Ini Makalah Muchlis Gayo, SH pada Seminar Jetrada di Takengon

.

Mengemas Tradisi Gayo Sebagai Wahana Pendidikan Karakter Siswa

(Makalah pembanding pada Seminar”Jejak Tradisi Budaya Masyarakat Gayo” Kamis 26 Mei 2012 di Takengon)

Oleh  Muchlis Gayo, SH*

TERLEBIH dahulu saya mengucapkan terimakasih kepada Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Banda Aceh yang telah memprakarsai acara diskusi ini dengan tema Jejak tradisi budaya masyarakat Gayo dan meminta saya selaku Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga untuk menyampaikan materi diskus dengan judul Mengemas Tradisi Gayo sebagai Wahana Pendidikan Karakter Siswa. Karena saya harus menghadiri penerimaan “Anugrah Indonesia Leader In Development Award 2012”  pada tanggal 26 April 2012 maka pemakalah utama disampaikan oleh kakanda Drs. H. Ibnu Hajar LT. Dan saya menyampaikan makalah pembandingnya yang disampaikan oleh salah satu staf dari Dinas Budparpora.

Judul tersebut cukup sederhana, karena Tradisi menurut kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan Kebudayaan Cetakan ke 3 tahun 1990 penerbit Balai Pustaka Jakarta adalah Adat kebiasaan turun – temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan di Masyarakat. Dalam kamus yang sama mengemas adalah membungkus, jadi maksud judul tersebut bagaimana menjadikan tradisi Gayo dijadikan karakter siswa atau pelajar, pertanyaannya : apakah dengan kondisi kekinian masyarakat Aceh tengah tradisi tersebut bisa dijadikan karakter siswa ?,  berdasarkan analisa sementara yang dinamakan Gayo hanya tinggal + 40 % dari jumlah penduduk 210.000 jiwa dan dengan fakta pemakai bahasa lokal tinggal 50 % dari jumlah penduduk yang 40 % dari 210.000 jiwa, dan apakah semua pemegang kebijakan sepakat dengan kita untuk menjadikan tradisi Gayo sebagai wahana karakter siswa ?, suatu hal yang mustahil tapi mempunyai peluang dan kesempatan jika semua pemilik kewenangan bersepakat.

Memang budaya Gayo adalah budaya unik di Provinsi Aceh, karena dibanding dengan budaya pesisir terlihat perbedaan, perbedaan ini disebabkan karena induk bangsanya berbeda dan alamnyapun berbeda, perbedaan tersebut sudan terlihat di arena PKA I s.d V.

Orang Gayo tinggal di dataran tinggi, pedalaman Aceh dengan ketinggian diatas 700 km, alamnya berbukit-bukit, hutanya lebat dengan udara dingin, pengaruh geografis seperti ini melahirkan masyarakat yang 80  % memiliki bakat artistik. bakat alamiah ini ada positifnya ada pula negatifnya, negatif karena egosentrisnya cukup dominan, mempertahankan pendapat tanpa memahami kajian akademisnya. Dalam tulisan ini saya akan terlebih dahulu menjelaskan beberapa teori kebudayaan untuk lebih memahami bagaimana sebenarnya tradisi Gayo itu.

Istilah dan Pengertian Kebudayaan

Makalah ini saya awali dengan pemahaman Kebudayaan yang sering diartikan kesenian, hal ini tidak salah, karena kesenian adalah kebudayaan dalam arti sempit. Saya memahami kita semua tau apa itu kebudayaan namun tidak salah jika saya mencoba mengingatkan kembali istilah dan pengertian kebudayaan :

Kebudayaan berasal dari kata jamak “Budaya”, beberapa sarjana Anthropologi menyatakan kata “Budaya” berasal dari bahasa sanksekerta “ Buddhayah”  yang masing-masing punya arti,  “buddi” = akal,  dan “daya”= Kekuatan.

Berdasarkan kedua kata tersebut makna kata “budaya” adalah kekuatan yang mendorong budi/akal untuk melahirkan, melakukan, dan menghasilkan sesuatu atau melahirkan cipta, rasa, karsa.

Cipta adalah suatu proses akal dari renungan manusia untuk melahirkan suatu ide, gagasan, norma-norma dalam memenuhi kebutuhannya.

Rasa adalah proses penilaian dari hasil renungan akal manusia dengan mempergunakan pertimbangan penginderaannya apakah sesuatu yang dilahirkan itu berguna atau tidak bagi pribadi atau orang lain.

Karsa adalah kekuatan yang mendorong untuk melakukan kegiatan dari kedua proses tersebut diatas.

Berdasarkan istilah tersebut, kebudayaan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan cipta rasa karsa manusia melalui proses belajar.

Istilah lainnya : kebudayaan berasal dari kata “ Culture “, kata ini berasal dari kata latin “ colere “ artinya “ mengolah” (istilah dalam bidang pertanian) yaitu “ mengerjakan tanah atau bertani”, dari kata inilah maka kata “Culture” berkembang menjadi “ segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan merubah alam “.

Hampir semua kalangan ilmuwan seperti Ralp Linton, E.B. Taylor. Sutherland dan Woodward, Prof. Dr. Soegarda Poerbakawatja, memberi Definisi kebudayaan yang berhubungan dengan “hasil berpikir dan tindakan manusia “, Prof. Dr. Koentjara Ningrat memberi batasan, Kebudayaan adalah “keseluruhan sistem gagasan , tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar“.

Dengan demikian ada 3 hal yang harus terlihat dari Kebudayaan, yaitu :

1. Adanya sistem gagasan, norma-norma, ide-ide,
2. Adanya tindakan dari sistem gagasan berbentuk karya-karya,
3. Adanya rasa pemilikan dari/oleh anggota masyarakat,
4. Melalui proses belajar.

J.J. Honigman dalam bukunya The World of man, memberikan istilah ke 4 hal tersebut dengan istilah ;

1. Ideas, untuk unsur pertama,
2. Activities untuk unsur nomor 2,
3. Artifacts untuk benda-benda yang dihasilkan.

Faktor Pembentukan Kebudayaan

Dari pengertian kebudayaan tersebut diatas, kebudayaan tercipta dari diri manusia, baik karena terproses dalam akalnya, maupun terbawa lahir dalam gennya, atas dasar itu timbulah pertanyaan ; “ apakah hanya proses akal dan faktor gen saja yang menyebabkan manusia menciptakan kebudayaan ?. Pertanyaan ini perlu, agar kita benar-benar dapat membedakan mengapa terjadi perbedaan budaya antara suatu kelompok dengan kelompok lainnya.

Jawaban terhadap pertanyaan diatas adalah TIDAK, “karena alamlah yang memaksa manusia menciptakan kebudayaan untuk dapat bertahan hidup di alam tersebut, dan manusia dengan akalnya menselaraskan hidupnya sesuai dengan keinginan lingkungan alam dimana ia berada“.

Para ahli budaya menyebutkan ada 3 faktor yang mempengaruhi manusia membentuk kebudayaan, yaitu :

1. Faktor kitaran Geografis,
2. Faktor Induk Bangsa.
3. Faktor kontak antara bangsa-bangsa (“penetration Pasifique“).

Kebudayaan Orang Gayo

Karena hampir keseluruhan dari hasil cipta rasa karsa manusia itu disebut kebudayaan, maka B. Malinowski menggolongkan kebudayaan tersebut dalam 7 unsur yang bersifat universal, artinya ketujuh unsur ditemukan disemua kebudayaan di dunia, baik yang hidup dalam masyarakat pedesaan, perkotaan, terpencil, tertinggal, modern, kelompok kecil, sederhana maupun besar.  Ketujuh unsur tersebut adalah :

1. Sistem tehnologi dan peralatan.
2. Sistem mata pencaharian hidup.
3. Sistem organisasi kemasyarakatan.
4. Sistem pengetahuan
5. Sistem religi
6. Bahasa.
7. Kesenian

Teori-teori kebudayaan diatas merupakan pisau analisis untuk memahami kebudayaan orang Gayo, agar kita tidak emosional dalam melihat, menulis dan menyatakan sikap tentang nilai-nilai budaya orang Gayo dan tidak pula berdasarkan selera kita, atau setidak-tidaknya kita tidak latah untuk mengakui atau menolak nilai-nilai budaya Gayo yang ditinggalkan orang Gayo sebelum Belanda menjajah tanoh Gayo.

Dengan mempergunakan teori B. Malinowski 7 unsur kebudayaan yang bersifat universal dan didukung faktor-faktor yang mempengaruhi manusia membentuk kebudayaan, khusus faktor kitaran geografis,  kita coba melihat bagaimana orang Gayo menciptakan kebudayaannya :

1. Sistem tehnologi dan peralatan hidup orang Gayo.  Karena orang Gayo memilih hidup di hutan dan pegunungan maka tehnologinya sangat sederhana dengan mempergunakan bahan-bahan dari apa yang ada di hutan seperti Kayu, daun-daunan, kulit dan bagian yang tajam dari hewan dll. Contoh rumah orang Gayo terbuat dari bahan kayu dan dipastikan tidak ada besi seperti paku, dan agar aman dari gangguan binatang buas rumah dibuat tinggi dengan atap melebar serta luas untuk menampung keluarga nuklirnya.

2. Sistem Mata Pencaharian hidup orang Gayo, kehidupan masyarakat di hutan atau pegunungan dipaksa untuk mengolah tanah sebagai sumber mata pencahariannya, seperti mengolah tanah untuk menanam padi, berkebun, dan berburu hewan untuk lauknya disamping menangkap ikan di danau, sungai dan parit, oleh sebab itu di Gayo banyak jenis peralatan yang diciptakan untuk membantu kegiatan tersebut.

3. Sistem Organisasi kemasyarakatan orang Gayo, kodrat manusia selalu hidup berkelompok, diawali dengan suatu keluarga nuklir/inti, terdiri dari Bapak, Ibu dan anak-anak, keluarga inti bersatu dengan keluarga inti lainnya dan lambat laun menjadi keluarga besar disebut clan/blah,  kehidupan mereka semakin konplek dan beranekaragam perilaku yang dapat menganggu ketertiban dan keamanan, oleh sebab itu mereka mengatur norma-norma kemasyarakat dalam kehidupan bersama tersebut, saya tidak tahu persis bagaimana mereka mengaturnya pada masa lalu, yang dapat kita baca dokumen 45 Pasal Hukum Raja Lingga dan sistem pemerintahan “Sarak Opat“, suatu bentuk pemerintahan bersama yang terdiri dari 4 unsur, unsur Ke-1, Reje = Raja, ada kemungkinan sejak awal kedatangan orang Gayo ke pedalaman Gayo adalah kumpulan pelarian dari Indocina yang dipimpin oleh seorang Raja, karena istilah Reje ini sudah disebut sejak orang Gayo melek terhadap pemerintahan di Gayo, termasuk dalam pantun dan melengkan, oleh karenanya kepemimpinan di Linge berdasarkan turunan, terakhir Raja Asa yang meninggal diseputar tahun 63. Unsur Ke-2. Petue = orang-orang tua yang berpengaruh atau disegani baik karena keahliannya dibidang adat, meramal, memiliki pengetahuan yang luas, mereka dijadikan nara sumber oleh Raja dalam mengambil keputusan terhadap hal-hal yang menyangkut kewibawaan kerajaan, ketertiban masyarakat, dan tempat rakyat bertanya bila ada masalah yang dihadapi, sekarang mungkin dinamakan Staf Ahli. Unsur ke-3 Tengku muperlu sunet, sekarang istilahnya  Imem muperlu sunet = imam dalam pemahaman Islam, yaitu seseorang yang dianggap memahami ajaran Islam, dan dijadikan panutan keagamaan serta untuk imam shalat, unsur ke-4. Rakyat Genap mupakat ; maksudnya ada beberapa orang yang dianggap dapat mewakili kelompoknya atau keluarga besar yang dapat dikumpulkan sesaat (tidak melembaga), dalam bentuk pemerintahan raja-raja kecil adakalanya raja memerlukan pertimbangan rakyatnya, maka rakyat berkumpul untuk memecahkan masalah dengan menyepakati apa yang diusulkan oleh rakyat atau raja, termasuk dalam hal menentukan naik tahtanya raja untuk menggantikan raja yang meninggal, (istilah sekarang Lembaga Musyawarah seperti MPR/DPRD, atau LKMD ).

4. Bahasa, bahasa secara universal adalah alat berkomunikasi dan dapat difahami oleh yang berkomunikasi, oleh sebab itu dalam tulisan ini yang kita bahas  adalah vokal, karena orang Gayo tinggal di hutan maka eksen dan vakalnya cenderung lembut dan pelan, apabila mereka berteriak atau vokalnya keras maka suaranya akan bergema/bergaung. Sampai saat ini belum ditemukan adanya tanda-tanda awal apakah ada aksara Gayo, seperti aksara Batak dan Jawa, hal ini penting karena orang gayo kaya dengan sinonim kata. Dalam tulisan ini penulis hanya mencoba mengangkat suatu analisa sementara yaitu orang gayo mempunyai ejaan khas dalam vokal/eksen, khusus mengucapkan E = Embah dan E = Eceran, untuk E = Embah ditulis EU seperti tulisan Bireun = biren, Takengeun = Takengen, Peudada = Pedede, Bereunun = berenun,  Selimeum = Silemem. Keude Ulim = Kede ulim.

5. Sistem Pengetahuan. Jika pengetahuan diartikan segala sesuatu yang diketahui dan dijadikan milik diri sendiri dan dapat diteruskan kepada generasi berikutnya, maka pengetahuan orang gayo cukup tinggi, hal ini terlihat dari fungsi Kejurun dalam menentukan kapan waktu bersawah dimulai, melakukan penyidikan terhadap calon menantu dengan istilah “ Beramal tidur mimpi jege”, artinya mereka sudah memahami pengaruh genetik dalam kehidupan manusia. Membuat ceritera terhadap gejala alam, ceritera tersebut mengandung peringatan agar tidak melanggar hukum perkawinan adatnya, seperti : Atu Belah, Inen Mayak pukes, Puteri Ijo, Puteri Bensu,   mereka juga mampu melakukan jual beli secara barter dengan daerah lain ( pesisir Aceh Timur, Utara, Barat ), mereka sudah dapat menangkap ikan tanpa kail dan umpan, termasuk membuat rumah, keben (tempat menyimpan beras), cara menumbuk padi ; ada jingki, roda, lesung & alu, mengambil air dengan bahan dari tanah (gerabah), mengolah kulit kayu untuk jangkat (tali rami yang dijalin), itu semua membuktikan tingginya pengetahuan orang Gayo.

6. Religi/magi. Islam masuk ke Nusantara melalui Aceh, akan tetapi agama Islam masuk ke Gayo memerlukan waktu oleh karena orang Gayo menganut animisme dan agama Budha, hal ini dapat dilihat dari jejak-jejak kerangka yang ditemukan di Ujung Karang dan Mendale yang berdasarkan uji carbon berusia 7400 tahun yang lalu, jauh sebelum islam masuk ke Aceh, orang Belanda sempat memoto kuburan dari kayu yang digantung ditengah bangunan kayu beratap rumbia, berarti orang Gayo juga mengenal scond Graf atau kuburan kedua, dimana sebelum jenazah dikuburkan terlebih dahulu diletakan diatas kayu yang digantung dan diberi atap, hampir sama dengan masyarakat Toraja dan Bali yang penganut animisme dan hindu dalam upacara ngaben. Orang Gayo juga masih mempercayai adanya kekuatan-kekuatan supernatural diluar ajaran ke-Tuhanan dengan cara memaksa sang kekuatan untuk melakukan keinginan si pribadi baik untuk membinasakan maupun menyembuhkan, melalui perantara seperti : bunga dan jarum pancawarna, jeruk purut, kain putih, pisau belati, kemenyan, dsb.

7. Kesenian, pengaruh alam yang sangat dominan dalam membentuk kebudayaan manusia, sampai tahun 1970 didataran tinggi Gayo hanya beberapa jam saja terlihat matahari, sisanya selalu ditutupi awan, curah hujan yang cukup tinggi, hutanya lebat berisi pohon kayu yang rindang dan besar, hawanya dingin, inilah faktor yang menyebabkan orang gayo menjadi manusia yang artistik, artinya peka dengan hal-hal yang bersifat indah, merdu, lembut, maka tidak aneh jika dalam hal berkesenian orang gayo rata-rata ahli dalam menciptakan dan mengalunkan syair-syair bersifat pujian akan keindahan alam dan kekuasaan sang Pencipta serta hal-hal mengenai cinta/romantis, demikian juga suara dari alat-alat musiknya yang mampu menyentak perasaan orang lain, ukiran-ukirannya mencerminkan kemampuan orang Gayo dalam merekam peristiwa alam dengan mengukirnya di atas  tanah, kayu maupun kain, demikian juga dalam seni gerak yang melambangkan gerak-gerak gagah tapi lembut dan bersahaja, dalam hal cerita rakyat atau legenda, orang Gayo membuat ceritera yang disampaikan secara turun temurun (dari kakek ke cucu) secara folklor lisan.

Jati Diri Orang Gayo
(yang dapat dijadikan bahan pembelajaran penguatan karakter siswa)

Dalam abad globalisasi saat ini, populasi orang Gayo  semakin kecil (+ 40 %), hal ini disebabkan oleh :

1. Pengaruh Penetration Pasifique yang terjadi sejak Belanda mulai mengirim transmigrasi untuk perkebunan kopi, teh dan penderes getah pinus, sampai transmigrasi di era Orde Baru.
2. Sistem perkawinan jujur/juwelen yang diperlakukan secara ketat oleh orang Gayo, menyebabkan tingkat pertumbuhan penduduk jadi rendah.
3. Etos menyekolahkan anak ke jenjang perguruan tinggi cukup tinggi, menyebabkan lulusan SLA berpindah ke ibu kota Provinsi, dan sebagian besar menikah dengan suku lain.
4. Sifat orang Gayo sebagai petani menyerap sifat tanah, yaitu menerima cepat perubahan-perubahan tanpa menyadari bahwa perubahan tersebut merugikan nilai budayanya.

Berdasarkan hal tersebut dapat dipastikan pemakai kebudayaan Gayo  semakin berkurang, akibatnya kepunahan ethnis tidak dapat dicegah, namun punahnya sebagian nilai budaya Gayo masih dapat ditunda apabila Pemerintah Daerah, budayawan, masyarakatnya mau melakukan peresapan budaya Gayo kepada kelompok ethnis yang akar budayanya sama, sama-sama petani, seperti orang jawa, jika hal ini terjadi maka dikemudian hari muncul di Aceh Tengah orang Gayo berdarah jawa, artinya turunan Jawa berbudaya Gayo.

Pertanyaannya budaya mana yang diwariskan ?,  hanya ada dua, yaitu :

1. Budaya SUMANG, Sumang (bahasa Gayo) termasuk kata untuk menyatakan pantang atau tabu dalam interaksi sosial antara orang tua dengan anak dan mantu, atau yang lebih tua dengan yang muda, yaitu :

Sumang Penengonen     : tabu dalam cara penglihatan
Sumang pecerakan         : tabu dalam cara pembicaraan
Sumang Pelangkahen     : tabu dalam cara berjalan
Sumang penunulen         : tabu dalam cara duduk

2. Beramal Tidur, mimpi jege. Berpikir dibawa tidur, bermimpi dibawa jaga (falsafah dalam melihat calon menantu), maksud sebelum pinangan di terima pihak keluarga melihat kualitas calon, keturunannya, apakah ada kaitan darah satu blah/clan, sifat bawaan jasmani dan rohani, agamanya,  hampir sama dengan budaya Jawa dengan istilah  Bibit, Bebet, Bobot, (sebenarnya mereka membaca pengaruh genetik).

Pewarisan jati diri ini sebaiknya melalui Qanun Daerah, selanjutnya dibuat bukunya untuk Mulok di sekolah-sekolah dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat Aceh Tengah, penetrapan budaya lokal terhadap penduduk lainnya  dibenarkan oleh UUD 1945 pasal 32 (1), “ Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradapan dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”.

Jadi tidak salah jika Pemerintah Daerah melakukan pembilahan dari keragaman budaya Gayo yang dapat dipertahankan dengan cara peresapan secara pelahan tanpa menimbulkan reaksi dari suku pendatang.

***

Catatan untuk Peserta

ACEH adalah hanya suatu nama yang disebut oleh orang diluar Aceh, atau menurut Denys Lamrad dalam bukunya Kerajaan Aceh, terjemahan Winarsih Arifin Penerbit Kepustakaan populer Gramedia Jakarta 2006, mengutip dari beberapa sumber sebutan oleh bangsa-bangsa yang pernah datang ke Aceh, misal dari sejarah dinasti Ming menulis bagian yang panjang tentang keadaan di “ Ya-qi “ menyebut Aceh. Lamrad lebih jauh menjelaskan dalam abad ke-19 terbit beberapa artikel dalam karangan “ Bibliothique Malaye (JA Pebruari 1832 hal. 111) Ejacquet mencatat sebagai no. 19 sebuah “ Sejarah Raja-Raja Atjin (maksudnya Aceh).  Masih dalam buku Lamrad mengutip ceritera Tome Pires orang Portugal yg pertama masuk ke Aceh “ … Achey adalah negeri pertama yang dipantai Pulau Sumatera ….., saya hanya mengutip kata tentang Aceh yang disebut oleh orang luar Aceh, sedangkan penduduknya disebut oleh lamrad juga kutipan dari para pendatang ke Aceh, tidak terlepas dari turunan percampuran Arab, Parsi, Turki, Pedir, Benggali,  india dari Kalinga (keling).

Dalam ejaan Indonesia di sebut ATJEH (singkatan dari Arab, Tjina, Eropah, Hindia) berubah ejaan maka berubah pula Atjeh menjadi ACEH yang diartikan A = Arab, C = Cina, E= Eropah, H= Hindia, menurut kajian akademis di dunia ada 4 Ras, yaitu ; Ras Australoid, Mongoloid, Negroid, Caucasoid. Dan berdasarkan beberapa Ras yang disebut tadi maka Ras yang ada di Aceh adalah Ras Mongoloid sub klas Melayu tua dan Melayu muda dan yang masuk sebagai penyiar agama Islam dari Ras Caucasoid.

Aceh sama dengan Indonesia hanya suatu nama yang didalamnya hidup beberapa ethnis, siapa yang disebut suku Aceh ?, tidak satupun yang mengakuinya, Aceh Pidie merobah Kabupaten Aceh Pidie menjadi Kabupaten Pidie tanpa Aceh. Oleh sebab itu jika kita ingin mempertahankan Aceh dan mengangkat Martabat Aceh jangan pernah berpikir untuk menyeragamkan Budaya Aceh dengan budaya salah satu ethnis yang ada di Aceh. Keragaman suku/ethnis dan budaya di Aceh itulah yang dinamakan Kebudayaan Aceh.

(Takengon, 26 April 2012)

***

Literatur

  1. Fisher, H, TH, Dr. Pengantar Anthropologi, P.T. Pembangunan.
  2. Howel Clark, F. Manusia Purba, Pustaka Alam Life.
  3. Harsoyo, Prof, Pengantar Anthropologi, Bina Cipta.
  4. Koentjaraningrat, Dr. Prof, Pengantar Ilmu Anthropologi Budaya, Djembatan Jakarta.
  5. ———————,  Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Djembatan Jakarta.
  6. Denys Lamrad, Kerajaan Aceh, terjemahan Winarsih Arifin, Kepustakaan populer Gramedia Jakarta, 2006.
  7. Muchlis Gayo, SH. Ilmu Budaya Dasar , Untag Pers 1985 .
  8. ———————, Anthropologi Budaya,  ( suatu pengantar memasuki Anthropologi Hukum). Pustaka Warga negara, 1987.
  9. Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan Kebudayaan Cetakan ke 3 tahun 1990 penerbit Balai pustaka Jakarta

***

*Riwayat Hidup Singkat Penulis

Muchlis Gayo, SH lahir di Takengon, 30 Mei 1954 menempuh pendidikan dari SD s.d SMA di Takengon. Melanjutkan S1. Ilmu Hukum di Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta Jurusan HTN.

Pengalaman pekerjaan antara lain :

1. Pegawai Sekretariat Negara RI, Unit BINA GRAHA/SETDALOPBANG 1981 s.d 2009.
2. Staf Ahli Bidang Hukum tahun 2008 – 2009.
3. Kepala Dinas pariwisata Pemuda dan Olahraga Aceh Tengah, 2009 s.d sekarang.
4. Ketua dan Pendiri yayasan Pendidikan 17 Agustus 1001 Takengon, 1995
5. Dosen Anthropologi Budaya/Hukum, IBD, Pancasila UNTAG Jakarta 1981 s.d 2006. Pangkat Akademik Lektor.
6. Dosen Pancasila dan ISBD UGP Takengon, 2006 s.d sekarang.
7. Pendiri Sanggar Buntul kubu dan Sanggar Mentari Jakarta.
8. Lain-lainnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.