Menjadi Konstituen Yang Cerdas

Marah Halim*

 

Pemilukada yang akan digelar adalah bagian dari hajatan politik yang sering dijargonkan dengan istilah “pesta demokrasi”. Meski yang berpesta adalah rakyat yang memilih pemimpinnya, namun pada akhirnya yang berpesta adalah calon terpilih, peraup suara terbanyak. Bak kata pepatah, ”Habis manis sepah dibuang” itulah yang selalu kita lihat. Karena itu sejak sekarang, mumpung hari ”H” masih jauh, sebagai konstituen harus cerdas menentukan pilihan.

Politik, yang sejatinya harus diperhatikan oleh semua lapisan masyarakat, dibenci tidak lain karena ulah para politikus nakal yang kekurangan taktik untuk menggaet simpati konstotuen.  Politik adiluhung (kelas tinggi) versi Amien Rais adalah kemampuan menarik konstituen dengan cara diplomasi dan pendekatan yang jujur, ikhlas dan apa adanya, bukan “ada apanya”. Dalam bahasa ESQ (Emosional and Spritual Quotiont) itulah yang dinamakan dengan inner beauty (kecantikan batin) yang akan tampak dengan sendirinya, tidak mungkin dipoles dan dimanipulir sedemikian rupa.

Konotasi miring masyarakat kepada para politikus, parlemen, eksekutif, penegak hukum dan sebagainya, itu karena mereka gagal memiliki dan menampilkan inner beauty tersebut, yang hakikatnya adalah fitrah setiap insan, sayangnya potensi itu cenderung dibekap dan disumbat dengan personal/party interest, sehingga imej negatif masyarakat ketika melihat seorang politikus adalah kelihaian dan kelicikannya, dan imej itu tidak akan pernah sirna kecuali mereka bertekad membenahi diri. Inner beauty, tanpa harus dipamerkan, akan terasa dan kelihatan di mata masyarakat; mutiara akan tetap berkilau meski terbenam dalam lumpur hitam sekalipun, begitu kata bijaknya.

Menarik untuk dicermati adalah, bahwa demokrasi dan keadilan menjadi isu yang paling pokok yang diusung oleh setiap partai kontestan pemilu. Kedua istilah itu ibarat menu yang ditawarkan di restoran. Menu itu diracik dengan memakai bumbu-bumbu penyedap yang terkenal. Kekhasan menu itu diiklankan lewat media massa, pamplet, spanduk, dan sebagainya sehingga setiap orang penasaran ingin mencicipinya. Tapi, tatkala mereka memesan dan melahap hidangan “istimewa” tersebut, alangkah kecewa dan marah mereka, ternyata cita rasa yang dijanjikan ternyata isapan jempol belaka, menu tersebut terkesan elit karena dikemas dengan nama yang kebarat-baratan saja, padahal, rasanya masih kalah dengan mi Aceh di warung pinggir jalan.

Tidak jauh beda dengan pemilu. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa pemilu adalah ajang obral janji dan mimpi-mimpi indah demokrasi, keadilan dan kesejahteraan.  Berapa kali sudah masyarakat terbuai dengan janji-janji manis kontestan pemilu.

Konstituen yang cerdas tidak mudah dininabobokkan oleh terma-terma seperti demokrasi, keadilan, kesejahteraan, kesetaraan, pembangunan, kebersamaan, dan seabrek istilah lainnya adalah terma-terma yang akan diobral  para kontestan. Tidak usahpun mereka sebut-sebut toh itu memang terma-terma yang sudah menjadi cita universal. Ibarat candu, para kontestan akan membuat masyarakat hanyut dalam mimpi-mimpi indah demokrasi. Karena itu, konstituen yang cerdas harus bisa membedakan mana calon yang potensial bisa mewujudkan janjinya dan mana yang asbun.

Konstituen Harus Cerdas

Ketika masyarakat  masih percaya pada janji-janji manis sebuah partai atau seorang caleg, apakah masyarakat awam atau yang berpendidikan, itu menandakan bahwa mereka sebenarnya masih lugu dalam berpolitik. Lugu bukan sekedar gampang dirayu dengan berbagai iming-iming, tapi juga dalam memposisikan diri sebagai individu yang punya hak dan kewajiban yang sama dengan siapapun sebagai warga negara.

Keluguan dalam berpolitik dilatarbelakangi oleh banyak faktor, salah satunya adalah pendidikan. Pendidikan dan pengalaman yang rendah membuat masyarakat selalu menjadi objek, tak pernah menjadi subjek dalam setiap pesta demokrasi. Karena itu, untuk berpartisipasi dengan baik dalam Pilkadasung ini,  masyarakat tidak boleh lugu tapi harus cerdas. Cerdas bisa bermakna cerdas emosional dan rasional.

Kelemahan masyarakat di negara berkembang dengan tingkat melek demokrasi yang rendah adalah karena masyarakat masih emosional dalam berpolitik.  Masyarakat di sini adalah masyarakat dalam semua strata, lebih-lebih masyarakat awam yang hampir buta dengan politik.  Bagi masyarakat awam, pesona dan kharisma seorang pemimpin dapat begitu melekat dalam sanubari mereka, apalagi jika pemimpin yang mereka kagumi itu terus-menerus menyuntikkan serum kekaguman itu lewat berbagai cara.

Banyak partai yang berusaha mengobok-obok emosional konstituen  dengan berbagai cara seperti money politic berbentuk bantuan dadakan, pemberian bea-siswa, sumbangan masjid dan sebagainya.  Konstituen yang cerdik adalah mereka yang tak bergeming hanya karena disodori sejumlah uang dan kaos oblong dan hiburan artis murahan. Jika ada kontestan yang berprilaku demikian, sikap kontestan yang cerdik sebaiknya adalah menerima saja “sumbangan” mereka, tapi untuk memilih tunggu dulu.

Konstituen yang cerdas juga tidak terpesona dengan figur-figuran. Mengkultuskan figur-figur tertentu bagi mereka bukan zamannya lagi. Figure oriented (ketergantungan pada figur tertentu) hanya cocok pada masa orla atau orba saat masyarakat masih terpesona dengan figur Soekarno dan Soeharto. Saat ini haram hukumnya terpesona dengan tampilan lahiriyah yang kosong batiniyahnya. Di negara-negara yang masyarakatnya telah melek demokrasi, figur oriented ini hampir tidak ada lagi.

Kontestan yang cerdas juga akan mengkritisi visi dan misi para kontestan, tidak akan mempercayainya secara taken gor granted. Dengan berpegang pada visi dan misi itu, konstituen berani meminta kontestan untuk mengadakan kontrak politik dengan mereka, dan ketika suatu saat sang kontestan ingkar janji, maka mereka akan menarik dukungan secara massal, meski suara sudah terlanjur diberikan.

 

*Mahasiswa S2 Ilmu Hukum, Unsyiah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.