Oleh Drs. Jamhuri, MA*
Syariat Islam telah berlaku secara sah menjadi hukum positif di Aceh sejak tahun 2002, mulai dari tahun ini sudah beberapa qanun yang di hasilkan, qanun-qanun tersebut adalah Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam, Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan sejenisnya, Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (perjudian) dan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum).
Untuk mempercepat pelaksanaan Syariat Islam, Prof. Dr. Al Yasa Abubakar, MA sebagai kepala Dinas Syari’at Islam pertama bersama Kabag Litbang dan Program Dinas Syariat Islam yaitu Drs. M. Saleh Suhaidy (alm) membuat program Lima Pilar Pelaksanaan Syariat Islam. Kelima pilar tersebut adalah :
- Menghidupkan Meunasah
- Pemberdayaan Zakat
- Lingkungan Kantor dan Sekolah yang Islami
- Pengawasan Pelaksanaan Syariat Islam, dan
- Perluasan Kewenangan Mahkamah Syar’iyah
Menghidupkan meunasah dijabarkan dengan adanya shalat berjamaah pada setiap waktu shalat fardhu, kalau lima waktu tidak dapat dilaksanakan memadai dengan tiga waktu yaitu maghrib, isya dan subuh. Penetapan tiga waktu sebagai batas minimal beralasan, karena pada waktu siang (zhuhur dan ashar) kebanyakan orang tidak berada di kampong, tetapi berada di tempat-tempat usaha. Seperti kantor, perusahaan, kebun, sawah dan lain-lain. Sehingga sangat boleh jadi tidak ada jamaah di kampong, namun mereka diharapkan melaksanakan shalat berjamaah di kantor atau perusahaan dan bahkan suami isteri akan melaksanakan shalat jamaah di kebun dan sawah.
Di samping menghidupkan meunasah melalui shalat jamaah, dianjurkan di setiap meunasah dan masjid diadakan pengajian untuk setiap tingkat umur, baik anak-anak dengan TPA dan TQA, maupun remaja dan orang tua. Hal ini bertujuan agar tidak ada lagi orang yang tinggal di Aceh tidak bisa mengaji dan tidak ada alasan tidak memahami agama Islam.
Sejak adanya program ini banyak diantara mereka yang menjadi Imam Kampong atau meunasah mendapat pelatihan manajemen, bagaimana pengelolaan meunasah dan masjid. Sehingga diharapkan meunasah bukan saja sebagai tempat ibadah shalat tetapi juga sebagai tempat bermusyawarah dan menjadi lembaga peradilan adat.
Pemberdayaan Zakat, wujud dari pemberdayaan zakat adalah terbentuknya Baitul Mal pada tingkat Kampong, Kabupaten/Kota dan Provinsi. Sumber zakat pada tingkat kampong difokuskan pada hasil pertanian kampong dan usaha-usaha pada tingkat kampong, sedang sumber zakat Baitul Mal Kabupaten adalah dari hasil perdagangan dan usaha pada tingkat Kabupaten/Kota. Dan untuk sumber zakat Baitul Mal Provinsi adalah dari perusahaan yang bergerak pada level Provinsi.
Tugas dari mereka yang menjadi pegawai pada Baitul Mal ditambah dengan Imam Kampong dan tokoh agama, adalah menginpentarisir harta-harta atau kekayaan apa saja yang wajib dikeluarkan zakatnya. Karena banyak sekali harta kekayaan yang wajib dikeluarkan zakatnya, namun karena ketidak tahuan harta atau ukuran harta yang dikeluarkan zakatnya sehingga mereka tidak mengeluarkan zakat. Seperti petani yang menanam nilam, durian, tomat, cabe/caplak, kol, kentang dan lain-lain. Para petani belum mengetahui apakah semua penghasilan mereka ini dikenai zakat, dan kalau wajib kadarnya berapa, untuk pengetahuan masyarakat terhadap hal tersebut petugan Baitul Mal punya kewajiban dan masyarakat yang tidak memahaminya punya hak untuk bertanya kepada masing-masing Baitul Mal yang ada.
Lingkungan Kantor dan Sekolah yang Islami, semua orang pada pagi hari sampai siang berada di tempat kerja dan lembaga pendidikan, sehingga apa yang diprogramkan pada menghidupkan meunasah terpenuhi secara lengkap, maka setiap lembaga atau kantor diwajibkan menyediakan tempat shalat atau mushalla untuk dapat melaksanakan shalat berjama’ah pada jam kantor. Semenjak adanya program ini setiap kantor atau sekolah sudah memiliki tempat shalat zhuhur berjamaah.
Program yang berhubungan dengan kantor dan sekolah ini, termasuk pada kewajiban memakai pakaian islami. Sehingga dikatakan dalam Qanun : Setiap kepala kantor atau pimpinan bertanggung jawab terhadap pakaian yang dikenakan pegawainya. Demikian juga halnya dengan sekolah, setiap orang yang terlibat dalam proses belajar mengajar berkewajiban memakai pakaian islami, mungkin juga bisa kita katakan bahwa adanya “kantin kajujuran” pada saat ini di sekolah-sekolah adalah dalam rangka menciptakan sekolah yang islami.
Pengawasan Pelaksanaan Syariat Islam, dibentuknya lembaga Wilayatul Hisbah (WH) yang berrfungsi untuk mensosialisasikan dan mengawasi pelaksanaan Syariat Islam. Pada awalnya lembaga ini berada di bawah Dinas Syariat Islam, tetapi sejak lahirnya UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Wilayatul Hisbah bergabung dengan lembaga Satpol PP, kedua lembaga yang sekarang sudah bergabung menjadi satu dan mempunyai kewenangan yang berbeda.
Wilayatul Hisbah (WH) berwenang mengawasi pelaksanaan qanun-qanun Syariat Islam, Satpol PP berwenang mengawasi Perda atau qanun non Syariat. Dalam pelaksanaan kewenangan ini dilapangan masih terjadinya benturan kewenangan, dikarenakan ada sebagian anggota dari Satpol PP dan WH belum memahami secara detail apa yang menjadi tugas mereka. Ketidak tahuan ini juga disebabkan belum adanya aturan yang baku tentang penetapan kewenangan mereka, hal ini telah pernah dilakukan oleh lembaga Fathnership bekerja sama dengan Satpol PP Provinsi, namun belum ditindak lanjuti penyelesaiannya.
Perluasan Kewenangan Mahkamah Syar’iyah, Berlakunya Syariat Islam di Aceh ditandai dengan perubahan nama Peradilan Agama menjadi Mahkamah Syar’iyah. Perubahan nama ini turut memperluas kewenangannya, yang selama ini hanya behubungan dengan pelaksanaan hukum keluarga tetapi sekarang menjadi lebih luas dengan cakupah hukum jinayah dan juga mu’amalah. Dalam tatanan hukum di Indonesia perubahan ini sangat luar biasa karena perubahannya berkaitan dengan perluasan kewenangan Mahkamah Syar’iyah, berarti membabatasi kewenangan Pengadilan Negeri. Untuk bidang jinayah telah banyak kasus-kasus yang diselesaikan, sedangkan untu kasus mu’amalah belum.