Sebuah catatan diterima redaksi Lintas Gayo dari dua orang aktivis anti korupsi di Tanoh Gayo, Idrus Saputra dan Hamdani atas nama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Jaringan Anti Korupsi di Gayo (Jang-Ko), Sabtu (30/7). Catatan ini berisi tentang secuil kisah perjalanannya sejak berdirinya pada 25 November 2008 silam dalam upaya memberantas tindak korupsi di Tanoh Gayo, Aceh Tenggara, Bener Meriah, Gayo Lues dan Aceh Tengah sendiri selaku tempat dimana Jang-Ko berkantor resmi.
Hingga menjelang Ramadhan 2011 ini, jaksa penuntut umum (JPU) belum membacakan tuntutannya terhadap terdakwa dalam kasus pencemaran nama baik Bupati Aceh Tengah, Ir, Nasaruddin MM. Padahal agenda sidang telah sampai pada pembacaan tuntutan oleh JPU setelah melewati 21 kali persidangan di Pengadilan Negeri Takengon sejak Januari 2011 lalu. Sudah dua kali jadwal persidangan dalam agenda pembacaan tuntutan terpaksa ditunda oleh Majelis Hakim.
Pertama, pada Selasa 19 Juli 2011. JPU beralasan tuntutannya belum rampung dan memohon kepada majelis hakim untuk menunda persidangan hingga minggu depan. Pada Selasa 26 Juli 2011 pada hari yang diagendakan, lagi-lagi JPU belum dapat menyiapkan tuntutannya. Alasan kali ini JPU yang menangani perkara ini, Sri Wahyuni SH sedang sakit. Terpaksa persidangan kembali ditunda satu minggu kedepan. Untuk minggu depan ini terdakwa dan kuasa hukumnya dari LBH Banda Aceh Pos Takengon, Ainul Yaqin, SHI hanya bisa berharap JPU segera membacakan tuntutan dan tak ada lagi penundaan sidang mengingat Agustus ini telah memasuki bulan suci Ramadhan.
Memang cukup melelahkan apa yang dialami selaku aktivis anti-korupsi di Kabupaten yang terkenal dengan Danau Laut Tawarnya ini. Idrus Saputra dan Hamdani, aktivis LSM Jaringan Anti Korupsi-Gayo (Jang-Ko) harus menjalani persidangan sebagai terdakwa pencemaran nama baik Bupati Aceh Tengah dan telah melalui 21 kali persidangan. Mereka dituduh telah mencemarkan nama baik bupati dalam sebuah pernyataan di salah satu media koran Harian Aceh pada 28 Februari 2009 lalu terkait penggelembungan jumlah penduduk yang terjadi di Aceh Tengah.
Kejadiannya ketika itu, keduanya mengkritisi persoalan penggelembungan jumlah penduduk Aceh Tengah 2009 dan diduga sebagai orang yang paling bertanggung jawab di daerah adalah Bupati atas pegelembungan yang terjadi.
Tidak terima dengan pemberitaan itu, bupati Ir Nasarudin MM, melaporkan personil Jang-Ko ke Polres Aceh Tengah pada 3 Maret 2009 dengan tuduhan pencemaran nama baik. Selanjutnya mereka berdua di periksa dan sudah beberapa kali memenuhi panggilan penyidik. Sebagai aktivis Jang-Ko, kami menyesalkan bupati Aceh Tengah itu tidak mengunakan Hak Jawabnya di media terkait pemberitaan LSM Jang-Ko tersebut dan langsung main lapor. Hingga pada 14 Desember 2009, Polres Aceh Tengah menetapkan Idrus dan Hamdani sebagai tersangka.
Saat Dipelaminan Aktivis Anti Korupsi di Pangil Polisi
Idrus Saputra, koordinator II LSM Jang-Ko ini bercerita, saat dirinya menerima surat sebagai Tersangka dari Penyidik Polres Aceh Tengah ketika itu bertepatan dengan hari pernikahannya, hari yang seharusnya sebagai hari paling berbahagia dalam hidup seseorang. Saat Idrus sedang di pelaminan surat Polres itu datang dan diberikan kepada orang tuanya. Orang tua dan keluarga besarnya tentunya panik. Jangan-jangan dengan adanya surat tersangka itu pengantin baru ini kemudian di tahan polisi.
Namun untungnya kedua orang yang Yatim sejak kecil ini cepat berkoordinasi dengan rekan-rekan LSM Anti Korupsi se-Aceh hingga kemudian mendapat bantuan hukum dari LBH Pos Takengon. Setelah melalui proses pemeriksaan dan melihat pasal-pasal yang sangkakan yang ketika itu didampingi Rahmad Hidayat dari LBH, akhirnya Idrus dan Hamdani tidak ditahan hingga saat ini namun tetap berlanjut hingga ke meja hijau.
Dalam perjalanan memasuki tahun 2010, berkas pencemaran nama baik bupati Aceh Tengah dengan tersangka dua orang koordinator LSM Jang-Ko telah bolak-balik dari Polisi ke Jaksa. Pada akhir 2010 berkas telah dinyatakan lengkap (P-21).
Idrus mengenang, bertepatan satu tahun sejak ditetapkan sebagai Tersangka, dan juga bertepatan dengan satu tahun hari pernikahannya, pada tanggal 14 Desember 2010, Kejaksaan Negeri Takengon mengirim surat kepada Idrus dan Hamdani sebagai Terdakwa.
Keduanya dintruksikan untuk menghadap ke JPU guna melakukan proses persidangan di Pengadilan Negeri Takengon. Pada 29 Desember 2011, persidangan pertama di gelar dengan mendengarkan dakwaan. Pasal yang didakwakan adalah 311, 310 dan 316. Hingga bulan ini Juli 2011, persidangan telah berlangsung sebanyak 21 kali.
Jang-Ko Ajukan Gugatan Class Action
Koordinator I LSM Jang-Ko, Hamdani juga berbagi suka-dukanya dengan kasus yang menjeratnya. Ia mengenang bagaimana perjalanan panjang LSM Jang-Ko dalam mengadvokasi masalah penggelembungan jumlah penduduk di Aceh Tengah 2009.
Mulai dari menyurati KPU Pusat, DPR-RI, Mabes Polri, Gubernur Aceh hingga upaya Gugatan Class Action di PN Takengon. Hal ini dilakukan tidak lain tidak bukan untuk menyelamatkan uang daerah. Sebab dengan terjadinya pegelembungan jumlah penduduk maka terjadi juga pegelembungan jumlah kursi DPRK sesuai dengan Undang-undan No 10 tahun 2008 dan Ketetapan KPU Pusat tetang Pemilihan Umum.
Kami berupaya menyelamatkan uang daerah, karena bila penggelembungan itu tidak terjadi maka jumlah kursi DPRK menjadi 30 dari sebelumnya 25 kursi. Lima kursi DPRK yang bertambah akan sangat berpengaruh terhadap pembiyayan daerah, untuk gaji mereka apa lagi naiknya jumlah kursi tersebut juga tidak pada semestinya oleh karena adanya Mark Up yang terjadi dan semua pihak di daerah terkesan buang badan.
Sebaiknya daerah lebih memikirkan nasib rakyat dari pada nasib segelintir elit politik di daerah ini yang mereka juga sudah cukup kaya rupanya.
Pada Juni 2009 lalu, Jang-Ko mengajukan gugatan Calss Action ke Pengadilan Negeri Takengon dalam mengadvokasi Penggelembungan Jumlah Penduduk di Aceh Tengah. Jang-Ko menuntut harus ada pihak yang bertanggung jawab atas penggelembungan jumlah penduduk dan jumlah kursi DPRK 2009 yang telah terjadi itu. Namun sayangnya, setelah melewati lebih dar 25 kali persidangan, pada Februari 2010, Majelis Hakim, Sulaiman SH, memutuskan perkara dengan putusan “NO” menolak gugatan Jang-Ko karena tidak cukup bukti.
Menuurut Jang-Ko, ini suatu putusan yang sangat konyol kiranya bagi LSM Jang-Ko, bahwa pegelembungan itu benar terjadi tetapi Hakim menolak gugatan Jang-Ko setelah bersidang hampir satu tahun.
Sesuai informasi yang diperoleh Jang-Ko, diduga, putusan NO itu lahir setelah ada mafia peradilan. Ada upaya-upaya dari beberapa pihak untuk mendekati hakim dan menyuap hakim serta membujuk hakim agar perkara gugatan LSM Jang-Ko itu di tolak saja.
Ini dapat kami simpulkan dari analisa bahwa KIP Aceh Tengah yang masuk daftar sebagai tergugat dalam perkara ini, ternyata Ketua KIP Aceh Tengah, Hamidah SH juga masih rangkap jabatan sebagai pengacara. Dari beberapa oknum Pemda dan DPRK yang dikonfirmasi juga membocorkan bahwa ada Hamidah SH meminta sejumlah uang ke DPRK dan Pemda untuk menyuap Hakim dalam upaya meredam LSM Jang-Ko di persidangan.
Aktivis Jang-Ko Tersandera di Daerah
Dalam persidangan pencemaran nama baik bupati ini yang sekarang ini, menurutnya, dengan padatnya agenda sidang satu minggu sekali sepanjang 2011 ini, jelas bahwa kami sudah tersandra di daerah belum lagi ketika Class Action kami layangkan ke PN Takengon pada 2009-2010 lalu.
Tidak dapat lagi kami melakukan tugas-tugas lembaga secara maksimal dan berkonsentarsi penuh dengan pemberantasan korupsi apa lagi untuk mempersiapkan dan mencari lembaga donor di luar untuk mendanai LSM Jang-Ko di Aceh Tengah ini. Pun demikian badan pekerja LSM Jang-Ko tetap berupaya membongkar beberapa kasus di daerah Gayo khususnya.
Saat ini LSM Jang-Ko memiliki List Kasus sebanyak 15 meliputi Gayo Lues, Bener Meriah dan Aceh Tengah. Diantara beberapa kasus itu yang sedang di tangani aparat penegak hukum hanya ada di Aceh Tengah diantaranya, Kasus Arul Badak, Kasus Korupsi di Bawasda Aceh Tengah, Kasus. Ketiga kasus tersebut sudah ditangani aparat penegak hukum di Aceh Tengah. Tinggal lagi kasus yang di Gayo Lues dan Bener Meriah yang hingga kini belum jelas penangannya oleh aparat penegak hukum.
Kasus Pencemaran nama baik yang dilaporkan bupati itu adalah bentuk upaya pembungkaman kebebasan berpendapat di Aceh Tengah. LBH dan Kontras Aceh telah mengingatkan kepada bupati atas sikapnya itu, beber Hamdani.
Namun Bupatinya tetap tidak mengubris atas masukan-masukan dari beberapa pihak yang menyarankan gunakan hak jawab dulu, pahami undang-undang kebebasan berpendapat di Indonesia dan sebagainya telah di sampaikan ke sang bupati. Namun bupati yang merasa sebagai orang nomor satu didaerahnya tetap pada pendiriannya. Dia tetap melaporkan dua aktivis anti-korupsi itu ke aparat penegak hukum.
Pejabat Anti-Kritik
Dipaparkan Hamdani dan Idrus, sikap arogan dan anti-kritik itulah yang tertanam dalam diri pemimpin sekerang. Kalau sudah begini, jangan heran bila saat ini di daerah Aceh Tengah banyak sekali persoalan yang mencekik rakyatnya sengaja dipendam dalam-dalam.
Persoalan Ekonomi Masyarakat yang masih menyedihkan, Pembangunan Infrastruktur yang asal-asalan, Menghambur-hamburkan dana Pendidikan, Pencaplokan lahan masyarakat dengan sistem propaganda pemerintah daerah, hingga Kolusi dan Nepotisme yang merajalela di negeri antara ini.
Hari ini dapat saja lah para mafia berdiri angkuh di menara gading yang megah, sementara akyat terus dililit dan dihimpit penderitaan. Persoalan Pelayanan Publik Air Bersih dan Rumah Sakit Datu Beru yang aut-autan, Kasus Korupsi Arul Badak, Kasus Korupsi Ketapang, Kasus Penindasan Genting Gerbang, dan beberapa kasus lainnya yang telah mengorbankan masyarakat banyak di daerah adalah sebagian persoalan yang muncul akibat arogansi pemimpinnya.
Dalam perkara pennggelembungan jumlah penduduk Aceh Tengah 2009. Jelas sekali daerah telah dirugikan dari segi biaya untuk mendanai lima kursi lagi di DPRK itu. Padahal bila kepala daerahnya punya niat baik dan membela kepentingan rakyat maka pegelembungan jumlah penduduk yang berimbas pada pegelembungan julah kursi DPRK mestinya tidak terjadi.
“Namun tidak demikian kiranya, pemimpin kita masih tetap membela segelintir orang dalam kancah perpolitikan untuk merebut hak-hak rakyat Aceh Tengah,” kata Idrus.
Akibat naiknya jumlah penduduk maka jumlah kursi DPRK secara otomatis juga ikut baik dari 25 menjadi 30 kursi. bagi LSM Jang-Ko, hal tersebut merupakan salah satu bentuk korupsi yang sistemik. Ini berkaitan dengan Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tentang Tidak Pidana Korupsi.
Pegelembungan itu terjadi karena adanya rekayasa surat dan juga penyalahgunaan wewenang oleh seorang pejabat. Selain itu bila berpedoman pada KUHP, pengelembungan jumlah penduduk yang terjadi di Aceh Tengah itu juga dapat menjurus pada pasal penipuan.
Namun, lanjut mereka, kebenaran dan keadilan itu kiranya di daerah yang berhawa dingin ini masih sulit untuk ditegakkan. Selagi masih banyak oknum aparat penegak hukum di daerah ini yang begitu tega melakukan pengkhiatanan atas jabatannya demi menambah kekayaan serta kelompoknya, maka kebenaran dan keadilan itu hanyalah sebuah mimpi.
Yang paling miris, baru-baru ini muncul tuduhan kepada LSM Jang-Ko bahwa lembaga ini telah menerima suap dari pihak-pihak yang berkepentingan di daerah. Tuduhan itu dilakukan hingga menggelar aksi demo. Namun sayangnya tuduhan dan fitnah yang dilontarkan oleh beberapa rekan-rekan yang mungkin merasa tersaingi oleh LSM Jang-Ko itu tidak disertai bukti.
Disayangkan sekali LSM Jang-Ko yang selama ini konsen dengan pemberantasan korupsi di tuduh telah menggadaikan idealismenya. Tuduhan ini jelas ibarat pepatah Gayo yang mengatakan “Tilok Wan Upuh Kerung”. Tanpa bukti yang pasti menuduh sembarangan dan LSM Jang-Ko telah mengetahui apa motivasi mereka menuduh LSM Jang-Ko menerima suap.
Diakhir catatan tersebut, baik Idrus dan Hamdani menuliskan permohonan ma’af kepada seluruh elemn masyarakat dataran tinggi Gayo dalam rangkaian menghadapi ibadah puasa bula Ramadhan 1432 H. (*)