Oleh Johansyah*
Sebagai warga Negara Indonesia, barangkali kita sering kesal sekaligus sering tidak merasa bangga karena dari hari ke hari hukum, keadilan serta pendukung panji-panji kebenaran semakin terkubur dan tersisihkan dari kelompok mayoritas yang memenej kejahatan menjadi konsensus dan budaya bangsa yang berakar. Sehingga dalam dialog batin penulis sering menyebut Indonesia sebagai Negara jahiliyah, sebab semakin banyak orang cerdas, berpendidikan tinggi, namun semakin sedikit orang yang baik, bermoral, berani menegakkan amar makruf nahi munkar serta berjuang demi keadilan walau harus disisihkan.
Penyebab utama dari persoalan ini bukanlah kesalahan dari ideology yang kita anut, apalagi agama. Lebih dari itu, permasalahan pokoknya adalah lemahnya penegakan hokum di negeri ini. Harus kita akui bahwa hokum di negeri ini tidak lebih dari barang dagang yang diperjual belikan serta dapat di tawar-tawar tanpa pertimbangan konsekuensi mudarat yang matang dan mendalam. Kita tau, bahwa hukumlah yang hanya mampu menertibkan pelanggaran dan tindak kejahatan.
Begitu banyak kritikan terhadap kinerja penegak hukum kita, tidak membuat mereka malu, apalagi membuat jera dan tobat, malahan mereka terlihat santai bergoyang kaki, seolah-olah tidak salah. Secara psikologis, hati mereka dapat dinilai sudah tertutup untuk kebenaran dan keadilan, sehingga tidak lagi pernah merasa bersalah dalam mempermainkan keadilan.
Kadang-kadang, sebagai masyarakat biasa kita merasa bosan terus mengkritik penegak hukum. Sesekali ada keinginan untuk memuji mereka, akan tetapi sedikit sekali prestasi yang mereka torehkan, bahkan capaian yang mereka raih seakan tidak pernah ada setelah Gayus diberi tiket keluar masuk penjara dan melakukan plesiran ke mana dia suka. Maka sungguh layak, publik menilai bahwa penegak hukum kita mata duitan yang melakukan praktek “jual beli” hukum, kendatipun tidak semua demikian.
Barangkali, bila merujuk ke sebuah hadits Nabi tentang amar ma’ruf nahi munkar, mungkin hal yang kita lakukan adalah diam dan berdo’a, walaupun hal tersebut dikategorikan sebagai selemah-lemahnya iman. Semoga para pemimpin dan penegak hukum di negeri kembali untuk menghargai kebenaran dan keadilan yang selama ini terpasung oleh sistem yang dibungkus materialis dan hedonis.
Paganis Uang
Pada era jahiliyah kita mengenal paganisme, yaitu mereka yang menyembah berhala. Kelihatannya inilah yang diamalkan kembali oleh para penegak hukum kita. Bedanya penegak hukum kita bukan menyembah berhala tapi menghambakan diri terhadap rupiah.
Negeri ini memang sedang ditimpa berbagai bencana alam, tetapi yang lebih mengerikan sesungguhnya adalah bencana manusia yang tak bermoral. Mereka duduk di pos-pos penting pemerintahan dan pengambil kebijakan yang berakibat besar pada masyarakat. Jabatan Gayus memang rendah tetapi dia berada pada posisi strategis pintu masuknya uang negara.
Gayus adalah personifikasi manusia paganis uang dan begitu pula penegak hukum. Paganisme dalam bentuk uang adalah bencana manusia dan sebuah isyarat bahwa penegak hukum kita dilanda krisis moral yang pastinya akan menjadikan manusia secara batin berubah menjadi wujud setan, hewan dan bahkan lebih rendah derajatnya. Mereka mengikuti hawa nafsu walaupun bertentangan dengan nilai kebenaran, persetan dengan keadilan dan kebenaran apabila mereka mendapat tawaran yang dapat menguntungkan mereka secara materi.
Inilah bencana yang sangat mengancam keselamatan negeri ini. Bagi bangsa ini korupsi sudah menjadi budaya yang akut. Hal ini dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa korupsi tidak hanya subur di pusat, akan tetapi sudah menjalar ke daerah, dari pejabat tinggi sampai pejabat desa.
Jika sebuah tempat ditimpa bencana alam mungkin yang mengalami hanya penduduk di sekitarnya, akan tetapi bencana moral akan menelan siapa saja dan tidak mengenal batas wilayah. Hal yang lebih mengerikan bahwa bencana manusia akan menjadi sebuah warisan ke generasi berikutnya, sementara bencana alam hanya bersifat temporal dan terbatas pada suatu tempat dan waktu. Bahkan jika manusia mau jujur, bahwa bencana alam itupun juga berasal dari bencana moral itu sendiri.
Korupsi adalah bencana moral yang sedang dan mungkin terus terjadi di sekitar kita. Sayangnya tidak banyak yang mengkhawatirkannya dan lebih takut kepada bencana alam. Seharusnya kita malu karena prestasi korupsi justru diraih oleh negeri yang diklaim sebagai mayoritas muslim. Secara tidak langsung hal ini membuktikan bahwa nilai-nilai agama yang dianut tidak membumi. Islam memang mencela korupsi, tapi koruptor muslim jalan terus. Gambaran carut marut negeri Islam seperti ini akan semakin menggembirakan pihak-pihak yang tidak senang dengan kebangkitan Islam.
Sebaliknya, kita pantas bercermin kepada negara yang mayoritas non muslim yang tidak gemar korupsi?, padahal mereka tidak belajar agama. Ini berarti ada yang salah dengan pemahaman kita terhadap agama. Apapun ceritanya, dijamin tidak ada yang salah dengan alqur’an sebagai petujuk dan yang penulis yakin kesalahannya adalah pada ummat yang tidak pernah serius memahami dan mengamalkan ajaran alqur’an.
Rasanya kita tidak bisa menebak lagi kapan krisis moral ini dapat diatasi dan dengan cara apa?, jangan-jangan ke depan akan semakin parah dan terpuruk. Jawabannya ada pada kita semua, masihkah kita mau menjadikan hukum sebagai barang dagangan yang ditawar-tawar ataukah tidak ada tawar menawar dalam hukum?. Masihkah kita terus menciptakan bencana moral yang setiap saat terus mengancam eksistensi dan kejayaan negeri ini?.
Penyadaran
Dalam sebuah wawancara dengan salah satu stasiun TV, Ahmad Syafii Ma’arif, mantan ketua Muammadiyah menyatakan bahwa ketika ditanya, apa harapannya untuk Indonesia saat ini, maka dengan santai dia menjawab, “ya, kita mengharapkan supaya Indonesia (terutama penegak hukumnya) cepat siuman lah, karena saya anggap mereka tidak sadar”.
Tapi rasa-rasanya untuk sadar sendiri penulis kira sulit kecuali ada yang menyadarkan mereka bahkan mungkin dipaksa untuk sadar. Hemat penulis, untuk misi penyadaran maka hal mendesak yang perlu dilakukan adalah; pertama, diperlukan revolusi penegak hukum, di mana Presiden harus berani mengganti pejabat-pejabat yang terinfeksi virus di lingkungan penegak hukum, baik kejaksaan, kepolisian dan lembaga lainnya. Kedua, rekrutmen penegak hukum harus lebih berkualitas dan profesional yang bebas dari sogokan, kepentingan dan pesanan pejabat tertentu, hanya dengan proses yang bersih kita mampu melahirkan penegak hukum yang berkualitas dan bebas dari virus hedonis.
Ketiga, karena yang dialami negeri ini adalah bencana moral maka yang menjadi objek perbaikan adalah manusianya sehingga peran pendidikan sangat menentukan, baik pendidikan formal (sekolah) maupun pendidikan informal (keluarga). Sekolah maupun keluarga harus mampu mendoktrin anak mereka untuk benci kepada korupsi dan membangkitkan kesadaran mereka bahwa korupsi merupakan salah satu bencana moral berbahaya yang siap memusnahkan kejayaan sebuah negeri dan generasi berikutnya.
Semoga saja, bencana moral di negeri ini dapat kita akhiri, paling tidak masih ada kesadaran, kemauan dalam diri kita untuk menebarkan kebaikan dan menegakkan kebenaran sembari selalu optimis bahwa suatu saat negeri ini akan berubah ke arah yang lebih baik.
*Penulis adalah Dosen STAI Gajah Putih Aceh Tengah.