Reformasi Birokrasi di Gayo

Sabela Gayo*

Ketika kita mendengar kata “birokrasi” maka yang terlintas dalam benak kita adalah proses dan prosedur administrasi pemerintahan yang berbelit-belit, mahal, membosankan,dan penuh intrik. Birokrasi juga sering dikaitkan dengan keberadaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai penyelenggara administrasi publik baik pusat maupun daerah. Persoalan birokrasi merupakan salah satu isu penting yang dibicarakan dalam 2011 World Economic Forum, di mana disebutkan bahwa ada 3 (tiga) hambatan besar bagi Indonesia untuk maju yaitu Birokrasi, Infrastruktur dan Korupis. Ketiga permasalahan tersebut apabila bisa diselesaikan oleh Indonesia secepatnya maka Indonesia akan menjadi salah satu negara “kuat” baik di kawasan ASEAN maupun dunia. Bahkan diramalkan jika proses tersebut berjalan lancer, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berada diatas Korea Selatan dan China.

Pasca reformasi 1998, Pemerintah sudah berupaya untuk melakukan reformasi birokrasi bahkan salah satu maksud dan tujuan dari dikeluarkannya UU Pemerintahan Daerah No. 32 Tahun 1999 adalah mempersingkat dan mempermudah birokrasi publik didaerah-daerah. Ternyata, pemerintah daerah sendiri belum mampu secara maksimal menjawab tantangan pusat tersebut dalam menyediakan proses birokrasi yang mudah, murah, sederhana dan cepat. Struktur birokrasi di Indonesia sampai hari ini baik di pusat maupun di daerah masih sangat hirarkis, hal ini terlihat dari kebiasaan kerja yang selalu menunggu perintah, petunjuk dan persetujuan atasan. Tidak adanya budaya inisiatif dari penyelenggara administrasi publik menyebabkan matinya daya kreatifititas dan profesionalitas para aparatur birokrasi baik di pusat maupun di daerah. Kondisi demikian juga terjadi hampir di semua lembaga publik khususnya lembaga penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaaan dan Kehakiman.

Wujud nyata dari komitmen pemerintah dalam melaksanakan reformasi birokrasi adalah dengan dibentuknya Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Birokrasi yang nantinya akan menjalankan fungsi-fungsi pengawasan dan pengarahan dalam melaksanakan agenda reformasi birokrasi di Indonesia. Pemerintah sudah mengeluarkan Perpres No 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi yang mencakup 8 (delapan) perubahan yang harus dilakukan dalam reformasi birokrasi, yaitu: Kelembagaan, Ketatalaksanaan, Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan, Sumber Daya Manusia Aparatur, Pengawasan, Akuntabilitas, Pelayanan Publik, Pola Pikir (mind set) dan budaya kerja (culture set).

Reformasi yang terlihat di tingkat nasional justru identik dengan remunerasi, padahal reformasi birokrasi tidak harus dikaitkan dengan adanya perbaikan remunerasi. Sebagai contoh lembaga Kehakiman merupakan lembaga yang pertama menerapkan perubahan kebijakan remunerasi dalam rangka reformasi birokrasi justru pada kenyataannya kinerja para Hakim masih tetap berjalan di tempat dan tidak menunjukkan perubahan yang berarti dalam hal kualitas kerja di lapangan. Saat ini ini sekitar 9 (sembilan) Lembaga/Kementerian yang sedang melaksanakan agenda reformasi birokrasi yaitu; Kemenkopolhukan, Kemenko Perekonomian, Kemenko Kesra, Kementerian Pertahanan, TNI, Polri, Kemenpan dan Reformasi Birokrasi dan BPKP.

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi telah mengeluarkan Pedoman Evaluasi Reformasi Birokrasi berupa peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi seperti Permen PAN Nomor 15 Tahun 2007 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi dan Permen PAN Nomor 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi dan peraturan-peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur dan Reformasi Birokrasi lainnya. Hasil Evaluasi yang dilakukan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi nantinya akan direkomendasikan kepada Wakil Presiden selaku Ketua Komite Pengarah Reformasi Birokrasi. Pada tahap awal, sekitar awal tahun 2008 ada 3 (tiga) kelembagaan yang telah ditetapkan sebagai pilot project pelaksanaan reformasi birokrasi yaitu; Kementerian Keuangan, Badan Pengawas Keuangan (BPK) dan Mahkamah Agung yang berpedoman pada Permen PAN Nomor 15 Tahun 2007 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi. Tetapi sejak keluarnya Perpres Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi maka setiap lembaga/Kementerian yang akan melaksanakan agenda reformasi birokrasi harus menyesuaikan programnya dengan Perpres Nomor 81 Tahun 2010 tersebut dan Peraturan Menteri PAN lainnya seperti Permen PAN Nomor 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi.

Salah satu tujuan utama dilaksanakannya agenda reformasi birokrasi adalah dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang bersih (clean government) dan tata kepemerintahan yang baik (good governance). Sistem birokrasi di Indonesia dibangun atas dasar pemikiran Max Weber yang berlandaskan pada pendekatan struktur-hirarkis. Sehingga dapat dilihat sistem birokrasi di Indonesia tumbuh secara vertikal linear dalam arti “arah kebijakan dan perintah dari atas ke bawah dan pertanggungjawaban berjalan dari bawah ke atas”. Selanjutnya, sistem birokrasi di Indonesia masih sangat kuat dipengaruhi oleh budaya “feodalistis”, tertutup, sentralistik, arogan, dan tidak atau kurang senang dengan kritik sehingga sulit dikontrol secara efektif. Oleh karena itu apabila kondisi yang demikian terus dipertahankan maka hal itu akan menjadi lahan yang subur bagi berkembangnya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan neo-KKN. Reformasi birokrasi dalam konteks pembangunan sistem administrasi negara harus didasarkan pada prinsip-prinsip yaitu; demokrasi dan pemberdayaan, pelayanan, transparansi, partisipasi, kemitraan, desentralisasi, dan konsistensi kebijakan. Salah satu upaya yang harus dikembangkan dalam upaya pelaksanaan prinsip-prinsip tersebut adalah e-procurement, e-recruitment, e-administration dan e-government.

Dalam konteks Aceh pelaksanaan agenda reformasi birokrasi seharusnya dijadikan sebagai agenda prioritas pada masa awal-awal kepemimpinan Gubernur/Bupati/Walikota yang terpilih pasca perdamaian MoU Helsinki karena Aceh memiliki legitimasi yang kuat dalam menerapkan agenda reformasi birokrasi sesuai dengan amanah UU Pemerintahan Aceh Nomor 11 Tahun 2006. Peran dan fungsi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam pelaksanaan agenda reformasi birokrasi sangat penting dan strategis karena ditangan para PNS lah kebijakan-kebijakan administrasi pemerintahan, dan agenda-agenda pembangunan dilaksanakan dengan kata lain para PNS lan ujung tombak dan pelaksana lapangan setiap kebijakan-kebijakan dan program-program pemerintah baik pusat maupun daerah, jadi ketika PNS nya bersih maka kemungkinan besar program-program dan kebijakan pemerintah akan terlaksana dengan baik, lancar, tanpa hambatan dan tepat sasaran, tetapi sebaliknya, jika para PNSnya “tidak bersih” atau “kurang bersih” maka semua kebijakan dan program pemerintah akan kacau dan tidak tepat sasaran. Oleh karena itu sistem pengawasan dan pembinaan PNS yang baik, komprehensif, terpadu harus diciptakan agar selaras dengan agenda kebijakan reformasi birokrasi nasional. Khusus bagi Aceh, terkait dengan manajemen pengawasan dan pembinaan PNS pada Pasal 118 (2) disebutkan bahwa “Manajemen Pegawai Negeri Sipil di Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penetapan formasi, pengadaan, pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pension, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak dan kewajiban, kedudukan hukum, pengembangan kompetensi dan pengendalian jumlah”. Dan ayat (2) menyebutkan “Pengelolaan manajemen pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diserahkan pelaksanaannya kepada Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota”.

EE Mangindaan, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi menyebutkan bahwa hambatan terbesar pelaksanaan agenda reformasi birokrasi terletak pada lemahnya sumber daya manusia dan rendahnya kemauan dari para birokrat itu sendiri dalam melaksanakan program-program reformasi birokrasi. Disamping sempitnya pemahaman reformasi birokrasi hanya sebatas remunerasi semata. Selanjutnya, EE Mangindaan juga menyebutkan, diperlukan adanya kemitraan yang strategis antara pemerintah (government), dunia usaha (private sector) dan masyarakat (civil society). Menurut Agus Dwiyanto, Pakar Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang seharusnya direformasi terlebih dahulu sebelum menerima mandate dalam melaksanakan agenda reformasi birokrasi. Hal ini menunjukkan bahwa adanya krisis kepercayaan dari masyarakat terhadap pelaksana agenda reformasi birokrasi itu sendiri. Sebenarnya aspek yang paling penting dari agenda reformasi birokrasi adalah desentralisasi semua kewenangan pemerintah dibidang administrasi publik dan birokrasi kepada pemerintah daerah sehingga daerah tidak lagi harus menunggu arahan, petunjuk atau persetujuan pusat dalam mengambil setiap kebijakan yang terkait dengan pelayanan publik, administrasi publik dan reformasi birokrasi di daerah. Pemerintah pusat harus rela untuk menyerahkan semua fungsi dan kewenangannya di bidang birokrasi, pelayanan publik dan administrasi publik kepada daerah sehingga jika selama ini daerah yang datang ke pusat maka ke depan pemerintah pusat yang datang ke daerah, artinya pemerintah pusat hanya bertindak sebagai pengawas saja. Karena apabila kondisi sentralistik pembinaan dan pengawasan kepegawaian terus-menerus dipegang oleh pemerintah pusat sedangkan mereka bekerja di daerah maka hal itu akan menjadi salah satu faktor penghambat utama pelaksanaan agenda reformasi birokrasi di daerah.

Pelaksanaan reformasi birokrasi dan administrasi publik di daerah jauh lebih baiknya dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah pusat, hal ini terbukti dengan adanya berbagai macam terobosan di bidang birokrasi, pelayanan dan administrasi publik yang dilakukan oleh sejumlah daerah seperti; One Stop Service (Pelayanan Publik Terpadu Satu Pintu di Aceh, Sragen, Sidoarjo, Solo, Takalar, Kota Bandung, Jembrana dan Bandarbaru), Remuneration system (Tunjangan kinerja daerah/Tunjangan Prestasi dan Kinerja Daerah di Aceh, Gorontalo, Riau, Solok, Jogjakarta dan Jembrana), Open Recruitment (Sistem Rekrutmen Pejabat Daerah yang Terbuka di Aceh, Jogjakarta dan Jembrana), Transparency and Participation Commission (Komisi Partisipasi dan Transparansi di Lebak dan Kota Gorontalo), Integrity Pact (Penerapan Pakta Integritas bagi Pejabat Publik di Solok dan Kota Jogjakarta), Integrity Pact for Procurement (Penerapan Pakta Integritas bagi Pengadaan Barang dan Jasa di Banjarmasin dan Jawa Timur), Citizen’s Charter (Kontrak Pelayanan Publik di Blitar dan Jogjakarta), Assessment Centre (Pusat Asesmen untuk Pegawai di Yogyakarta), E-Procurement (Pembentukan Layanan Pengadaan Barang dan Jasa secara Elektronik di Kota Surabaya, Jogjakarta, Pekanbaru, dan Jawa Barat), Organizational Rightsizing (Penyederhanaan Struktur Organisasi di Aceh, Jembrana, DIY dan Gorontalo), Participation Forum for Development (Pembentukan Forum Partisipasi Pembangunan di NTB, Jogjakarta dan Blitar), Free of Charge Education (Pembebasan biaya pendidikan dasar dan menengah di Jembrana, Kutai Kertanegara dan Riau), Free of Charge Health Services (Pembebasan biaya kesehatan di Aceh, Jembrana, Kutai Kertanegara, Riau dan Kota Jogjakarta) dan masih banyak lagi terobosan-terobosan lainnya yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam hal reformasi birokrasi, administrasi dan pelayanan public.

Terpulang kembali dengan apa yang pernah disampaikan oleh EE Mangindaan, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi bahwa hambatan terbesar dalam pelaksanaan agenda reformasi birokrasi berasal dari dalam kalangan birokrasi itu sendiri mulai dari Menteri, Gubernur, Bupati, Walikota, Kepala Dinas, dan Camat. Mungkin mereka merasa “nyaman” dan “aman” dengan kondisi status quo tersebut sehingga tidak mau berubah dan bagi Gayo (Red; Aceh Tengah) perubahan dan suksesnya proses reformasi birokrasi tergantung pada sosok Bupati yang akan terpilih pada periode 2011-2016 nanti, kalau Bupatinya seorang yang berjiwa visioner dan pro pada perubahan dan perbaikan nasib rakyat maka agenda reformasi birokrasi, administrasi dan pelayanan publik menjadi agenda wajib pada awal-awal pemerintahannya. Tetapi sebaliknya, jika Bupati yang terpilih adalah sosok yang pro status quo karena ia juga punya kepentingan baik secara politik, sosial, dan ekonomi terhadap kondisi status quo tersebut maka agenda reformasi birokrasi di Gayo khususnya Aceh Tengah hanya tinggal kenangan saja. oleh karena itu, rakyat Gayo adalah pemegang kedaulatan rakyat yang tertinggi dan lagi-lagi semuanya terpulang pada rakyat Gayo dan rakyat Gayo harus cerdas dalam memilih pemimpinnya demi perbaikan nasib umat ke depan.

 

*Mahasiswa Program Ph.D.in Planning and Development of University Northern Malaysia (Universiti Utara Malaysia). Wali World Gayonese Association (WGA).

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments

  1. muanteb bro..! lihat tulisan2 terkait di http://asian.or.id/
    setuju sekali dengan Johansyah: rekruitmen yg benar2 merit! biarin aja pemilu berlangsung ngawur sogok2an…biar diurus pakar politik dan LSM2 pencari duti itu…, tapi pengangkatan pegawai negeri harus merit! harus ada analisis jabatan lebih dulu…! anak, keponakan, asal daerah…singkirkan dari filter rekruitmen…!

  2. Satu modal sebenarnya sudah dimiliki oleh orang Gayo. Masyarakat Gayo adalah masyarakat yang secara kultural merasa asing dengan budaya feodal.

    Jadi sebenarnya sistem birokrasi di Indonesia yang anda katakan masih sangat kuat dipengaruhi oleh budaya “feodalistis”, tertutup, sentralistik, arogan, dan tidak atau kurang senang dengan kritik sehingga sulit dikontrol secara efektif. Sebenarnya secara kultural sangat asing bagi orang Gayo.

    Sehingga sebenarnya secara kultural, suku Gayo adalah salah satu suku di Indonesia yang paling siap untuk menerima demokrasi.

    Karena itulah demi perbaikan nasib umat ke depan, ada baiknya orang Gayo kembali menggali nilai-nilai kulturalnya. Tidak perlu minder dengan kultur luar yang bersifat feodalistik yang sebenarnya tidak cocok dengan demokrasi itu.

    Dan selebihnya, tulisan anda ini sangat berbobot dan sangat bermanfaat bagi kita semua.