Selamatkan Pendidikan !

Oleh Johansyah*

 

Kondisi pendidikan di negeri ini jika diibaratkan orang sakit sudah sangat kritis. Dikatakan kritis karena pendidikan sudah kehilangan ruh sebagai pilar utamanya yakni moral. Pendidikan yang seharusnya tampil dalam mentrasmisikan nilai-nilai kebaikan dalam membentuk karakter anak bangsa ini entah mengapa tiba-tiba berubah  menjadi wadah penghancur nilai-nilai kebaikan. Bukti yang paling nyata dari potret memilukan dalam dunia pendidikan saat ini adalah terkucilnya orang-orang jujur yang seharusnya diapresiasi dan dihargai.

Semula kita berpikir dan berharap bahwa dunia pendidikanlah yang menjadi pusat perubahan ke arah yang lebih baik untuk negeri ini pada masa-masa yang akan datang. Sayangnya, ternyata dunia pendidikan kita juga sudah terbius oleh racun-racun kebohongan, manipulasi serta virus-virus pragmatisme yang siap membunuh benih-benih karakter kebaikan.

Tidak dapat dipungkiri kondisi buruk dalam dunia pendidikan semacam ini merupakan imbas dari buruknya bangunan sistem yang dikonstruksi oleh elit politik dan penguasa di negeri ini. Ketika sistem yang mereka berlakukan tidak lagi mengedepankan moralitas melainkan interest kelompok yang terkadang meretas batas kewajaran maka dunia pendidikan pun ikut terjerembab karena pendidikan itu sendiri merupakan bagian dari sistem itu sendiri serta terikat dengan kebijakan pemerintah.

Tak pelak, budaya-budaya yang terbangun dalam dunia pendidikan saat ini juga persis budaya-budaya politik penguasa yang penuh dengan basa-basi, berkelit dari kesalahan, mensosialisasikan keberhasilan padahal penuh kebohongan serta budaya menyingkirkan kelompok idealis yang katanya terlalu jujur sehingga sulit diajak berkompromi.

Lihatlah bagaimana jabatan kepala dinas maupun kepala sekolah saat ini, semua cenderung diperebutkan dengan pola dan mekanisme kurang lebih sebagaimana yang dilakukan oleh politisi-politisi kita dalam partai untuk merebut kekuasaan. Bahkan untuk mendapatkan jabatan banyak di antara calon kepala memberlakukan money politic demi memenuhi hajatnya.

Belum lagi masalah rekrutment guru yang berbau Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang hingga kini terus saja marak walaupun di sisi lain banyak yang menyoroti dan mengecam. Apa jadinya, jika Penerimaan Siswa Baru (PSB) pun kita jadikan sebagai ajang untuk pemenuhan hajat pribadi dan juga berbau KKN (Waspada, 22/06/11).

Begitulah, jika diibaratkan anggota tubuh maka bagian-bagian mana lagi dari dunia pendidikan kita yang masih steril dari virus-virus kepentingan dan ambisi berlebihan?. Semuanya telah runtuh; manajemen, administrator, kepala dinas, kepala sekolah, guru dan murid telah terinveksi dan rusak. Makanya tidak salah jika pendidikan sekarang dianggap memang berada dalam kondisi kritis yang memprihatinkan.

Parahnya lagi, keberhasilan di dunia pendidikan saat ini hanya diukur lewat laporan-laporan tertulis, minsalnya guru yang dianggap baik dalam proses pembelajaran adalah guru yang selalu mempersiapkan perangkat pembelajaran dengan disiplin bukan guru yang pada hakikatnya berhasil merubah pola pikir anak didiknya walaupun terkadang malas menyiapkan perangkat pembelajaran. Atau contoh lain yang tidak asing adalah Ujian Nasional (UN) di mana sebuah sekolah dianggap berhasil jika mampu meluluskan siswa 90 sampai 100 persen walaupun pada kenyataannya melakukan contek massal.

Semua aspek yang dikedepankan dalam dunia pendidikan saat ini adalah simbol-simbol, formalitas serta administrasi yang baik bukan malah melihat realitas-realitas sebenarnya di lapangan. Pendidikan lebih diarahkan kepada bagaimana kepiawaian seseorang dalam membuat laporan kegiatan pendidikan sehingga dinilai berhasil oleh atasan. Kecenderungan model ini akhirnya membuat orang lantas tidak terikat dengan beban-beban moral yang seharusnya mereka sertakan dalam setiap kegiatan termasuk jujur dalam membuat laporan. Tapi memang fakta berbicara lain, kebohongan, manipulasi serta perilaku penyimpangan yang berlangsung dalam dunia pendidikan bukan lagi dianggap masalah selama pertanggungjawaban dari aspek administrasinya mampu ditampilkan dengan rapi sesuai standar laporan.

Pertanyaannya, relakah kita jika pendidikan dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan kelompok semata dan hanya berperan sebagai wadah untuk melegalisasi para lulusannya tapi menapikan peran hakiki dari pendidikan itu sendiri?. Relakah kita jika anak-anak generasi yang akan datang adalah pribadi yang hedonis, egois dan menebar kebohongan tanpa merasa bersalah?. Lalu apa jadi bangsa ini yang katanya ingin membentuk karakter generasinya, bukankah itu semua akan menjadi utopia?.

Dari itu, jika kita masih memiliki nurani dan tergetar untuk membangun negeri ini menyongsong masa depan yang lebih baik maka mari selamatkan dunia pendidikan kita dengan mengembalikan ruh moralitas dan menyadari perannya sebagai misi humanisasi. Maukah kita untuk tidak menjadikan pendidikan sebagai ajang promosi jabatan dan mengedepankan interest pribadi? Sebab mendahulukan kepentingan pribadi merupakan sifat egois dan perwujudan setan dalam diri kita. Berpikirlah jauh ke depan dan jangan terpaku pada kondisi saat ini.

Restorasi Pendidikan

Penulis yakin, pancaran nilai-nilai ketuhanan dalam jiwa kita masih tetap ada dan selalu memberikan ultimatum secara tidak langsung terhadap berbagai perilaku penyimpangan yang kita lakukan. Dengan modal nurani tersebut kita berharap banyak jiwa-jiwa yang masih empati untuk membangun kembali pendidikan Indonesia menjadi lebih baik dengan berlandaskan moralitas.

Tidak ada lagi orang atau kelompok yang kita harap untuk merestorasi pendidikan Indonesia yang saat ini lumpuh selain kesadaran individu kita sendiri yang dapat mengatasinya. Institusi pemerintahan dan budaya sosial yang terbangun saat ini sulit dijadikan pusat perubahan dan bahkan berpotensi besar menjadi musuh bagi perubahan itu sendiri.

Walaupun demikian, harapan dan optimisme harus tetap kita pegang kendati dengan tertatih-tatih serta rintangan demi rintangan toh kita tidak boleh menyerah. Setidaknya kita masih memiliki kesadaran bahwa pendidikanlah yang mampu merubah kondisi kultural dan struktural ini ke arah yang lebih baik.

Dari itu, sejatinya kita tidak membiarkan pendidikan mengalami kondisi sakit dan kritis. Pendidikan harus diperjuangkan bagaimana agar dia kokoh dan menjadi wadah yang dihargai masyarakat untuk membawa perubahan. Maka tidak ada cara lain untuk menyehatkan pendidikan selain dengan upaya penyembuhan dan restorasi yakni dengan mengembalikan ruh pendidikan, menjujung tinggi moralitas untuk membangun generasi yang bermoral. Selamatkan pendidikan kita!.

*Penulis adalah Pemerhati Pendidikan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.