Ekspresi Estetika Rakyat Gayo Lues Memang Mahal

Sebuah tarian Saman yang sempurna adalah tarian Saman yang ditonton bersama penontonnya. Bagaimana memaknai kalimat ini? Maka deskripsi berikut semoga dapat menjadi definisi yang baik untuk sebuah thesis yang bunyinya, “Sebuah tarian Saman yang sempurna adalah tarian Saman yang ditonton bersama penontonnya.

Suatu malam, beberapa waktu lalu, di bawah tenda yang luas berhias janur kuning diterangi lampu-lampu listrik dengan voltase seadanya di sesudut Kota Blangkejeren, ibukota Gayo Lues, dua belas group tari Saman yang berasal dari berbagai kecamatan di kabupaten Seribu Bukit itu, diperlombakan.

Ratusan pengunjung, baik yang berasal dari Kota Blangkejeren sebagai pusat perhelatan maupun dari kecamatan-kecamatan tempat setiap group yang akan bertanding malam itu berasal, duduk bersimpuh dan memeluk lutut di terpal yang digelar di atas tanah bawah tenda.

Saat perlombaan dimulai, para penonton itu antusias mengarah telinga dan mata pada dua group penari saman yang sedang beraksi di wilayah tengah-tengah tenda. Jadi penonton dan barisan penari sama-sama berada di atas segelaran terpal. Sekali-sekali ketika syair yang dilantunkan salah satu group berada pada bait-bait yang menggelitik, semua penonton sontak berteriak dengan pekikan-pekikan yang responsif.

Kembali kepada thesis, “Sebuah tarian Saman yang sempurna adalah tarian Saman yang ditonton bersama penontonnya.” Definisi ini mengacu pada sebuah kesimpulan, bahwa pada dasarnya tarian Saman adalah sebuah perhelatan ekspresi seni yang mewakili segenap jiwa masyarakat yang disampaikan melalui gerak dan syair para penari, baik secara fisik maupun semangatnya.

Terbukti malam itu, antara penari dan penonton sama-sama duduk di satu lingkaran di atas satu gelaran tikar. Yang menonton, menonton dengan mata terbelalak. Yang menari, menari dengan semangat gerak tubuh yang ekspressif.

Hal ini sangat berbeda ketika tarian Saman dipergelarkan di luar komunitas asal-muasal Saman itu sendiri seperti di lapangan-lapangan dan gedung-gedung mewah di kota-kota besar, baik di Aceh maupun di kota-kota lain luar Aceh, di ibukota negara, Jakarta; atau di negeri-negeri di Eropa dan Amerika, yaitu digelarkan di atas panggung yang secara fisik amat jauh jarak pisahnya dengan keberadaan penonton.

Dan unsur  semangat penyatuan, di samping biasanya lebih diperjarak oleh budaya penataan panggung yang amat intertainmer dengan sistem lighting dan dekorasi yang mewah, masyarakat penonton pun samasekali bukan dari komunitas masyarakat tempat di mana tarian Saman tercipta. Sehingga pada fakta ini, tarian Saman kehilangan medan magnetik dalam wujud gairah timbal-balik antara penari dan penonton.

Di sini makna Saman hanyalah terletak pada gerakan khas tariannya saja. Kalau pun orang bertepuk tangan gegap-gempita, itu hanya karena gerakan-gerakan tariannya yang memang tak ada dua dalam khasanah tari yang pernah ada di dunia.

Di luar komunitas penontonnya maka sayair-syair dalam tarian Saman sudah tidak bermakna. Di situ penonton asing juga kehilangan subtansi dari gairah folosofi setiap gerakan. Semaksimal yang mampu dicapai peminat asing untuk menonton tarian Saman secara sempurna adalah, menonton tarian Saman yang sedang berlangsung di tengah lingkaran lesehan penonton “tradisional”nya sendiri. Tarian Saman yang kehilangan penonton atau unsur semangat penonton aslinya, adalah tari Saman yang cacat. Karena, tari Saman adalah: Gairah Ekspresi Estetika Rakyat Jelata (masyarakat Gayo Lues).

Konsekwensi dari thesis di atas adalah bermuara pada suatu logika, bahwa untuk menonton tari Saman yang sempurna orang harus datang ke Gayo Lues. Tari Saman yang dipergelarkan di luar komunitas tempat ia lahir, adalah tari Saman yang cacat (walaupu di”kolak” dengan panggung dan sistem lighting yang mewah seperti lazimnya panggung-panggung di dunia intertainment Eropa dan Amerika).

Dan logika berikutnya adalah, bila kita hendak membawa/mempergelarkan tari Saman yang sempurna ke Amerika atau Eropa, kita juga harus membawa sejumlah warga setempat yang terdiri dari laki-laki tua-muda, perempuan tua-muda sebagai komunitas penontonnya. Jika antithesisnya bahwa bukankah itu terlalu mahal? Maka sintesisnya adalah: tarian Saman sebaga Gairah Ekspresi Estetika Rakyat Gayo Lues, memang mahal.■(musmarwan abdullah | harian-aceh.com)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.