosesnya dulu saya sempat belajar banyak soal anggur. Teman-teman di Perancis mengirimi saya bertumpuk buku dan majalah yang khusus membahas tentang anggur. Sehingga meskipun sangat jauh dari kategori ahli, saya cukup paham beberapa pengetahuan dasar tentang budaya minum anggur. Misalnya saya paham kalau Parker, pencicip anggur nomer satu yang komentarnya tentang produksi anggur setiap tahun menjadi acuan para konsumen anggur di Amerika untuk memborong anggur-anggur berkualitas dari Perancis setiap tahunnya. Hasil analisanya justru sering menjadi bahan tertawaan di Eropa sana.

Ketika istri saya masih bekerja sebagai direktur budaya di AF Denpasar. Dalam satu proyeknya istri saya bekerja sama dengan seorang sutradara asal Perancis untuk membuat film dokumenter. Saya diperkenalkan dengan suami si sutradara yang ternyata seorang peneliti sekaligus pecinta anggur yang memfokuskan penelitiannya pada morfologis lidah terhadap persepsi rasa anggur. Dari hasil bincang-bincang dengan dia, saya mengetahui fakta lain tentang anggur, bahwa ternyata karakter morfologis perasa pada lidah yang berbeda pada setiap ras manusia sangat mempengaruhi persepsi masing-masing ras manusia terhadap rasa anggur.

Karena itulah ketika ada orang Indonesia yang penggemar anggur dan bercerita dengan antusias tentang betapa bagusnya kualitas anggur Bordeaux yang baru dia minum. Saya langsung antusias dengan pembicaraan tersebut. Ketika dia bicara tentang anggur Bordeaux dan saya yang tidak familiar dengan nama ‘Chateaux’-nya.

Dengan penuh rasa ingin tahu saya langsung menanyakan “Itu anggur millesime kapan dan dari Bordeaux bagian mana?”.

Yang saya tanyakan ini adalah pengetahuan umum yang sangat mendasar dalam budaya minum anggur. Sama mendasarnya seperti pengetahuan umum bahwa Jakarta adalah Ibukota Indonesia.

Tapi saya benar-benar kaget ketika si pecinta anggur sejati (sebagaimana yang dia citrakan kepada saya) ini. Tidak tahu istilah ‘Millesime’ atau ‘Vintage’ dalam bahasa Inggris. Juga tidak tahu, anggur yang katanya sangat bagus itu berasal dari bagian Bordeaux yang mana.

Millesime itu adalah istilah menyebut tahun panen anggur. Dalam kultur para peminum anggur, Millesime ini sangat penting. Sebab kualitas anggur itu tidak sama setiap tahunnya. Semua sangat tergantung banyak sedikitnya sinar matahari pada tahun itu. Dan anggur di Perancis hanya dipanen setahun sekali, jadi ada tahun-tahun bagus dan ada tahun-tahun jelek. Sebagai contoh tahun 2000, adalah millesime yang sempurna, hampir di seluruh wilayah Perancis, tahun itu merupakan tahun yang bagus buat produksi anggur. Semua anggur Perancis keluaran tahun 2000 adalah anggur kualitas terbaik. Jauh sebelumnya, millesime yang bagus seperti tahun 2000 adalah tahun 1959. Anggur dari millesime-millesime istimewa seperti inilah yang biasanya disimpan dalam waktu lama dan makin lama disimpan makin mahal harganya. Sementara tahun-tahun yang lain, ada yang bagus untuk Bordeaux tapi tidak untuk daerah lain. Karena itulah di tiap botol anggur, selalu ditulis tahun panennya.

Begitu juga dengan daerah tumbuh, tidak semua anggur di Bordeaux itu sama kualitasnya. Di Perancis, anggur itu selalu tumbuh di daerah yang dilintasi sungai. Selain Bordeaux. Di daerah-daerah seperti Bourgogne, Sauternes, Alsace, Loire, Champagne, Languedoc, Rhone dan lain-lain selalu terletak tidak jauh dari sungai.

Di Bordeaux, perkebunan anggur terdapat di tepi sungai Gironde yang bermuara ke samudra Atlantik. Nah kualitas anggur yang ditanam di kedua tepi sungai itu tidak sama. Di bagian kanan sungai (dilihat dari Samudra Atlantik) adalah wilayah Medoc yang merupakan penghasil anggur-anggur terbaik dengan chateaux-chateaux seperti St.Estephe, Pauillac, St. Julien, Listrac Moulis dan Margeaux. Margeaux dan Pauillac adalah dua produk paling prestisius dari wilayah Medoc ini.

Sementara di tepi lainnya, terdapat wilayah yang disebut Cote de Blaye. Anggur yang dihasilkan di bagian ini di Perancis diistilahkan sebagai “Petit Vins”, alias anggur berkualitas medioker. Di tepi yang sama ke arah hulu, terdapat Cote de Bourg yang kualitas anggurnya malah lebih buruk dibanding Cote de Blaye.

Tapi 30 kilometer dari garis tepi Cote de blaye dan Cote de Bourg terdapat wilayah yang dikenal dengan nama St. Emmilion. Ini adalah salah satu tempat produksi anggur terbesar di Perancis. Di bawah kota ini ada 200 kilometer gua buatan bawah tanah untuk tempat penyimpanan anggur. Di tempat ini terdapat anggur prestisius Pomerol dan anggur Bordeaux terbaik Château Pétrus, yang merupakan anggur merah paling prestisius. Sebagai mana layaknya Château d’Yquem  dari Sauternes untuk anggur putih dan Moet et Chandon (diproduksi oleh perusahaan yang sama dengan Louis Vuitton) untuk Champagne.

Dan saya jadi lebih kaget lagi, ketika ‘pecinta anggur sejati’ ini justru takjub mendengar penjelasan saya yang bukan peminum anggur.Dan malah mengagumi pengetahuan saya yang sangat cetek dan dangkal tentang anggur. “Waduh pak, soal wine ini kalau dibandingkan bapak. Saya sih masih amatiran”, katanya dengan sikap minder yang sangat kentara. Dia sama sekali tidak percaya waktu saya katakan saya bukan peminum anggur.

Setelah itu beberapa kali saya bertemu dengan “peminum anggur fanatik” yang lain dan kejadiannya juga sama. Akhirnya sulit bagi saya untuk tidak berkesimpulan bahwa budaya minum anggur yang belakangan ini menjadi trend di Jakarta. Sama saja seperti trend-trend lainnya. Hanya trend asal jiplak yang membuat orang merasa gaya dengan tampilan luarnya. Unung-unung, kata orang Gayo.

Menyaksikan fenomena trend minum Anggur dan Kopi di Jakarta ini saya jadi teringat ucapan seorang kenalan bernama Arisa, seorang sutradara film asal Irlandia yang berdarah Indonesia dan sangat cinta Indonesia, yang bertemu saya sekitar 5 tahun yang lalu di Bali. Dia katakan, “di Jakarta, budaya harus dibuat glamor kalau kita ingin membuat orang tertarik pada budaya”. Tampaknya ucapan Arisa ini telah diterapkan dengan baik oleh pebisnis kopi dan anggur di Jakarta.

*****

Dalam berbisnis di Jakarta, kita juga bertemu dengan banyak sekali orang seperti ini. Orang-orang tampak begitu bonafid di luar tapi sama sekali tidak ada isinya di dalam. Misalnya di kota ini banyak orang yang mengaku punya akses ke bisnis yang bernilai milyaran sampai trilyunan. Mereka bicara bisnis batu bara, sekian milyar mengaku kenal dengan pemilik pertambangan di Kalimantan. Mengaku punya bisnis di Cina dan di Singapura. Lalu mengajak bertemu di cafe atau restoran saat makan siang, sebagai sopan santun tentu orang yang berkepentingan dengannya yang membayari makan siang. Tapi setelah itu. Dia langsung hilang, nomer HP yang diberikan pun tidak pernah bisa dihubungilagi.

Adik Ipar saya yang sudah kenyang makan asam garam berbisnis di Jakarta (karena dia memang lahir dan besar di sini) menggelari orang-orang seperti ini sebagai “Pendongeng”.

Bisnis yang menjadi makanan para “pendongeng” ini bukan hanya bisnis dengan skala hitungan milyar ke atas. Bahkan yang kecil-kecil seperti melayani katering untuk pembuatan film pun dibisniskan. Yang punya akses ke sana minta, sejumlah uang dalam kisaran ratusan ribu rupiah untuk diserahkan kepada penanggung jawab konsumsi. Supaya perusahaan yang mengajukan penawaran bisa dimenangkan. Tapi setelah uang diserahkan, akan muncul berbagai alasan. Entah penanggung jawabnya dipecat lah, dan lain sebagainya pokoknya uang tidak kembali.

Untuk dunia entertainment, dongengan ini bisa lebih dahsyat dan imajinatif dan bayarannya tidak harus selalu uang. Artis-artis atau model-model papan bawah yang bersaing ketat sesamanya untuk bisa menjadi simpanan pejabat, pengusaha atau anggota DPR, biasanya selalu menjadi mangsa empuk para pendongeng di dunia entertainment ini. Dengan modal kartu nama sebuah production house atau EO abal-abal, seorang pendongeng yang canggih bisa meniduri seorang artis atau model tanggung tapi terkenal. Secara GRATIS.

Saya sendiri pernah punya pengalaman lucu dengan para pendongeng ini. Waktu itu melalui berbagai perantara, ada yang menawari bisnis urukan tanah kepada saya. Kami membuat janji untuk bertemu di sebuah Kafe di Tangerang. Tapi yang kami temui bukan pemilik proyeknya langsung. Tapi tangan kanan si pemilik proyek.

Ketika bertemu, si tangan kanan pemilik proyek ini di sana dengan pakaian jins lusuh dan kemeja dengan ikat pinggang murahan dan mengenakan tas punggung. kepada kami dengan meyakinkan dia mengaku sebagai tangan kanan si pemilik proyek, yang katanya adalah Pramono Anung Ketua Partai demokrat. Awalnya saya pikir dia salah sebut Demokrat.

“Ya saya udah dua tahunan ini, jadi orang kepercayaannya Mas Pramono Anung. Jadi proyek ini aman lah, nggak usah khawatir. Ini mendapat restu langsung dari Cikeas kok” , ceritanya dengan sangat meyakinkan. Tapi saya sendiri, saat dia mengaitkan Pramono Anung, Demokrat dan Cikeas saya mulai tertawa dalam hati. dan adik ipar saya mulai menyenggol kaki saya. Tapi si tangan kanan Pramono Anung ini, tentu saja tidak sadar.

“Jadi di sini kami punya proyek urukan untuk 100 ribu rit, satu ritnya 650.000. Jalannya nggak jauh kok. Cuma sekian kilometer dan bla bla bla”.Dia terus bercerita tentang proyek tersebut dengan penuh semangat dan penguasaannya terhadap data-data dan aspek proyek tersebut tampak sangat meyakinkan. Dan untuk lebih meyakinkan, selama pembicaraan dia beberapa kali menerima telepon. Dari mas Pramono Anung (namanya disebut secara lengkap), langsung dari kantornya” katanya engan penuh percaya diri sambil mengantongi Blackberry-nya. Dan saat kita melanjutkan pembicaraan, saya bertanya dengan sok polos “Lho sejak kapan Pramono Anung pindah ke Demokrat?, bukannya dia di PDIP”. Enggak kok, dia di demokrat, dia ketuanya katanya ngotot “Lho bukannya ketua Demokrat Anas urbaningrum?”, tanya saya, masih dengan gaya polos. “Oh iya, itu maksud saya, maaf saya suka terbalik-balik namanya, soalnya mirip”, jawabnya masih dengan rasa percaya diri yang sama.

Saat sedang asik mengobrol bisnis, terdengar azan, saya pamit untuk menunaikan shalat ashar. Karena dia tahu saya orang Aceh, dan meskipun setelah kasus Cut Tari dan beberapa Cut lain yang membuat reputasi Aceh jatuh. Tapi tampaknya anggapan kalau orang Aceh itu alim masih belum hilang di benak banyak orang. Dia mempersilahkan, dan saya bukan menuju ke Mushalla. Tapi ke mobil dan langsung pulang, membiarkan mereka yang membayari makan siang.

Para pendongeng ini adalah salah satu mosaik yang memberikan ciri pada kehidupan sosial manusia Jakarta. Karena itulah saya merasa cukup heran, tidak ada antropolog yang serius mempelajari fenomena pendongeng di Jakarta ini. Padahal UI sudah memiliki jurusan antropologi sejak lama.

Kalau kita membaca sejarah, kota-kota dunia di masa lalu sering mencatat dan mengamati sisi gelap warganya yang ikut andil dalam membentuk karakter kota itu secara utuh. Contohnya kota Firenze (Sekarang dikenal sebagai markas klub AC Fiorentina) menjelang akhir abad ke 14. Setelah meredanya wabah Pes yang menyerang eropa. Firenze kota makmur tempat tinggal para seniman besar seperti Leonardo da Vinci, Michaelangelo, Donatello dan lain-lain yang melahirkan Renaissance ini. Yang saat itu berpenduduk 100.000 orang. Tercatat memiliki 17.000 pengemis.

Saya pikir akan menarik sekali kalau ada yang serius mendata, dari sekian juta penduduk Jakarta. Berapa jumlah orang-orang yang hidup dengan cara ‘berdongeng’ seperti ini.

 

*Warga Pinggiran Jakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments

  1. Bagus sekali oretannya, subhanallah..ya itulah penyakit yang tengah menjamur, dinegeri kita. Saya kebetulan tinggal di London, Inggris..tercengang cengang melIhat perubahan drastis seperti ini..penuh KEBOHONGAN, manipulasi, SERBA plastik membuat saya muak sehingga saya sering menyingkir ke Aceh atau Ambon..