Menyoal Kebijakan Jurnal Ilmiah

Oleh Johansyah*

.

DUNIA pendidikan tinggi agak tercenung dengan kebijakan Direktur Jenderal Dikti (Dirjen Dikti) tentang diwajibkannya mahasiswa untuk membuat makalah yang diterbitkan di jurnal ilmiah bagi calon sarjana S1, makalah calon magister (S2) di jurnal nasional, dan makalah calon Doktor (S3) di jurnal internasional. Persyaratan tersebut tertuang dalam Surat Dirjen Dikti Nomor 152/E/T/2012 tentang Publikasi Karya Ilmiah untuk program S1/S2/S3 yang merupakan salah satu syarat kelulusan yang berlaku mulai Agustus 2012 (Serambi, 10/02).

Kita yakin, bahwa tujuan publikasi karya ilmiah ini baik, yakni untuk meningkatkan mutu lulusan perguruan tinggi yang saat ini sangat minim karya ilmiah, baik di tingkat nasional, terlebih lagi di tingkat internasional. Menurut cacatan Kompas (09/12/11), bahwa jumlah publikasi hasil penelitian Indonesia pada 1996-2008 lebih rendah dibandingkan negara-negara Asia yang selama ini kurang dikenal kehidupan akademiknya. Penelitian SCImago menempatkan Indonesia pada posisi ke-64 dari 234 negara yang disurvei. Dari sini kita dapat tau bahwa karya ilmiah di Indonesia masih sangat rendah.

Dalam hal ini, Dirjen Dikti Kemdikbud, Djoko Santoso beralasan bahwa sebagai ahli, seorang sarjana harus memiliki kemampuan menulis secara ilmiah, termasuk menguasai tata cara penulisan ilmiah yang baik. Setiap mahasiswa dapat menulis karya ilmiah baik dari rangkuman tugas, penelitian kecil, mau pun ringkasan dari skripsi yang dibuatnya. Penulis yakin kita semua sepakat dengan alasan ini.

Di sisi lain, kebijakan ini dianggap ‘egois’ dan tidak demokratis. Kebijakan ini adalah kebijakan nasional yang berlaku untuk semua perguruan tinggi. Karena itu, mengapa Dirjen Dikti begitu tergesa-gesa mengeluarkannya. Seyogiyanya sebelum kebijakan ini dikeluarkan, ada semacam survei maupun jajak pendapat dari beberapa perguruan tinggi di Indonesia yang dianggap representatif menilainya. Atau, mengapa tidak didialogkan dulu dengan para pakar, tokoh pendidikan, dan unsur-unsur lain yang berkompeten, sehingga tidak memunculkan pro-kontra di kemudian hari.

Untuk itu, kebijakan Dirjen Dikti perlu dikaji ulang secara cerdas, sebagaimana diungkap oleh Rektor Universitas Islam Indoensia (UII) Yogyakarta, Edy Suandi Hamid. Lebih dari itu, alasan substansial mengapa kebijakan ini perlu dikaji ulang karena; pertama, aspek yang substansial untuk ditelusuri adalah apa yang melatarbelakangi rendahnya karya ilmiah mahasiswa. Masalahnya, jangankan mahasiswa, tingkat guru besar (Profesor) dan Doktor saja di Indonesia sangat miskin karya ilmiah, bagaimana persayaratan ini dipaksakan kepada mahasiswa?.

Aspek kedua yang perlu pertimbangan adalah minimnya jumlah jurnal ilmiah. Dari 3.000 lebih perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia, setidaknya setiap tahun ada 750.000 calon sarjana. Untuk menampung makalah mereka, maka harus ada puluhan ribu jurnal ilmiah di negeri ini. Sementara kondisi rilnya, hingga oktober 2009, menurut Indonesian Scientific Journal Database, terdata sekitar 2.100 jurnal yang berkategori ilmiah yang masih aktif. Dari jumlah itu hanya sekitar 406 jurnal yang telah terakreditasi (Rimanews.com, 11/02/12). Dampak negatif kemudian yang muncul adalah banyak  mahasiswa S1, S2, maupun S3 yang tertahan menyelesaikan studinya karena harus memenuhi syarat ini.

Aspek ketiga yang perlu dikaji ulang adalah bahwa kondisi akademis masing-masing perguruan tinggi yang berbeda, tingkat kesiapan dari aspek sarana dan fasilitas juga berbeda. Perguruan tinggi yang ada di level kabupaten, bahkan  perguruan tinggi di provinsi saja belum tentu siap dengan kebijakan ini.

Aspek keempat, kita perlu waspadai, jangan-jangan kebijakan ini kemudian hanya dapat meningkatkan kuantitas karya ilmiah mahasiswa karena kondisi keterpakasaan, sementara kualitasnya diragukan. Dan yang lebih mengkhawatirkan, pembuatan karya ilmiah ini akan menjadi proyek-proyek lokal di perguruan tinggi, sebab bagaimana pun dipaksakan toh kita harus mengakui bahwa tidak semua mahasiswa memiliki kemampuan yang sama dalam menulis.

Nah, mereka yang tidak mampu, akhirnya akan menyewa orang lain untuk membuat karya ilmiah ini. Sadar atau tidak, ini adalah celah yang akan  dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk membuka proyek pembuatan artikel ilmiah, dan tidak mustahil mereka ini adalah para dosen. Kampus akan jadi tempat transaksi artikel ilmiah.

Kebijakan Tanpa Adaptasi

Konsep dan implementasi pendidikan di Indonesia, acap kali berkiblat pada capaian dan kemajuan pendidikan yang diperoleh negara lain. Kita terkesima dan berkeinginan mengadopsinya. Sayangnya, ketika mengadopsi, maka yang sering diabaikan adalah mengadaptasikannya dengan konteks ke-Indonesiaan. Tidak ada kajian yang mendalam dan intens dari pemerintah (terutama Kemdikbud) tentang kesiapan sarana, Sumber Daya Manusia (SDM), kondisi masyarakat, dan aspek-aspek lainnya yang sepatutnya dipertimbangkan.

Demikian halnya dengan jurnal ilmiah, sejatinya pemerintah melihat kondisi ril perguruan tinggi di Indonesia. Harus ada kajian mendalam dan serius, jajak pendapat, kemudian mengkaji ulang lagi apakah kebijakan ini bisa diterapkan atau tidak. Sebaliknya, jangan kemudian memaksakan kebijakan ini hanya dengan melihat capaian negara lain, harus ada upaya adaptasi.

Mencari Jalan Tengah

Apapun ceritanya, Dirjen Dikti telah mengeluarkan kebijakan ini. barangkali yang harus jelas adalah mekanisme dan teknisnya, bagaimana kemudian kebijakan ini dapat diterima oleh kalangan yang kurang dan tidak setuju dengan kebijakan ini. Hemat penulis,  kebijakan ini dapat saja diterapkan dengan  beberapa alternatif; pertama, dilakukan secara bertahap, dimulai dari perguruan tinggi yang memiliki rangkin tertinggi dan telah memiliki jurnal terakreditasi. Atau,  diterapkan di masing-masing satu perguruan tinggi pada setiap provinsi yang dianggap layak, lalu yang lain secara bertahap akan terus ikut seiring dengan kesiapan mereka dari berbagai aspeknya.

Adapun alternatif yang kedua adalah sebagaimana yang ditawarkan anggota komisi X DPR RI bidang pendidikan, Rohmani (Serambi, 10/02), demikian halnya di rubrik salam (Serambi, 11/02), bahwa untuk meningkatkan produktifitas karya ilmiah calon sarjana pemerintah harus menyediakan fasilitas yang memadai, terutama anggaran untuk memberi reward (penghargaan) yang tinggi kepada mahasiswa yang menulis di jurnal ilmiah (terutama terakreditasi) yang kontributif dan inovatif sehingga memotivasi yang lain untuk menulis.

Terakhir, bisa saja kebijakan ini dicancel. Penulis malah lebih cenderung berpikir pada upaya peningkatan kualitas karya ilmiah akhir untuk mahasiswa, baik skripsi untuk S1, tesis untuk S2, maupun disertasi untuk S3, karena ini juga karya ilmiah. Ini lebih penting.

*Penulis adalah Mahasiswa S3 Pendidikan Islam PPs IAIN Ar-Raniry Banda Aceh

.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.