(Refleksi Hari Pendidikan Nasional 2012)
Oleh Johansyah*
PEMERATAAN pendidikan adalah pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Dalam kurun waktu yang lama aspek ini telah menjadi sorotan hingga era ini, terutama pada negara berkembang seperti Indonesia. Tuntutan pemerataan pendidikan ini bertambah kuat ketika kesadaran pendidikan semakin tumbuh berkembang pesat dalam lingkup sosial masyarakat dunia karena dianggap menjadi kebutuhan pokok dan gerbang dalam menata masa depan.
Impian pemerataan pendidikan pun semakin mengembang ketika demokratisasi pendidikan mulai digemakan hingga muncul ungkapan education for all (pendidikan untuk semua). Tak pelak, ungkapan ini menjadi rujukan utama kita ketika melihat kenyataan banyaknya anak Indonesia yang putus sekolah, padahal Undang-Undang Dasar (UUD), Pasal 31, ayat 1, telah secara tegas menyatakan bahwa ‘setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan’.
Berdasarkan keterangan Raihan Iskandar, Anggota DPR RI Komisi X di harian Kompas (02/05), terdapat 10,268 juta siswa usia wajib belajar (SD dan SMP) yang tidak menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Di sisi lain, masih ada sekitar 3,8 juta siswa yang tidak dapat melanjutkan ke tingkat SMA. Ini belum lagi mereka yang tidak mampu melanjutkan pendidikan ke pendidikan tinggi.
Alasan ketidakmampuan melanjutkan pendidikan, secara umum dipicu oleh kondisi keluarga yang miskin dan hidup pas-pasan sehingga tidak mampu membiayai anak-anaknya untuk sekolah. Tidak dipungkiri, pendidikan saat ini terkesan mahal sehingga ruang dan kesempatan untuk orang miskin sangat kecil. Setidaknya permasalahan ini juga digambarkan dalam sebuah buku yang bertajuk “orang miskin dilarang sekolah” yang ditulis oleh Eko Prasetyo.
Pemerintah boleh berbangga dengan program Rintisan Sekolah Bertarap Internasional (RSBI), Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), Rintisan Sekolah Bertaraf Nasional (RSBN), dan Sekolah Bertaraf Nasional (SBN), karena melalui lembaga yang terkesan mewah dan mahal ini, negara berhasil mencetak generasi bangsa yang mampu bersaing di level internasional. Namun perlu dipikirkan, bagaimana dengan mereka yang tidak bisa sekolah dan melanjutkan pendidikan karena kendala biaya?. Penulis yakin, bahwa banyak di antara anak yang putus sekolah memiliki potensi besar sebagaimana mereka yang memperoleh kesempatan di RSBI tadi, namun mereka tidak memiliki kemampuan materi untuk mewujudkan harapan itu.
Patut dijadikan renungan, bahwa pada tahun 2012, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia mengalokasikan dana pendidikan sebesar 286 Triliun. Dana yang besar ini sejatinya dialokasikan sebagiannya untuk anak yang putus sekolah. Dan untuk memaksimalkan penanganan anak yang putus sekolah, mungkin lebih efektif bagi kementerian dan Kebudayaan (kemdikbud) untuk membentuk tim khusus penanganan anak yang putus sekolah.
Apapun ceritanya, wajah pendidikan Indunesia saat ini berwujud kapitalisme. Adanya kastanisasi lembaga pendidikan dalam melayani anak-anak bangsa yang ingin melanjutkan pendidikan; bahwa pendidikan kita lebih membuka ruang bagi mereka yang mampu. Ada seribu alasan pemerintah untuk membantah hal ini. namun ada ribuan realitas yang menjadi totonan kita, bagaimana anak-anak orang miskin yang putus sekolah. Atau dia sekolah, tetapi hanya di sekolah yang fasilitasnya sangat minim.
Tanggung Jawap Pemerintah
Ada dua aspek menyangkut pemerataan pendidikan yaitu equality dan equity. Equality adalah persamaan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, dan equity adalah keadilan dalam memperoleh kesempatan pendidikan yang sama di antara berbagai kelompok dalam masyarakat. Akses terhadap pendidikan yang merata berarti semua penduduk usia sekolah telah memperoleh kesempatan pendidikan, sementara itu akses terhadap pendidikan telah adil bilamana antar kelompok bisa menikmati pendidikan secara sama.
Hal inilah yang tampaknya belum dinikmati oleh anak-anak Indonesia, terutama mereka yang dari golongan ekonomi lemah. Ini sejatinya menjadi bahan renungan pada hari ini (Rabu) tanggal 2 Mai, yang merupakan hari pendidikan. Pemerataan pendidikan jelas menjadi tanggung jawab pemerintah dan sejatinya menjadi evaluasi pokok kemdikbud hari ini. Menekan angka putus sekolah hingga nol persen rasanya mustahil, namun pemerintah memiliki peluang besar untuk menguranginya dengan membuat perencanaan strategis implementatif melalui kemdikbud.
Kini Indonesia telah menikmati kemerdekaan selama 67 tahun. Ibarat umur seseorang, usia ini sudah cukup matang bagi seseorang menata diri, keluarga dan masa depannya. Namun problema pendidikan kita, terlihat semakin rumit dan menyesakkan dada. Memang, sebagaimana dikatakan Mendiknas Muhammad Nuh, bahwa persoalan pendidikan tidak akan pernah selesain, namun yang jelas pemerintah bertanggung jawab atas persoalan ini. Untuk itu, wajar saja jika kita berharap agar persoalan ini secara serius ditangani sehingga tidak bertambah rumit.
Kritik Kultural, Menatap Solusi
Penulis menyadari bahwa masalah anak putus sekolah bukanlah sekedar tanggung jawab pemerintah. Lebih dari itu, secara kultural masyarakat memiliki tanggung jawab yang sama. Walaupun demikian, pemerintah sebagai administrator dalam tata kelola negara, memiliki kewenangan dalam menata kebijakan pendidikan yang pro rakyat miskin.
Ada penyakit sosial yang berkembang dalam masyarakat kita, dan ini berimplikasi pada banyaknya anak putus sekolah. Penyakit sosial tersebut adalah rendahnya motivasi orang tua dalam menata perekonomian yang mapan. Padahal, Indonesia merupakan wilayah subur yang sangat mudah di kelola. Artinya jika kita mau, maka peluang untuk menata perekonomian sangat besar melalui pemberdayaan Sumber Daya Alam (SDA) yang sangat memadai. Yang jelas, semangat kerja masyarakat kita masih sangat rendah.
Dengan kata lain, peningkatan taraf ekonomi keluarga menjadi satu-satunya solusi dalam mengatasi anak putus sekolah. Dan hal ini harus diwujudkan melalui keseriusan dan kesungguhan keluarga dalam mengembangkan aneka usaha yang dapat mendatangkan keuntungan untuk selanjutnya dikelola dengan baik. Patut direnungkan, bahwa bagaimana pun banyaknya anggaran pendidikan, toh keluargalah yang memiliki peran utama dalam menyekolahkan anaknya.
Akhirnya, kita berharap pemerintah betul-betul memperhatikan masalah pemerataan pendidikan dengan membuat kebijakan-kebijakan yang memihak pada rakyat kecil. Di sisi lain, masyarakat kita harapkan memiliki semangat yang tinggi untuk menata perekonomian keluarga yang mapan sehingga impian anak untuk memperoleh pendidikan dapat terwujud.
*Penulis adalah Mahasiswa PPs IAIN Ar-Raniry Banda Aceh