
Oleh : Alfiandi Zikra*
Banyak dari kita menjalani hidup seperti autopilot. bangun, kerja atau sekolah, scrolling media sosial, ngobrol basa-basi, tidur, lalu ulang lagi.
Kita sibuk, tapi apakah kita benar-benar hadir dalam setiap melewati hidup tanpa kesadaran sejati mungkin datang saat kita berhenti sejenak dan benar-benar merasakan “Apa yang sebenarnya aku cari?”
Mungkin tidak sepenuhnya. Banyak dari kita menjalani hari-hari dengan pola yang sama, tenggelam dalam rutinitas, sibuk mengejar sesuatu yang bahkan tidak kita pertanyakan asal-usulnya. Kita berpikir kita sadar, tapi sering kali kita hanya terjaga , “sadar”.
Kesadaran sejati bukan hanya tentang membuka mata di pagi hari, tapi juga tentang menyadari mengapa kita melakukan sesuatu, bagaimana kita merasakannya, dan apakah kita benar-benar hadir dalam setiap momen.
Ada kalanya kita merasa sadar saat merenung di malam hari, saat kehilangan seseorang yang berarti, saat mengalami sesuatu yang mengubah hidup. Tapi begitu ingat kembali, kesadaran itu sering memudar. Kita kembali berjalan tanpa bertanya, kembali tenggelam dalam kebiasaan.
Bisa jadi hidup ini seperti mimpi panjang, di mana kita hanya sesekali terbangun untuk menyadari bahwa kita sedang bermimpi. Lalu, sebelum kita sempat memahami kesadaran itu sepenuhnya, kita kembali tenggelam dalam alurnya.
Jadi, apakah kita benar-benar sadar dalam kehidupan ini? Atau kita hanya melayang di antara kesadaran dan ilusi.
Mungkin hanya secuil. Kita bangun setiap pagi, menjalani rutinitas, berpikir bahwa kita membuat pilihan, tetapi sering kali hanya mengikuti pola yang sudah terbentuk sejak lama. Kita sibuk, tetapi apakah kita benar-benar hadir dalam sebuah kehidupan yang nyata, atau kita terbelenggu oleh mimpi-mimpi dunia yang fana.
Baru tersadar ternyata jabatan adalah mimpi, pangkat adalah mimpi, cita-cita adalah mimpi, popularitas adalah mimpi, namun ternyata mimpi itu dipertanggung jawabkan, ketika kita tidak memiliki pakaian beragam.
Putih tanpa jahitan, berlapis tanpa sakuan. Disaat itu kita sadar, untuk apa semua perjuangan, tak tau lagi halal dan haram, yang terpenting adalah Ampunan.
Kadang-kadang, kita baru merasa sadar ketika ada sesuatu yang mengejutkan, kehilangan seseorang, mengalami kegagalan besar, atau berada di ambang batas antara hidup dan mati.
Dimomen-momen itu, kita seperti terbangun dari tidur panjang dan bertanya: Apakah selama ini aku benar-benar hidup?
Tapi begitu rasa sakit atau euforia itu mereda, kita sering kembali tenggelam dalam autopilot. Seperti terbangun sebentar hanya untuk sekedar menghela nafas.
Seberapa sadar kita dalam kehidupan ini? Sebuah pertanyaan yang sering kali terabaikan di tengah hiruk-pikuk rutinitas yang kita jalani setiap hari.
Banyak dari kita hidup dalam mode autopilot bangun, bekerja atau sekolah, menghabiskan waktu di media sosial, berbincang tanpa makna, tidur, lalu mengulangnya lagi. Kita sibuk, tapi apakah kita benar-benar hadir dalam setiap momen kehidupan kita? Ataukah kita hanya melewatinya tanpa kesadaran yang sejati?
Kesadaran sejati mungkin datang saat kita berhenti sejenak dan benar-benar merenungkan pertanyaan mendasar: “Apa yang sebenarnya aku cari?” Namun, sayangnya, kita sering kali menjalani hari-hari dengan pola yang sama, tanpa mempertanyakan tujuan dan makna dari semua yang kita lakukan.
Kita merasa sadar, tetapi pada kenyataannya, kita hanya sekadar terjaga. Kesadaran bukan hanya soal membuka mata dan bergerak, melainkan tentang memahami mengapa kita melakukan sesuatu, bagaimana kita merasakannya, dan apakah kita benar-benar hadir dalam setiap momen.
Ada momen-momen tertentu yang membuat kita lebih sadar saat kita kehilangan seseorang yang kita cintai, mengalami kegagalan besar, atau menghadapi sesuatu yang mengguncang hidup kita.
Pada saat-saat itulah kita seperti terbangun dari tidur panjang dan bertanya: “Apakah selama ini aku benar-benar hidup?” Namun, seiring waktu, kesadaran itu sering kali memudar. Kita kembali tenggelam dalam rutinitas, berjalan tanpa bertanya, seolah-olah kesadaran hanyalah kilatan sesaat yang cepat berlalu.
Hidup ini bisa jadi seperti mimpi panjang, di mana kita hanya sesekali terbangun untuk menyadari bahwa kita sedang bermimpi. Sebelum kita bisa memahami sepenuhnya makna kesadaran itu, kita kembali larut dalam alur yang sudah ditentukan.
Jabatan, pangkat, cita-cita, dan popularitas tampak nyata, tetapi ternyata itu semua hanyalah fatamorgana. Kita baru tersadar bahwa semuanya hanyalah mimpi yang harus dipertanggungjawabkan, saat kita tak lagi memiliki pilihan, tak lagi mengenakan pakaian beragam, melainkan hanya putih tanpa jahitan, berlapis tanpa sakuan.
Di saat itu, kita akhirnya memahami bahwa yang terpenting bukanlah apa yang kita kejar, melainkan ampunan yang kita harapkan.
Kadang-kadang, kesadaran sejati hanya datang di saat kehilangan, penderitaan, atau saat kita berada di ambang batas antara hidup dan mati. Namun, setelah rasa sakit atau euforia itu mereda, kita kembali tenggelam dalam autopilot.
Seperti terbangun sebentar hanya untuk sekadar menghela napas, lalu kembali tertidur dalam ilusi kehidupan yang fana.
Jadi, apakah kita benar-benar sadar dalam kehidupan ini? Atau kita hanya melayang di antara kesadaran dan ilusi, terbangun sejenak hanya untuk kembali tertidur dalam mimpi dunia yang tak pernah usai?
Salam akal “SADAR” untukmu Tanoh Gayo ku, Bener Meriah ku tercinta.
*Penulis adalah Doktor Hukum Islam Alumni Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
*Warga Bener Meriah.