Win Wan Nur*
Saat masih tinggal di Bali, saya sering dikunjungi teman-teman dari Eropa. Beberapa dari mereka kadang menginap sampai beberapa hari di rumah saya.
Selama tinggal di rumah saya, mereka selalu melihat hubungan saya dengan istri dan anak saya yang waktu itu baru ada satu. Mattane Lao, anak perempuan saya satu-satunya. Tapi mereka, terutama yang baru pertama kali ke Indonesia langsung kaget ketika melihat saya melakukan Shalat. Dan terjadilah dialog seperti ini.
Tu es un musulman? (Kamu muslim?)
Oui (iya)
Et ta femme? (dan istri kamu?)
Pareille, pourquoi? (sama, kenapa?)
Rien, mais c’est bizarre! (Nggak kenapa-kenapa sih, tapi aneh aja)
Di mata teman-teman itu, ada banyak keanehan dalam status saya sebagai seorang muslim. Pertama, nama saya, anak dan istri saya sama sekali bukan tipikal nama muslim yang mereka tahu. Kedua, sikap saya kepada istri saya yang tidak menunjukkan dominasi seorang patriarki dan juga sikap istri saya yang santai dalam berbicara terhadap tamu laki-laki. Dan terakhir perlakuan saya terhadap anak perempuan saya, dimana untuk dia saya memberikan pendidikan yang terbaik. Di mata mereka itu bukanlah ciri-ciri dari seorang Muslim yang biasa mereka kenal.
Dalam pandangan mereka, seorang muslim seharusnya memiliki nama seperti Abdullah, Abdul Karim, Mahmoud dan sejenisnya. Kemudian, seorang muslim seharusnya tidak memperbolehkan istrinya bertemu dengan tamu laki-laki. Dan seorang muslim seharusnya tidak begitu peduli dengan pendidikan anak perempuannya. Karena anak perempuan akan ikut dan menjadi bagian dari keluarga suaminya nanti.
Kenapa di Eropa, terutama Perancis ada pandangan stereotip seperti ini terhadap muslim seperti ini?
Untuk itu kita perlu melihat latar belakang sosiologis Eropa dan persentuhan mereka dengan kebudayaan Islam. Rata-rata orang Islam yang mereka kenal di eropa adalah orang-orang Islam yang berasal dari negara-negara Arab, Pakistan atau Afghanistan yang memang secara kultural sangat patriarkal. Dan khuus untuk Perancis. Negara ini adalah negara kaum imigran, banyak imigran dari bekas negara jajahan mereka yang sekarang menetap di Perancis. Di antara negara-negara tersebut termasuk beberapa negara afrika utara yang mayoritas Islam. Dan karena kegemaran orang Perancis berwisata, mereka juga kerap mengunjungi negara-negara tersebut, karena memang letaknya tidak terlalu jauh dari negara mereka.
Dari mereka inilah rata-rata orang Eropa dan secara khusus orang Perancis mengenal Islam. Perilaku dan sikap keseharian mereka inilah yang oleh orang Eropa dan secara khusus Perancis dianggap sebagai sikap keseharian orang Islam secara keseluruhan. Orang eropa secara umum dan Perancis secara khusus berpikir, bahwa budaya dan cara hidup yang mereka praktekkan dan mereka tampilkan sehari-hari, itulah cara hidup orang Islam secara keseluruhan.
Di kalangan masyarakat yang berasal dari Afrika Utara dari negara-negara Maroko, Tunisia dan Al Jazair itu. Memang kenyataannya posisi perempuan, kurang dihargai. Budaya yang berlaku di masyarakat yang berasal dari negara-negara tersebut memang budaya Patriarkal sejati. Dalam hal apapun hanya laki-lakilah yang boleh di depan. Di desa-desa (bahkan juga kerap ditemui di kota) di Maroko, Tunisia dan Al Jazair perempuan biasanya selalu menghindar dari bertemu dengan laki-laki asing. Dan kalaupun ada tamu laki-laki, seringkali istri sang tuan rumah tidak menampakkan diri. Kalaupun muncul hanya sekelebatan saja, tidak sampai ikut mengobrol bersama. Anak perempuan juga kurang lebih mendapat perlakuan sama.
Dalam sebuah rumah tangga di Maroko, sebagai kepala keluarga. Laki-lakilah sebagai pemimpin ekonomi rumah tangga. Laki-lakilah yang menentukan semuanya.
Ada banyak studi yang dilakukan oleh para antropolog untuk menjelaskan fenomena ini dan menuangkannya ke dalam sebuah buku.
Misalnya, Lawrence Rosen (1989), yang menjelaskan bahwa relasi antar gender di dalam masyarakat Maroko ini, berasal dari sangat kuat kepercayaan masyarakat di sanabahwa laki-laki selalu bertindak dengan akal dan perempuan selalu bertindak dengan perasaan. Kepercayaan seperti itu sudah menjadi bagian dari mentalitas orang Maroko.
Dengan pandangan seperti ini terhadap perempuan. Bukan hanya dalam kehidupan rumah tangga dan relasi sosial keseharian, bahkan dalam ritual keagamaan pun, hanya laki-lakilah yang berperan.
Ilustrasi mengenai kentalnya dominasi peran laki-laki dalam ritual keagamaan ini misalnya dijelaskan oleh M.E Combs-Schiling (1989) yang mengamati ritual pemotongan hewan qurban pada hari Idul Adha di Maroko.
Berdasarkan pengamatannya, Combs-Schiling menunjukkan bahwa di Maroko, di samping karena alasan ibadah sebagaimana yang kita kenal. Ibadah Qurban juga dimaksudkan untuk menunjukkan kekuatan Patriarki dalam keluarga dan menggambarkan kesuburan seorang laki-laki. Di Maroko, ukuran hewan qurban yang disembelih, juga sangat penting karena ukuran hewan itu menunjukkan ukuran kejantanan sang kepala keluarga. Dalam penyembelihan juga hanya nama sang kepala keluarga lah yang disebut, bahkan kalau pun yang berqurban itu adalah seorang janda yang ditinggal mati oleh suaminya. Maka yang disebutkan sebagai pemberi qurban adalah almarhum suaminya.
Dalam ritual ini, hanya laki-laki yang mengambil peran utama. Di desa-desa dan di kota-kota yang ada di Maroko dalam ritual penyembelihan hewan Qurban ini, hanya para laki-laki yang menyaksikannya dan berdiri di dekat hewan Qurban. Perempuan dan anak-anak hanya menyaksikan dari jauh. Tanpa sama sekali terlibat dalam ritual tersebut.
Pandangan yang sama seperti yang ditunjukkan oleh M.E Combs-Schiling ini juga ditunjukkan oleh Abdellah Hamoudi (1989) yang melakukan penelitian antropologis di sebuah desa di dekat Marakesh.
Selain mendapat informasi dari tulisan-tulisan seperti itu, pandangan stereotip ini juga diperkuat oleh pengamatan dan relasi pribadi orang Eropa yang berkunjung ke negara-negara afrika utara itu. Di mana perempuan memang jarang menampilkan diri dalam pergaulan malah sangat membatasi diri untuk bicara dengan laki-laki.
Pandangan stereotip masyarakat barat tentang ketidak setaraan gender dalam masyarakat Islam ini dibantah oleh John R. Bowen, seorang antropolog dari University of Washington dalam bukunya Religions in Practice (2002) dengan mengatakan bahwa karakteristik seperti yang ditunjukkan oleh masyarakat Arab di Afrika Utara tersebut bukanlah karakteristik khas seluruh masyarakat Islam di dunia. Sebut saja misalnya masyarakat Islam di Asia Tenggara. Menurut Bowen, dibandingkan dengan apa yang berlaku di Maroko dan negara-negara Arab yang lain. Masyarakat Islam di Asia Tenggara memperlakukan perempuan relatif lebih setara.
Untuk membuktikan argumennya, Bowen mengambil contoh kehidupan sosial masyarakat Gayo yang merupakan objek penelitiannya sejak tahun 1978.
Bowen memilih Gayo, di samping karena Gayo adalah lahan penelitiannya sejak lama. Gayo diambil Bowen Gayo sebagai contoh karena meskipun sama-sama Islam seperti orang Maroko, tapi dalam relasi antara gender Gayo dan Maroko berada dalam situasi kontras yang ekstrim.
Meskipun dibandingkan Maroko dan negara-negara arab untuk urusan relasi antar gender, sebenarnya masyarakat Islam tradisional manapun di Asia Tenggara relatif lebih setara. Tapi dalam banyak kebudayaan Asia Tenggara, kultur feodal masih terlihat kental sehingga kontrasnya agak tanggung. Sementara Gayo, karena kultur feodal yang masyarakatnya tergantungpada satu kekuatan feodal tertentu adalah kultur yang asing bagi masyarakat Gayo. Sejak lama sekali, dari sejak masa yang mulai bisa dicatat dalam sejarah. Memperlihatkan kalau Gayo bukanlah sebuah suku yang anggotanya menyerahkan hidup dan mati di bawah kendali seorang penguasa. “Gayo People; True Republican, Born Egaliterian”, tulis Bowen dalam buku sebelumnya.
Karena itulah Gayo sangat cocok dijadikan sebagai titik pembanding paling ekstrim dengan Maroko yang seperti Gayo, masyarakat adalah penganut Islam yang taat.
Untuk menggambarkan kontras yang maksimal ini. Dalam argumennya, Bowen terlebih dahulu menggambarkan karakteristik khas sebuah rumah tangga di Gayo. Di mana di Gayo, sebuah rumah tangga itu adalah sebuah unit produksi sekaligus unit konsumsi di mana seluruh anggota keluarga bekerja dan makan bersama. Di Gayo, suami dan istri bahkan kadang anak-anak mengelola sawah atau kebun bersama-sama. Bagi yang berdagang juga demikian, suami dan istri mengelola keuangan bersama-sama. Sehingga tidak heran lah kalau relasi antara laki-laki dan perempuan menjadi setara. Tidak seperti umumnya terjadi di Maroko, di Gayo, perempuan juga mendapatkan warisan.
Karena tidak asing dengan kebersamaan ini, dan harta yang diperoleh juga hasil kerja bersama. Maka di Gayo, dalam pemotongan hewan qurban pun ketika yang disembelih itu adalah hewan besar seperti kerbau. Bukan hanya nama sang suami yang disebut. Tapi lengkap dengan anak dan istri.
Dalam buku ini juga Bowen menceritakan bagaimana seorang janda kaya yang berprofesi sebagai pedagang di Isak juga melakukan ibadah Qurban. Saat hewan qurban disembelih, yang disebut adalah namanya sendiri. Bukan nama suaminya, sebagaimana yang biasa terjadi di Maroko. Kemudian, setelah Qurban disembelih. Biasanya diadakan kenduri yang mengundang orang sekampung. Dalam kenduri inipun perempuan di Gayo terlibat aktif, berbaur dengan laki-laki tanpa merasa tersisihkan.Dan setelah selesai kenduri. Laki-laki dan perempuan bersama-sama melantunkan ayat-ayat suci.
Tapi belakangan muncul reformasi dalam penegakan syari’at Islam. Beberapa kebiasaan lama berdasarkan adat orang Gayo, termasuk relasi antar gender yang setara seperti ini mulai dianggap kampungan. Banyak praktek keagamaan yang bercampur dengan adat di Gayo mulai ditinggalkan dan digantikan dengan paham Islam yang lebih ‘modern’ dalam pengertian kearab-araban. Belakangan, dengan dipromosikan oleh sebuah partai, bahkan dalam pesta dan kenduri semacam ini pun laki-laki dan perempuan dipisahkan dengan tegas melalui sebuah tirai.
Bahkan belakangan lebih parah lagi. Sekarang ketika Aceh sudah menerapkan syari’at Islam secara resmi, kalau kita bicara soal kesetaraan gender. Tidak sedikit orang yang akan mennghujat dan melabeli kita sebagai SIPILIS ( Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme) yang telah diracuni oleh pikiran barat.
Padahal kesetaraan gender dalam masyarakat Gayo yang beragama Islam ini sudah terjadi sejak lama sekali. Jauh sebelum nenek moyang orang Gayo secara pribadi mengenal orang Eropa atau orang Arab apalagi mengenal ide-ide asing seperti Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme yang baru dikenal para penghujat itu beberapa tahun belakangan ini. Sebegitu lama dan sudah berurat berakarnya cara hidup seperti ini dijalani oleh Orang Gayo. Sehingga bahkan tidak ada orang yang bisa mengingat sejak kapan relasi antar gender seperti ini mulai terjadi. Karena sejak sejarah mulai bisa dicatat, orang Gayo sudah hidup seperti ini.
Wassalam
*Orang Gayo asal Isak, berdomisili di Karawaci