Teriakan Imo, Benarkah “Tauk” Meminta Turun Hujan?

Catatan: Syah Antoni*

“Imo so putetiro uren” ( siamang itu sedang meminta hujan ), kalimat yang sering diucapkan oleh orang tua di Gayo saat mendengar siamang bersahutan. Lantas, benarkah imo berteriak untuk meminta hujan turun?.

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut alangkah baiknya kita berkenalan terlebih dahulu dengan salah satu primata dilindungi tersebut.

Imo atau Siamang yang memiliki nama ilmiah “Symphalangus syndactylus” adalah kera berwarna hitam yang berlengan panjang, masih termasuk keluarga Owa. Primata bertubuh besar yang sebagian besar hanya bisa ditemui di pulau Sumatera dan beberapa wilayah semenanjung Malaya. Imo bukanlah primata nokturnal, mereka lebih banyak beraktifitas di pagi dan siang hari. Mereka berinteraksi dalam kelompok-kelompok kecil.

Biasanya antara dua sampai empat ekor tiap kelompoknya. Imo dapat hidup direntang usia 30 sampai 40 tahunan. Primata ini sangat gesit saat mengeksplorasi dahan – dahan pohon besar, habitatnya adalah hutan hujan tropis lebat.

Illegal loging dan alih fungsi lahan mau tak mau membuat habitat Imo kian berkurang tiap harinya yang menyebabkan Imo berstatus konservasi “terancam”. Imo jantan dewasa berperan dalam membesarkan bayi ketika bayi Imo berusia sekitar satu tahun. Fenomena yang jarang sekali ditemukan pada primata lainnya.

Lazimnya, imo muda hidup bersama keluarga sampai berusia tujuh tahun, kemudian berpisah untuk mencari pasangan dan membentuk keluarga sendiri. Di Dataran Tinggi Gayo khususnya, imo bisa dijumpai hampir disemua wilayah hutan yang memiliki kelebatan dan kerapatan pohon yang tinggi.

Lalu, benarkah teriakan dan sahutan adalah ritual meminta hujan ?.
Siamang memiliki kantung tenggorokan yang biasa disebut kantung gular. Kantung yang dapat mengembang menjadi besar bahkan sebesar kepala imo dewasa yang berfungsi membuat pita suara lebih keras dan nyaring. Saat terancam atau dalam keadaan bahaya, siamang betina seringnya mengeluarkan suara yang nyaring lalu diikuti siamang jantan selama tiga hingga lima belas menit.

Suara akrobatik mereka dapat terdengar hingga dari jarak sekitar 5 sampai 7 kilometer. Selain itu, Pada pagi hari, betina dewasa seringnya memulai teriakan teritorial lalu diikuti oleh imo lainnya. Saling bersahutan tersebut dapat berlangsung hingga 30 menit. Jantan dan betina yang berpasangan juga saling bersahutan. Bahkan, setiap pasangan akan menciptakan suara panggilan yang unik, biasanya hal tersebut menandakan musim kawin telah tiba.

Selain dari cerita orang – orang tua di Gayo, penulis belum menemukan satu referensipun yang menegaskan bahwasanya imo yang sedang berteriak atau bersahutan sebagai tanda meminta hujan turun. Mungkin saja, hal tersebut adalah analogi orang jaman dahulu yang mengharapkan hujan turun saat kemarau. Sebagai munajat guna menghapus kekeringan yang bisa saja menyebabkan tanaman rusak, atau karena ikhwal lainnya.

* Pendiri Pokdarwis Tingkem, Jurnalis Lintasgayo.com, warga Bener Meriah.

Comments are closed.