Oleh : Drs. Jamhuri, MA*
Membaca berita di situs berita www.lovegayo.com Kamis (13/07) tentang maraknya rentenir di Aceh Tengah, membuat saya teringat dengan bentuk lain transaksi yang berjalan di Gayo namun luput dari perhatian semua orang.
Satu hari sekitar satu tahun yang lalu saya berada di kampung halaman dan berkunjung ke rumah abang/kakak (Aman/Inen Maskanah), tidak lama ketika saya duduk dirumahnya datang seorang “toke”. Setelah mengucapkan salam ia memanggil akan maskanah, aka ! diulanginya beberapa kali dengan nada memanggil, akan maskanah keluar, si toke langsung berkata “bagaimana kalau jahe yang ada di kebun kakak, saya beli dengan harga Rp. 100.000, (seratus ribu rupiah), kakak yang memiliki kebun terdiam sejenah lalu mejawab kalau ditambah lagi harganya bagaimana ?
Mendengar system jual beli yang dilakukan tersebut, saya berkata kepada si pembeli (toke). Kalau jahenya lebih banyak dari yang anda perkirakan anda akan untung, tapi kalau jumlahnya kurang dari yang anda perkiraan anda akan rugi. Apakah jual beli yang seperti ini menurut anda baik ? menurut saya cara anda melakukan jual beli seperti itu tidak benar menurut agama, karena anda belum melihat bentuk barangnya, anda juga belum melihat jumlah barangnya. Tapi si toke menjawab, hal seperti itu sudah sering dilakukan, dan kami dengan penjual saling setuju.
Prilaku antara penjual dengan pembeli seperti ini lumrah terjadi di kalangan masyarakat petani di Gayo, membeli barang yang tidak nampak seperti jahe, kunyit. Banyak juga pembeli yang berkeliaran di kebun masyarakat dengan mengambil buah seperti pukat, jeruk, pisang, markisah dan lain-lain tanpa sepengatahuan pemilik kebun. Kemudian barang yang diambil tersebut langsung dibawa untuk dijual, dengan ukuran kilo gram dan harga tidak sepengetahuan pemilik barang, dan sesudah berselang hari harganya diserahkan.
Dalam transaksi jual beli, bentuk yang seperti itu disebut dengan “Ijon” yaitu menjual buah yang masih putik yang ada di pohon, menjual buah yang tidak nampak, menjual kerbau atau kuda yang masih dalam kandungan, menjual padi yang masih ada di sawah. Nabi melarang prilaku seperti itu dengan bunyi hadis “jangan kamu menjual buah yang masih ada di pohon”. Dari ungkapan nabi ini ulama menetapkan hukum jual beli tersebut haram.
Ulama hukum Islam menetapkan dalam transaksi jual beli ada syarat dan rukun, setelah itu dipenuhi barulah jual beli itu dikatakan sah. Diantara syarat yang harus dipenuhi adalah penjuan dan pembelinya harus orang yang dewasa, dan kalau anak-anak melakukan jual beli harus dengan bimbingan orang tua, barang yang di jual atau yang dibeli tidak boleh barang najis atau juga barang yang diharamkan. Sedang rukun jual beli harus ada : Penjuan dan pembeli, adanya aqad atau ucapan dari si pembeli yang akan membeli barang dan ungkapan dari penjual yang menjual barang, serta barang yang dibeli harus jelas baik dari segi jumlah, ukuran dan kualitas barang. Kemudian adanya harga yang dijadikan sebagai alat tukar barang.
Bila kita lihat transaksi atau jual beli yang telah disebutkan, maka jelas dalam jual beli tersebut ada penjual dan pembelinya bahkan sudah dewasa, diantara mereka saling menyebut diri apakah sebagai penjual atau pembeli melalui aqad. Namun ketika kita perhatikan terhadap apa yang dijual kendatipun jenisnya jelas tapi bentuk, ukuran dan jumlahnya tidak jelas. Karena itu dari segi barang sudah menyalahi aturan hukum yang ada dalam Islam. Selanjutnya karena barangnya tidak jelas baik bentuk atau ukuran dan timbangannya maka dengan sendirnya harga juga tidak jelas, maka bertambahlah ketidaksahhannya.
Diantara penyebab prilaku tidak baik ini tumbuh subur dan berkembang dalam masyarakat kita adalah, karena masyarakat kita yang berprofesi sebagai petani tidak secara sungguh-sungguh melakoni profesinya. Masyarakat kita tidak mau mengorek jahe atau kunyit lalu membersihkannya selanjutnya dijual kepasar, masyarakat kita juga tidak mau memanjat pohon pukat untuk diambil buahnya kemudian membawanya ke tempat penjualan. Hal ini berlaku juga untuk barang-barang lain seperti markisah, pisang dan lain-lainnya.
Pola hidup seperti ini harus dirobah, kita harus memberi kesadaran kepada masyarakat kita, bahwa mereka adalah seorang petani. Masa depan mereka ada pada pertanian, nasib pendidikan anak-anak mereka ada pada jahe, kunyit, markisah, pukat dan semua yang ada di kebun-kebun mereka. Karena itu mengorek tanah yang ada hasilnya, memanjat pohon yang ada buahnya harus mereka kerjakan sendiri, agama tidak membenarkan orang lain yang mengorek dan memanjatnya, sejauh di dalam kegiatan itu masih ada penipuan dan ketidakjelasan.
Di sisi lain juga kita jarang mendengar kalaupun tidak kita katakan tidak pernah mendengar penceramah atau khatib menjelaskan tentang bentuk-bentuk jual beli yang boleh atau tidak dibenarkan di dalam ceramah dan khutbahnya, sedang masyarakat kita dihitung lebih dari 90 persennya bertani. Kebanyakan tengku atau ulama kita menganggap bahwa ceramah dan khutbah itu hanya berkisar pada masalah ibadah (shalat, puasa, zakat, haji atau sejenisnya).
* Pemerhati sosial masyarakat Gayo