Menjadikan Asmaul Husna Sebagai Instrumen Hijrah

Oleh: Drs. Muhammad Syukri, M.Pd.[1]

Dalam kalender hijriyah, sebagaimana kalender miladiah, terdapat 12 bulan selama satu tahun. Kalender hijriyah berpedoman pada peredaran bulan. Dari 12 bulan dalam kalender hijriyah tersebut, terdapat empat bulan yang diyakini ummat Islam sebagai bulan yang dimuliakan Allah, diantaranya: Dzulqa’idah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab.

Sebagai bulan yang dimuliakan, besok (27/11), ummat Islam di Tanah Air akan  menyemarakkan datangnya bulan Muharram dengan berbagai aktivitas. Diantaranya dengan menyelenggarakan pengajian, diskusi, pawai, kirab, zikir dan instropeksi diri. Demikian pula halnya masyarakat di Pulau Jawa yang  menyambut datangnya tahun baru Jawa 1 Suro (1 Muharram) dengan berbagai ritual mulai dari berendam hingga memandikan benda-benda pusaka/kesayangan.

Ragam bentuk dan semarak atau tidaknya aktivitas menyambut datangnya bulan Muharram, sesungguhnya sangat tergantung kepada keyakinan dan sudut pandang masing-masing. Ada yang melihat pawai atau kirab sebagai wujud memuliakan bulan Muharram. Ada juga yang berkeyakinan bahwa benda pusakanya akan bertambah sakti jika dimandikan di bulan Muharram. Adapula yang menjadikan bulan Muharram sebagai momentum untuk hijrah lahir bathin dan kembali ke jalan lurus, jalan yang penuh dengan nikmat-Nya.

Hijrah, menurut situs Wikipedia adalah pindah atau migrasi. Menurut Prof. DR. H. Djamaluddin Darwis (Republika, 23/12/2009) hijrah bermakna pindah atau berubah. Secara historis, hijrah merupakan perpindahan Nabi SAW dan para sahabatnya dari Makkah ke Madinah. Hijrah Rasul ini menggambarkan penyatuan teori dan praktik dalam Islam; antara akidah dan amal, batin dan lahir, langit dan bumi, sebagaimana telah disatukannya periode Makkah yang menanamkan nilai-nilai tauhid, dan Madinah yang menekankan amal dan praktik Islam.

Dalam konteks tulisan ini, hijrah dimaknai sebagai sebuah perpindahan prilaku atau disebut saja hijrah akhlak. Perlukah hijrah akhlak? Diterima atau tidak, di era world wide web (www) dengan perkembangan teknologi informasi yang begitu cepat, ”memaksa” anak bangsa hijrah akhlak ke arah negatif dengan menjiplak prilaku dan pola hidup Barat yang kapitalis/individualistis. Materi dan kesenangan individual (hedonisme) diklaim sebagai tujuan akhir kehidupan. Berkembanglah ”penyakit” hati dan akhlak yang makin subur karena dipupuk oleh penyimpangan prilaku, hilangnya rasa malu, dan terjadinya pembiaran-pembiaran yang sangat ditentang oleh ajaran Islam.

”Penyakit” hati dan akhlak tidak ditemukan obatnya di apotek-apotek. Jenis penyakit ini disebabkan oleh virus terkuat di alam semesta yang bernama ”iblis.” Pengobatannya harus menggunakan ramuan khusus yang dikenal dengan nama hijrah akhlak. Profesor Djamaluddin Darwis menyebutnya dengan hijrah sulukiyyah, yaitu perpindahan tingkah laku, kepribadian (akhlak) yang buruk kepada akhlak yang mulia dan terpuji. Orang yang benar-benar hijrah tidak akan melakukan berbagai tindak amoral dan asusila di masyarakat.

”Penyakit” itu harus diobati dengan hijrah akhlak, pindah dari akhlak yang buruk menjadi akhlak mulia dan terpuji. Perpindahan akhlak dapat dimulai dengan mendengarkan suara hati yang menjadi sumber nilai-nilai kebenaran universal yang ada pada setiap manusia. Hati nurani selalu membisikkan suara hati seperti: ingin memberi, ingin menyayangi, ingin adil, ingin jujur, suka keindahan, ingin sabar, ingin memaafkan, ingin aman, ingin mengetahui, suka kelembutan,  ingin kebenaran, dan banyak lagi. Coba dibandingkan Al Haqq (Yang Maha Benar) dengan suara hati ”ingin kebenaran,” dari mana datangnya suara hati itu? Mengapa nilai-nilai yang dikandung suara hati persis seperti nilai-nilai yang terdapat dalam asmaul husna?

Misalnya, ketidakadilan yang dialami Prita Mulyasari karena PN Tangerang memvonisnya membayar Rp.204 juta untuk sebuah rumah sakit, serta merta suara hati semua orang berbisik:  ”ingin memberikan sedikit rezeki untuk Prita” sehingga terkumpul ratusan juta  koin untuk Prita. Siapa pemilik nilai ”ingin memberikan sedikit rezeki” itu? Dialah Ar Razzaq (Tuhan Yang Maha Pemberi Rezeki). Lalu, mengapa percikan nilai-nilai itu terdapat di hati semua manusia? Dalam QS As Sajadah  32:9 Allah berfirman: ”Kemudian Dia menyempurnakannya dan meniupkan ruh (ciptaan)-Nya kedalam (tubuh)nya dan Dia menjadikan pendengaran, penglihatan dan hati bagimu, (tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur.”

Dalam menjalani kehidupan, manusia sering mengabaikan suara hati. Mengapa? Iblis atau belenggu-belenggu (istilah yang digunakan Ary Ginanjar dalam buku Rahasia  Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual) terus menerus menghalangi pancaran frekuensi suara hati. Apabila tidak dihalangi iblis pancaran suara hati itu, dia akan kalah, selanjutnya manusia akan menjadi insan kamil. Makhluk yang sempurna.

Belenggunya, menurut Ary Ginanjar, berbentuk prasangka, prinsip-prinsip hidup, pengalaman, kepentingan, sudut pandang, pembanding, dan literatur. Terlanjur berprasangka negatif terhadap seseorang, atau adanya kepentingan tertentu, maka suara hati ”ingin berlaku adil” tidak terpancar. Muncul sebuah keputusan yang menurut suara hati universal tergolong tidak adil. Semua orang menolak keputusan itu. Ini artinya, si pengambil keputusan melawan suara hatinya. Makanya, belenggu itu harus dikikis, antara lain dengan istigfar dan keikhlasan supaya pancaran frekuensi suara hati lebih jernih.

Pada saat posisi frekuensi suara hati sudah jernih, proses hijrah akhlak dapat dimulai. Instrumen asmaul husna dapat digunakan sebagai barometer perjalanan hijrah akhlak. Kita dapat memulai dari dorongan suara hati: saya ingin menjadi seorang yang pengasih (percikan Ar Rahman-Yang Maha Pengasih). Untuk menguji, apakah kita sudah hijrah akhlak, pertanyaannya:  sudahkah saya bersikap mengasihi ayah dan ibu, isteri/suami dan anak-anak, saudara dan famili, fakir miskin, dan yatim piatu?

Kemudian, diuji kembali dorongan suara hati: saya ingin selalu bersifat penyayang (percikan Ar Rahim-Yang Maha Penyayang). Pertanyaannya: sudahkah saya bersikap selalu menyayangi ayah dan ibu, isteri/suami dan anak-anak, saudara dan famili,  masyarakat, alam, dan makhluk yang ada disekitar kita?

Berikutnya, kita coba menguji dorongan suara hati: saya ingin menguasai diri (percikan A Maalik-Yang Maha Raja). Pertanyaannya: sudahkah saya mampu menguasai diri dengan tidak menyakiti hati, melukai perasaan, dan melakukan kekerasan terhadap ayah dan ibu, isteri/suami dan anak-anak, saudara dan famili,  serta masyarakat yang ada disekitar kita?

Selanjutnya, kita coba lagi untuk menguji dorongan suara hati: saya ingin suci dalam berpikir dan bertindak (percikan Al Quddus-Yang Maha Suci). Pertanyaannya: sudahkan saya suci dalam berpikir dan bertindak pada saat bersujud kepada-Nya, saat menjalani hidup bersama keluarga dan masyarakat, serta saat mengelola alam dan makhluk lainnya? Kita dapat melanjutkan pertanyaan untuk menguji dorongan suara hati kaitannya dengan hijrah akhlak melalui asmaul husna yang kelima (As Salam) sampai yang kesembilan puluh sembilan (Ash Shabuur).

Apabila pertanyaan atas dorongan suara hati mampu dijawab dengan kata ”sudah,” maka proses menuju hijrah akhlak sedang berlangsung. Proses hijrah akhlak tersebut perlu ditingkatkan dan dilanjutkan. Jangan dihentikan, maju terus. Kalau tidak, sesuai firman Allah dalam QS At-Tin 95:5 ”kemudian  Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya,” na’uzubillahi min zalik.


[1] Penulis adalah alumni Institut Ilmu Pemerintahan Jakarta (1990) dan Program Pasca Sarjana IKIP Jakarta (1996), tinggal di Takengon.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.