Kepada Siapa Kita Berguru

Oleh. Drs. Jamhuri, MA*

Masyarakat Gayo dalam perjalanan tradisinya mengenal tiga kelompok orang yang disebut dengan guru : Pertama, guru yang mengajar di sekolah sejak dari sekolah SD, SMP dan SMA, sedang untuk perguruan tinggi disebut dengan Dosen. Karena masuknya budaya baru untuk sebagian sekolah merubah penggilan guru menjadi ustazd dan ustazdah, muā€™allim atau muā€™allimah. Kedua,panggilan guru dilaqabkan kepada mereka yang mengajar mengaji, disebut dengan guru mengaji. Panggilan untuk orang yang mengajar agama ini juga disebut dengan tengku dan ada juga yang memanggilnya dengan ustadz. Ā Ketiga,guru juga dipanggil kepada mereka yang sering mengobati orang sakit, terutama yang desebut dengan penyakit kampong, disebut dengan guru kampong.

Secara sederhana ketiga kelompok tersebut adalah orang yang mentranspormasikan suatu nilai kepada mereka yang dijadikan sebagai murid, guru yang mengajar di sekolah dipahami sebagai pentranspor pengetahuan keduniawian, seperti ilmu tekhnologi, sejarah dan kemasyarakat, guru mengaji bertugas mentranspormasikan ilmu keagamaan. Perkembangan ilmu pengatahun terakhir tidak lagi membedakan antara ilmu yang berorientasi keduniawian dan ukhrawi. Sedang kelompok ketiga adalah satu upaya mentranspormasikan semangat kepada seseorang yang secara mental tidak stabil. Untuk kelompok ketiga yang disebutkan kita tidak bicarakan dalam tulisan ini.

Upaya transpormasi nilai yang dilakukan akan melahirkan perubahan perilaku bagi seseorang yang dijadikan sebagai murid atau anak didik.

Problema kemasyarakatan yang terlihat sekarang, guru hanya menjadikan dirinya sebagai pendidik dan motor perubah prilaku pada lembaga pendidikan dimana ia bekerja. Sedang profesi keguruannya tersebut tidak tercermin ketika seorang guru berada dalam lingkungan masyarakat dan juga dalam lingkungan keluarga. Akibatnya ada anggapan sebagian orang long life education hanya terjadi pada lembaga pendidikan formal, ini dibuktikan lagi dengan banyaknya masyarakat dilingkungan guru berada, tidak menerima transpormasi perubahan prikalu. Disamping juga kegagalan pendidikan dalam rumah tangga sebagian guru.

Menilik sedikit kebelakang, sekitar tahun sebelum 70-an tentang keberadaan guru dalam masyarakat, banyak diantara anak para guru yang menjadi orang yang berilmu pengetahuan yang dalam bahasa Gayo disebut dengan mujadi jema. Sedangkan pada saat itu pendapatan guru sangatlah pas-pas-an bila diukur dengan standar kebutuhan hidup pada waktu itu. Sejak lebih kurang tahun 80-an sampai sekarang ini perhatian pemerintah pada lembaga pendidikan sudah lebih baik, disamping tunjangan guru ada lagi yang disebut dengan sertifikasi guru.

Kalau kita mau bertanya apa sebenarnya yang berubah, dapatkah kita katakan bahwa sebelum tahun 70-an guru adalah profesi yang tidak dapat dinilai dengan materi, mereka hanya mengajar untuk mengajar (mendidik) sampai anak didiknya disekolah, anak-anak dilingkungannya berhasil menjadi pinter dan anak-anaknya dirumah menjadi harga diri yang dapat dijadikan standar keberhasilan guru. Sedangkan sesorang menjadikan profesi mengajar untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik, anak didik mereka disekolah dapat berhasil dengan baik, tapi anak-anak dilingkungan masyarakatnya tidak menganggapnya sebagai guru dan anak-anaknya dirumah hanya menganggapnya sebagai ibu rumah tangga yang tidak berbeda denganĀ  ibu-ibu rumah tangga yang lain.

Tidak jauh berbeda dengan guru-guru di sekolah, guru mengaji yang menjadikan profesi kepandaian mengajinya untuk memenuhi kebutuham hidup, dan menyampaikan pengetahuan keagamaannya melalui dakwah kepada masyarakat dengan harapan masyarakat dapat berprilaku lebih baik. Tetapi juga kita lihat hasil pengajaran dilembaga ia mengabdi lebih berhasil daripada pendidikan yang ada di dalam keluarganya. Sama dengan apa yang telah digambarkan bahwa keberhasilan tengku mengajar mengaji, dahulu menjadikan anak dan keluarganya sebagai pelanjut kepemimpinan lembaga yang dia pimpin. Berbeda dengan sekarang, karena lembaga yang dipimpin dikaitkan dengan pemerintah, maka yang menentukan pimpinan pada lembaga tersebut adalah kewenangan pemerintah di samping juga regenerasi dalam keluarga susah ditemukan.

Perubahan prilaku yang terjadi dalam masyarakat, diantaranya disebabkan oleh perobahan pola pikir yang immaterial kepada berpikir materiil, dari pola pikir menjadikan lembaga sebagai tempat berkreasi secara professional menjadi sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup tanpa dibaringi denga niat sebagai tempat mendidik.

Banyak guru-guru sekolah di sekitar kita, hanya memegang buku ketika ia berangkat ke sekolah dan menempatkannya pada tempat yang baik setelah mereka pulang sekolah, banyak guru-guru disekolah kita yang mengajarkan ilmu yang didapatkannya ketika masih kuliah dahulu, sedang dalam teorinya kita tahu, bagaimana pesatnya perubahan ilmu saat ini tidak lagi dalam hitungan tahun tetapi dalam hitungan hari.

Kita tidak bisa membayangkan kemajuan bangsa Gayo apabila semua guru menjadikan lingkungan dan keluarganya sebagai lembaga pendidikan, sehingga laqab yang diberikan oleh masyarakat dengan ā€œguru pulanā€ menjadi berkah sebagaimana panggilan ini diwariskan oleh budaya pendahulu kita. Seperti adanya guru zainun, guru Bantaridi, guru bakar dan lain-lain. Mereka jadi panutan, sebagai tempat bertanya, sebagai contoh keberhasilan keluarga.



*Dosen pada Fakultas Syariā€™ah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.