Kita Bangsa Petani

Marah Halim*

SATU kenyataan yang tidak mungkin ditolak oleh urang Gayo adalah bahwa dunia, alam dan bumi mereka adalah pertanian. Menolak kenyataan ini sama saja dengan membohongi diri sendiri. Ketidaksadaran kita pada hal ini akan membuat kepribadian urang Gayo tidak jelas.

Namun, yang juga merupakan kenyataan empiris adalah masih banyak urang Gayo yang belum bisa berdamai dengan kenyataan bahwa mereka hidup di dunia, alam dan bumi pertanian. Mereka minder disebut petani; anak-anak sekolah juga jarang menyebut cita-cita mereka menjadi petani. Ada persepsi bahwa menjadi petani di Gayo tidak usah menjadi cita-cita; siapa saja yang gagal sekolah berarti menjadi petani, seolah menjadi petani tidak usah membaca, tidak perlu berwawasan. Akibatnya, menjadi petani di Gayo dianggap profesi rendah dan suatu kegagalan. Kalau orang Gayo menjadi petani dianggap sudah nasib karena gagal bersaing untuk menjadi PNS, Polisi, tentara, dan profesi ”halus” lainnya.

Dengan kenyataan bahwa alam Gayo adalah alam pertanian, maka urang Gayo yang 98 persen adalah petani, seharusnya tidak terjebak dengan persepsi sesat tentang dirinya-sendiri. Bagi urang Gayo, petani adalah identitas yang mendarah daging bagi siapa saja, walaupun profesi sehari-harinya sebagai pegawai negeri, tapi pegawai negeri yang petani. Kenyataan yang tidak bisa dipungkiri saat in adalah bahwa setiap pegawai negeri, pedagang, pengusaha, pejabat, dan lain-lain di Gayo, ternyata punya kebun kopi, jadi sesungguhnya tidak ada yang tinggal di Gayo yang bukan petani.

Memiliki lahan kebun kopi kini sudah menjadi lifestyle di Gayo, karena itu urang Gayo hendaknya tidak sembarangan menjual lahan kopinya dengan harga yang murah, apalagi lahannya warisan dari orang tua. Perlu diketahui urang Gayo, bahwa orang kota, seperti Banda Aceh, saat ini banyak yang bercita-cita memiliki lahan kopi di Gayo, bahkan banyak yang ingin menghabiskan masa pensiunnya dengan menjadi petani kopi. Bagi mereka, bertani kopi adalah  lifestyle.

Penulis berharap urang Gayo, apapun profesinya, bangga dengan kenyataan bahwa mereka adalah bangsa petani. Petani adalah darah dagingnya, jati dirinya, citranya. Hal ini penting untuk memperkuat eksistensinya dalam pergaulan dengan daerah lain, bahkan pergaulan nasional dan internasional. Dengan ciri pertaniannya, orang Gayo bisa dikenal orang, orang Gayo bisa kaya, bisa maju, dan bisa sejahtera.

Penulis heran dengan kenyataan bahwa banyak orang Gayo yang merasa menjadi petani adalah suratan takdir, sehingga mereka tidak bangga dengan ke-petani-annya. Budaya tani hampir tidak ada dalam masyarakat Gayo yang 95 persen adalah petani. Kalaupun ada turunan nenek moyang itupun diadopsi secara terpaksa, dan karena tidak bangga dan menghargai dunia petani, warisan budaya pertanian indatu itu tidak diinovasi. Dari dulu sampai sekarang, cara bertani kopi masyarakat Gayo, manajemennya, teknologinya, pemasarannya, masih mengadopsi pola indatu.

Di Gayo, pertanian belum muncul sebagai identitas yang dibanggakan. Salah satu bukti bahwa orang Gayo dan pemerintah daerahnya tidak menerima kenyataan bahwa dunia mereka adalah dunia tani adalah tidak adanya pesta rakyat atau permainan rakyat yang mendedikasikan duniaya tersebut. Jika si Spanyol ada pesta tomat, di Bulgaria ada pesta jeruk, di Brazil ada perta salad, dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa mereka sangat bangga dengan dunianya.

Tentu hal sebagaimana diuraikan di atas masih satu satu faktor. Faktor yang tidak kalah berperan dalam mendorong karakteristik pertanian bangsa Gayo adalah faktor Pemerintah Daerah-nya. Mereka sendiri adalah anak-anak bangsa Gayo itu sendiri. Mereka ada karena adanya alam pertanian di Gayo. Penulis lebih heran dengan Pemda di Gayo yang tampak setengah hati membangun pertanian, khususnya kopi dan palawija.

Sentuhan pemerintah dengan program-programnya belum menampilkan ciri yang paling kuat dari Gayo itu sendiri. Sampai detik ini, pertanian di Gayo 90 persen adalah ala rakyat, peran pemda yang sejatinya hidup dari masyarakat petani masih sangat sedikit. Di Gayo ada pameo, kalau mau tau masalah kopi tidak usah bertanya ke dinas pertanian, langsung saja ke petani kopi; dijamin mereka lebih mengerti masalah pembibitan, cara tanam, musim, penyiangan, dan sebagainya. Begitu pula masalah palawija, dipastikan petani lebih paham.

Meski Gayo adalah sentra kopi dan dunia kopi, belum pernah dibuat event-event nasional atau internasional yang berkaitan dengan kopi, apakah sebentuk pameran kopi internasional, pesta kopi, tahun kopi, dan sebagainya. Satu-satunya festival atau pesta rakyat yang dimiliki masyarakat Gayo adalah pacuan kuda, itupun tidak identik dengan karakteristik Gayo yang berbasis pertanian. Kuda bukan hewan yang penting dalam pertanian di Gayo seperti halnya kerbau di Bali atau sapi di Madura.

Di Bali, ada karapan kerbau untuk menghargai jerih payah kerbau membantu pertanian masyarakat; dan demikian halnya dengan karapan sapi di Madura. Kuda di Gayo tidak berperan untuk kegiatan pertanian, kalaupun ada sedikit sekali; sebab pacuan kuda itu sendiri bukan budaya Gayo, lomba itu hanya untuk memperingati kelahira Ratu Wilhelmina di Belanda pada masa kolonial. Jadi kalau saat ini disebut bahwa pacuan kuda adalah budaya Gayo perlu diteliti kembali.

Dunia pendidikan di Gayo juga tidak digalakkan untuk mendukung dunia tani, buktinya fakultas yang paling lambat perkembangannya di Gayo adalah fakultas pertanian. Jika core dunia kita adalah tani, seharusnya semua jenis pendidikan di Gayo diarahkan untuk mengangkat derajat pertanian. Jurusan atau fakultas ekonomi didorong ke arah ekonomi pertanian, manajemen di arahkan ke manajemen pertanian, ilmu hukum diarahkan ke hukum bisnis pertanian, ilmu teknik diarahkan untuk teknik pertanian, ilmu pariwisata juga diarahkan ke agrowisata (wisata pertanian), juga tidak ketinggalan ilmu kedokteran hewan yang sampai saat ini belum dimanfaatkan secara maksimal. Semua yang penulis sebutkan di atas adalah semua cabang ilmu, baik ilmu pasti, ilmu sosial, atau ilmu budaya yang memiliki keterkaitan erat dengan dunia kita, dunia tani.

Jika ini yang kita lakukan, maka akan membentuk citra dunia tani yang kental dengan masyarakat Gayo. Orang dimana-mana akan ingat Gayo sebagai dunia tani berbasis pendidikan. Semua kajian pendidikan mengarah ke pendidikan pertanian.

Alhamdulillah saat ini sudah ada Kampus II Unsyiah, khususnya Fakultas Pertanian di Bener Meriah. Kabarnya, STAI Gajah Putih juga akan dinegerikan, harapan kita perguruan tinggi agama Islam ini juga mampu menanamkan kepribadian masyarakat Gayo sebagai bangsa petani, bukan melulu mengajarkan ilmu agama yang tidak ada relevansinya dengan jiwa bangsa Gayo.

Kita juga menunggu jurusan atau fakultas yang lain untuk melakukan inovasi kurikulum yang sesuai dengan dunia Gayo sebagai dunia pertanian. Sekali lagi, apapun pendidikan yang ada di Gayo harus diarahkan untuk memperkuat jati diri bangsa Gayo sebagai bangsa petani dalam makna yang seluas-luasnya. Ingat, dunia kita adalah dunia tani, dan kita dikenal dunia bukan dengan identitas yang lain selain petani. Tantangan kita adalah menunjukkan diri sebagai dunia tani, bangsa tani, serta masyarakat tani yang terdidik dengan karakter tani.***

*Widyaiswara BKPP Aceh   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.