Muchtar mewarisi sebidang tanah tandus dari orangtuanya. Terletak di kaki Bukit Bur Gentala, Desa Asir-asir, Takengon, Aceh Tengah, sebagian besar tanah warisan itu terdiri dari batu gunung dan tak mudah ditanami. “Tanahnya berundak-undak. Tidak rata,” katanya
Tahun 1961, Muchtar mencoba menanam pinus di lahan tersebut. Dengan kondisi tanah miiknya yang tandus, dia mengambil tiga batang pohon pinus dari Bur Perulangen, perbukitan tak jauh dari tempat tinggalnya.
Pemilihan pohon pinus untuk ditanami di lahan miliknya karena Muchtar melihat tanamannya dan bertahan hingga tahun 1992. Namun, pohon itu akhirnya tumbang tersambar petir. “Banyak tanaman sudah dicoba ditanam di sini, tetapi tidak ada yang hidup. Pisang dan sejenisnya, bahkan, tidak mau hidup. Saya hampir putus asa,” katanya ketika ditemui di Takengon,beberapa waktu lalu. Pernah dia menanami lahan tandus itu dengan 60 batang pisang. Namun tidak sampai sepekan tanaman itu mati.
Kondisi politik dan ekonomi antara tahim 1965-1990 yang belum stabil sempat menghentikan upaya Muchtar menanami kembali lahan tandus itu.
“Banyak yang bilang, saya mimpi bisa menanami lahan tandus ini,” katanya. Namun, Muchtar tak putus semangat.
Berkurangnya tanaman pinus karena digunakan sebagai bahan baku pabrik kertas PT KKA, tanpa mekanisme tebang pilih, membuat udara Aceh Tengah semakin panas. Sebagian warga Takengon, Bener Meriah hingga Gayo Lues meyakini, semakin panasnya suhu udara di kota dengan ketinggian lebih dan 1.000 meter di atas permukaan laut itu karena makin berkurangnya pohon pinus. Permukaan air Danau Laut Tawar semakin turun karena perbukitan yang mengelilinginya tidak bisa lagi menjadi penyerap air hujan.
Sapu lidi
Sejak 1992, Muchtar mulai menanami lahannya yang tandus dengan belasan ribu batang pohon pinus. Hanya istri dan anak-anaknya yang membantu penanaman pohon itu.
Agar lahan bisa ditanami Muchtar mencari tanah yang dinilai cukup subur agar pinus yang ditananmya bisa tumbuh. Ratusan meter kubik tanah subur dari sekitar perbukitan diangkut ke lahan miliknya. “Tebalnya kira-kira 30-40 sentimeter. Cukup untuk ditanami,’ katanya.
Agar tidak terusik binatang pengganggu tanaman, seperti babi hutan, Muchtar memagari lahan pinus tersebut. Setiap batang pohon pinus diberi pagar dan penyangga agar tumbuh lurus menjulang ke langit. Sebagai tambahan nutrisi, Muchtar juga menggunakan pupuk kandang.
Dibutuhkan waktu lebih dari12 bulan agar batang-batang pinus tersebut dipastikan tumbuh. Belasan ribu batang pinus yang ditanamnya membuat lahan tandus itu tampak sempit. Sesuai dengan sifatnya, yang paling kuat itu akan bertahan, saat ini hanya tinggal 6000 batang pinus yang bertahan. Ketinggian rata-rata pinus kini 3-5 meter dengan diameter Iebih dan 30 cm.
Kebakaran lahan pinus di sekeliing Danau Laut Tawar dan lingkungan sekitarnya pada pertengahan Agustus lalu membuat Muchtar khawatir. Hampir setiap hari dia menengok tanaman dan menyapu daun kering di kebun pinusnya dengan sapu lidi.
“Yang paling berbahaya adalah daun-daun pinus yang jatuh ke tanah dan rumput yang mengering. Apalagi, kalau musim kemarau,’ katanya. Untuk menghindari kebakaran, setidaknya Muchtar harus menyapu kebun pinus miliknya sekali dalam sepekan.
Saat masih bertugas di Kepolisian Resor Aceh Tengah, Muchtar dapat memantau langsung tanaman pinus miliknya dari jarak lebih kurang satu kilometer. Jika terlihat ada sedikit saja asap dari kebunnya, Muchtar langsung ke lokasi. “Tapi, sejauh ini tidak ada kebakaran,” katanya.
Upas api
Sekarang, yang dikhawatirkan oleh Muchtar bukanlah musim kemarau yang menjadi ancaman bagi kelangsungan kebun pinus di Aceh Tengah. Saat ini ancaman datang dari orang-orang yang ingin mengubah hutan pinus menjadi lahan perkebunan. “Kebakaran hutan pinus bukan karena kemarau, melainkan karena dibakar orang yang ingin membuka lahan,” katanya.
Pensiun sebagai pegawai negeri sipil di Polres Aceh Tengah tahun 2007, Muchtar tidak langsung bisa beristirahat menikmati masa tuanya. Dinas Kehutanan meminta dia ikut menjaga Iingkungannya sebagai upas api atau petugas pemadam kebakaran hutan. Alat-alat yang diberikan: cangkul, sapu lidi, serta sepatu bot.
Meskipun mengaku alat yang digunakannya sangat sederhana dan gaji hanya Rp 500.000 perbulan sebagai upas api, Muchtar mengaku senang dengan pekerjaan barunya. Setidaknya ada delapan perkampungan dengan pohon-pohon pinus berada dalam pengawasannya.
Keinginan Muchtar untuk menanami lahan lain yang tidak produktif masih besar. Saat ini dia sedang mengupayakan untuk dapat memperoleh hak dari tetua adat di kampung tempat tinggalnya untuk menanami dan mengelola satu hektar lahan tandus dengan pinus. “Belum direstui oleh tetua adat dan masyarakat di sini. Mungkin mereka belum mengerti fungsi pinus bagi Takengon dan Laut Tawar,” katanya.
Dia berkeinginan menghijaukan kembali lahan hutan di sekeliing Asir-asir. “Kalau bisa sampai ke balik gunung itu,” kata Muchtar, sambil menunjuk keperbukitan. (Mahdi Muhammad | Kompas | Sabtu, 17 Apri 2010l)