Membangun Pustaka Masjid

Oleh Johansyah*

 

Tidaklah sulit bagi kita saat ini menemukan masjid di sepanjang jalan atau di perkampungan, apalagi di perkotaan. Masjid terlihat terus saja bertambah banyak dibangun dengan arsitektur yang beragam. Semangat membangun masjid ini tentunya menjadi nilai plus tersendiri bagi masyarakat muslim yang dengan suka rela menyumbangkan isi kantong mereka untuk kepentingan bersama.

Sayangnya, pembangunan masjid hingga kini cenderung memprioritaskan bentuk bangunan fisik, bagaimana agar terlihat indah walaupun harus menguras biaya yang relatif mahal. Sebaliknya, jarang sekali dana masjid yang dialokasikan untuk menata perpustakaan masjid serta membeli buku-buku sebagai santapan rohani jama’ah. Padahal membuat jama’ah menjadi cerdas, kritis dan berwawasan jauh lebih penting dari pada bangunan fisik yang indah, megah  dan membutuhkan biaya yang mahal.

Oleh karena itu, sarana penting yang seharusnya menjadi prioritas utama setiap masjid adalah  mengembangkan perpustakaan yang diisi dengan beragam buku sehingga mampu memberi warna terhadap pola pikir jama’ah ke arah yang lebih inklusif, egalitarian dan mampu menerima perbedaan. Tidak ada ruginya jika sebagian dana pembangunan masjid dianggarkan secara rutin untuk membeli buku-buku perpustakaan masjid.

Saat ini, buku-buku yang sering dijumpai pada masjid-masjid adalah tafsir al-Misbah, kumpulan khutbah jum’at dan beberapa buku agama lainnya yang terletak di salah satu lemari masjid, bukan pada tempat perpustakaan khusus. Hal ini tentunya belumlah memadai dan masih jauh dari kebutuhan jama’ah. Sejatinya ada ruangan khusus untuk perpustakaan masjid yang menyediakan buku beragam. Bahkan kalau perlu bukan sekadar buku-buku bernuansa agama semata melainkan juga buku-buku lain terkait dengan profesi masyarakat yang beragam seperti pertanian, perikanan, wira usaha dan buku-buku lainnya.

Kepanitiaan pembangunan masjid sendiri pada kenyataannya tidak banyak yang membicarakan biaya untuk pembelian buku, kalaupun ada mungkin masih terhitung sedikit. Buku-buku yang ada di masjid-masjid saat ini  mungkin hanya hasil wakaf dari seorang darmawan atau pemerintah. Panitia masjid dan jama’ah pada umumnya hanya memikirkan menara mana yang belum siap, dinding mana yang belum dikeramik atau bagian mana yang perlu direnovasi. Pokoknya yang dominan dipikirkan adalah aspek fisikal masjid semata.

Cobalah kita amati bersama-sama, berapa masjid di Aceh yang memiliki perpustakaan dengan buku-buku yang terhitung memadai. Memadai dari kuantitas maupun kualitas serta variasi bukunya. Atau marilah kita lihat masjid di tempat di mana tinggal, berapa judul buku yang berada di lemari dan berapa orang yang membacanya.

Penulis juga terkadang berpikir, mungkin hal ini disebabkan oleh ketergantungan jama’ah kepada Teungku (tgk) atau ustadz dalam memperoleh pengetahuan agama. Sudah menjadi kebiasaan masyarakat bahwa pengetahuan agama diperoleh dari Tgk yang berdomisili di kampung mereka. Masyarakat tidak berpikir untuk menambah wawasan keagamaan mereka dengan gemar membaca buku. Kondisi semacam ini kemungkinan membuat pengurus atau kepanitian masjid  juga tidak terlalu memprioritaskan pembelian buku.

Harus disadari, mengapa dulu masyarakat sangat mengandalkan Tgk, mungkin alasannya hanya dia saja yang mampu membaca kitab-kitab kuning atau Arab gundul sementara jama’ah tidak mampu. Nah, kalau sekarang alasan tersebut jelas tidak laku lagi, sebab buku-buku yang berbahasa Arab gundul, kebanyakan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, jadi semua orang dapat membacanya kecuali mereka yang buta huruf.

Saatnya Membangun jama’ah

Sebagai upaya pencerdasan dan pencerahan umat, penulis kira sudah saatnya pembangunan masjid diarahkan kepada membangun jama’ahnya. Bukankah yang penting itu membuat masyarakat untuk terbuka dan berwawasan. Apa artinya sebuah masjid yang indah, mewah, besar dan dibangun dengan dana yang mahal, toh nantinya kosong tanpa jama’ah?. Atau untuk apa masjid yang begitu megah jika jama’ahnya tidak dididik dan digiring ke arah yang lebih baik?

Untuk itulah, umat Islam harus merubah paradigma berpikir dalam membangun masjid dari paradigma pembangunan fisikal-simbolis ke arah membangun jama’ah substantif berbasis pencerdasan. Namun demikian bukan berarti pembangunan fisik diabaikan akan tetapi bagaimana setiap masjid yang dibangun tidak lupa menata dengan sedemikian rupa satu ruang khusus untuk perpustakaan yang dikelola secara professional sehingga yang membaca dan pintar bukan ustadz saja tetapi jama’ah pun terbuka secara umum.

Cobalah kita amati, betapa banyak jama’ah sebelum masuk waktu shalat terutama menjelang masuk waktu jum’at yang mengadakan obrolah tanpa tema yang jelas. Barang kali, jika ada perpustakaan sebagian mereka akan lebih betah di perpustakaan untuk melihat-lihat berbagai jenis dan judul buku dan membacanya.

Sadarlah kita, bahwa kondisi masyarakat Islam saat ini kurang menggembirakan, baik dari aspek ketahanan akidah, inklusifitas ibadah maupun progresifitas muamalah. Dalam aspek akidah terlihat makin marak berkembangnya aliran aneh berbaju Islam di sekitar kita, sementara dalam aspek ibadah umat sering ribut dengan perbedaan pandangan dalam fikih dan di bidang muamalah umat Islam juga masih keok dan belum mampu bersaing dalam pusaran dunia global. Hemat penulis, salah satu penyebabnya adalah kurang berperannya masjid dalam membangun dan membuka pola pikir umat Islam. Bahkan disayangkan banyak yang disalahgunakan untuk menyalahkan kelompok yang berbeda pemahaman dan acap kali menimbulkan perpecahan jama’ah.

Untuk itu, maka langkah penting yang harus dilakukan adalah merubah paradigma pembangunan seperti yang dipaparkan di atas. Hal yang tidak kalah penting adalah memperbaiki manajemen dan pengelolaan masjid yang lebih baik, di mana kepanitian dan kepengurusan masjid bukan sekedar berpikir untuk membangun masjid mewah melainkan memikirkan bagaimana menjadikan umat ini tidak taklid, jumud dan ekslusif dalam memahami agama. Maka jika penataan masjid dikelola dengan lebih profesional memungkinkan akan  dapat membuka gerbang perubahan pola pikir masyarakat ke arah yang diharapkan.

Ke depan, semoga masjid bukan sekedar tempat berkumpul jama’ah untuk melaksanakan ibadah ritual shalat dan pengajian melainkan tempat suci dan mulia ini dapat diberdayakan untuk pusat kajian dan pengembangan pengetahuan sebagai upaya mereformasi pemikiran umat ke arah yang lebih baik dan diharapkan berpengaruh kepada kualitas amaliyah mereka sehari-hari. Mudah-mudahan panitia pembangunan masjid dan masyarakat ke depan memiliki perhatian yang lebih serius dalam membangun perpustakaan masjid.

*Penulis adalah Mahasiswa S3 Pendidikan Islam PPs IAIN Banda Aceh   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.