Kian Senyap, Kepak Sang Pemburu Nektar

Burung Cangcuit Jantan sedang bertengger di dahan pohon ( foto google )

Catatan : Syah Antoni*

Simungil menghempas udara lewat sayapnya.Melayang tenang kesana kemari tanpa terusik kepakan sayapnya sambil menyeruput cairan manis dari sela mahkota bunga.
Orang Gayo menamainya Cangcuit, salah satu jenis burung pemakan nektar yang dulunya sangat mudah kita temui di Dataran Tinggi Gayo. Burung ini memiliki nama latin Cinnyris jugularis, adalah spesies burung dari keluarga Nectariniidae, genus Nectarinae. Di Indonesia sendiri, ada beberapa nama yang diberikan kepada burung ini, seperti Burung Madu Sriganti atau Kolibri Sriganti.

Cangcuit memiliki ukuran tubuh yang kecil, dengan panjang tubuh sekitar 10 sampai 11,4 centimeter, berat tubuh jantan sekitar 6,7 sampai 11,9 gram, sedangkan berat tubuh betina sekitar 6 sampai10 gram. Sekilas tidak banyak perbedaan antara Cangcuit jantan dan Cangcuit betina. Perbedaan yang mencolok hanya terlihat pada bulatan hitam didada. Adapun Cangcuit jantan memiliki warna kuning dengan bulatan hitam di dada, sedangkan Cangcuit betina memiliki dada dengan warna kuning polos tanpa bulatan hitam.

Cangcuit betina ( foto Google )

Cangcuit bukanlah burung endemik Dataran Tinggi Gayo, Pulau Sumatera, atau Indonesia. Burung jenis ini tersebar juga di luar Indonesia, mulai dari Daratan Cina, Filipina, Semenanjung Malaysia, sampai Australia, dimana sudah 22 sub-species yang teridentifikasi, 11 diantaranya bisa ditemukan di wilayah Indonesia.

Lazimnya, habitat tempat hidup mereka adalah area perkebunan, sawah, pekarangan rumah, taman dan semak belukar. Selain nektar atau madu, Cangcuit juga memakan beberapa jenis buah-buahan yang mengandung banyak gula seperti pepaya, burung Cangcuit juga memangsa serangga kecil.

Cangcuit membuat sarang dari ranting rumput terjalin, kapas alang-alang bahkan dahan pohon. Sarang yang dibuat berbentuk kantung, sarang diletakkan pada ujung dahan pohon yang rendah. Karena kebiasaan tersebut tidak jarang sarang burung Cangcuit menjadi objek tangan-tangan usil manusia.

Sarang burung Cangcuit ( Foto Google )

Terakhir, dalam status konservasi, Cangcuit masuk pada kategori tingkat resiko rendah, tingkat resiko rendah merupakan kategori IUCN yang diberikan untuk spesies yang telah dievaluasi, tetapi tidak masuk ke dalam kategori mana pun. Spesies-spesies tersebut tidak termasuk ke dalam spesies terancam, hampir terancam, atau ketergantungan konservasi.

Burung Cangcuit di tangan manusia – manusia jahil ( Foto Google )

Kendatipun demikian, sekarang ini sudah lumayan sulit menjumpai burung Cangcuit disekitar kita. Di Dataran Tinggi Gayo khususnya, pada era 90 sampai awal 2000-an, kita masih sering menjumpai sarang burung cangcuit bergelantungan diujung cabang pohon – pohon kecil disekitar sawah, kebun atau rumpun bambu, namun dewasa ini yang terjadi malah sebaliknya, Cangcuit seolah menjadi spesies langka, keberadaannya menjadi sulit ditemui. Tidak ada yang tahu pasti penyebab berkurangnya Cangcuit disekitar kita. Namun, penyempitan habitat diduga menjadi salah satu penyebab berkurangnya spesies ini, karena di Dataran Tinggi Gayo Cangcuit tidak termasuk sasaran perburuan burung, karena tubuhnya yang kecil tidak memiliki banyak daging untuk dikonsumsi, juga tidak adanya pasar jual beli burung ini seperti didaerah lain penjuru Nusantara.

Cangcuit adalah salah satu penjaga ekosistem dan lingkungan kita, hilangnya spesies ini dapat mengganggu ekosistem itu sendiri. Oleh sebab itu, sudah sepantasnya manusia menjaga eksistensi burung ini dari kepunahan, bisa kita mulai dari hal – hal sederhana, misal, tidak mengambil atau mengganggu sarang Cangcuit ketika kita tidak sengaja menemukannya, serta masih banyak lagi tindakan positif yang bisa kita lakukan untuk menjaga keberlangsungan hidup burung Cangcuit.

Mari jaga alam, alam akan menjaga kita.

*Penulis adalah Jurnalis Lintas Gayo.com, warga Bener Meriah

Comments are closed.