Gayo History Expedition (1) : Mencari Mariam, si Nyonya Belanda


HARI ITU, panas mentari sangat menyengat.  Tanpa ada janji, suara handpone ku berbunyi. Diseberang telponku, terdengar suara seorang temanku dan berkata  “kam sibuk ke?, ku Kutecane kite. Jem due ni kite berangkat, ‘nggeh kumah nye ta,“(Anda sedang sibuk? Kita ke Kutecane, jam dua nanti kita berangkat, saya tunggu di rumah), kata seorang temanku yang menginginkan saya juga ikut dan terlibat dalam “event idealis” yang telah ia rencanakan sejak lama.Kebetulan tidak ada kegiatan apapun pada Sabtu pekan lalu, saat aku diajak serta. Tak sempat menayakan maksud kepergian ke Kutecane, teman saya terlebih dahulu mematikan handphonenya.

Aku bergegas dan mempersiapkan perbekalan berupa baju, kamera dan laptop. Jam di dinding menunjukan pukul 13.50 WIB. Dengan rendah hati aku meminta bantuan Ayahku untuk mengantarkan ke  Kampung Asir-Asir Atas.

Tiga orang teman lainnya sudah menunggu disana. Group “event idealis” yang beranggotakan empat orang (saya, Salman Yoga, Pak Arifin dan Win Ariga) mengucap do’a Bismillahi tawakaltu ‘alallah sebagai bertanda perjalanan ekspedisi siap dimulai.

Kendaraan roda empat rakitan Tahun 1993 milik Pak Arifin yang kami tumpangi mengarah ke peraduan matahari. Ada pemandangan ”tak biasa” di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) Tansaril. Tak ada anterean kendaraan yang kerap mengular  mencapai satu kilometer.

Siang itu, di pompa bensin Tansaril, dalam plang besi berukuran sekitar satu meter tertulis “BENSIN SEDANG DIPERJALANAN ”. Apa daya, tak ada pilihan lain  kecuali mengisi bahan bakar di  galon eceran bensin di  jalan lintas  Takengon – Gayo Lues.

Harga bensin eceran dipatok dengan harga Rp 7000 ribu perliter. Jauh lebih tinggi dari harga SPBU resmi yang hanya Rp 4.500. Situasi ini jelas merugikan masyarakat dan harus merogoh kocek lebih dalam lagi.

Selama perjalanan mata kami disejukan dengan pemadangan alam. Lagit berwarna biru cerah siang itu. Hamparan pinus berdiri tegak dipermukaan gunung, pucuknya menggapai langit dan perbukitan sepanjang jalan. Bagian kiri jalan dihiasi air sungai yang mengalir dan melewati kampung Isaq dan Owaq.

Sekitar 200 meter melewati jembatan kampung Owaq tampak sebuah plang besi proyek raksasa berbentuk gapura. Bangunan gapura megah itu bertulisan “SELAMAT DATANG DI KTM KETAPANG NUSANTARA”. Mega Proyek yang menyedot puluhan miliar Anggaran APBK Tahun 2005 hingga 2012 diduga banyak masalah.

Seyogyanya gapura tersebut dipajang di persimpangan jalan menuju Linge dengan tulisan “SELAMAT DATANG DI KAMPUNG ASAL”, sebagaimana keyakinan masyarakat Gayo dan tak asing ditelinga kita bahwa Linge adalah salah satu kampung asal Tanoh Gayo. Kampung Linge patut dijadikan kawasan terpandang.

Saya menanyakan kepada Salman tujuan dan maksud perjalanan ke Kutecane.”Kita kesana melakukan ekspidisi Sejarah, menemui seseorang”, kata Salman. “Siapa orang itu”, tanyaku. “Ia adalah orang Belanda, terang Salman singkat.

Menurut Salman, banyak versi tentang Gayo hingga kini belum didapati rujukan lengkap terhadap sejarah  Urang Gayo. “Kita prihatin, ekspidisi ini sebagai bentuk kepedulian sekaligus ikhtiar. Mencari referensi pendukung agar sejarah kita tidak simpang siur, supaya anak cucu kita tahu dari mana kita dan siapa kita, begitu kiranya”. Inilah alasan dan agenda pertama ekspedisi ini.

Butuh waktu sekitar delapan jam untuk mencapai kampung Etam, Kecamatan Ketambe Kabupaten Aceh Tenggara. Berjarak berkisar 250 kilometer dari ibu kota Aceh Tengah. Lokasinya tak jauh dari perbatasan kabupaten Gayo Lues dengan kabupaten Aceh Tenggara di  bagian sebelah selatan.

Malam itu sekitar pukul 11.00 WIB kami tiba di pemondokan wisata Ketambe. Tepat di kampung Etam pondok wisata Ketambe inilah sosok orang Belanda, yang Salman maksud, tinggal. Sekitar 50 meter dari jalan Kabupaten masuk kedalam pemondokan. Rimbun, gelap dan  terkesan memasuki hutan, hanya sedikit berkas cahaya yang memantul dari lampu neon putih ke dedaunan hijau.

Pak Arifin (50) mengaku bahwa beliau mengenal sosok orang Belanda itu dan sejak dua tahun silam. Namun sayang, beliau kehilangan nomor telpon selulernya dan  sedikit ragu apakah dia masih ada atau tidak.

Pak Arifin memarkirkan mobil, kami melangkah dengan setengah berbaris menuju sebuah rumah mungil yang keseluruhannya terbuat dari kayu.

Tok..! Tok..! Tok..!

“AsSalamu’alaikum..!,” Pak Arifin mengambil inisiatif. Kami berpikir keras, kenapa Pak Arifin mengucap salam sedemikian fasih, apakah sosok orang Belanda si pemilik rumah juga muslim? Belum tuntas analisa pikir itu tiba-tiba terdengar suara berat dengan action berbeda dari dalam rumah menjawab salam.

“Wa’alaikumsalam
!”

“Siapa
?”

Muncul seorang ibu paruh baya di depan pintu. Tingginya sekitar 175 cm, wajahnya  oval, hidungnya mancung, rahangnya kecil, lehernya jenjang, rambut cokelat yang terikat, kulit putih dengan bagian pipinya sudah berkerut. Pak Arifin lega dan bersyukur, karena sosok di hadapannya adalah orang yang selama ini ia ceritakan kepada Salman. Dengan rasa santun, ramah dan penuh persahabatan kami pun dipersilahkan masuk diruangan mungil ukuran 5×7 meter.

Disisi ruang tamu berjejer puluhan koleksi buku, dalam rak yang melekat pada dinding rumah. Bu Mariam menyambut kami ”Halo, Apa kabar?”, katanya dengan nada riang sambil tersenyum lebar. Berpakaian daster abu-abu, perempuan ini masih menampakkan sisa-sisa kecantikannya sebagai “Orang Barat”. Mariam- begitu sapaannya, mempersilahkan kami duduk di tikar yang berjejer melingkar dekat meja bambu dan kursi rotan dan sebuah telivisi berwarna di belakang kami.

”Kalian mau minum kopi, di sini ada kopi Gayo lho?” Bu Mariam tau betul selera kami, pikirku.”Silahkan-silahkan diminum”, ujarnya ramah.

Ya, dia masih Mariam yang dulu. Semangat dan tutur kata bahasa Indonesia-nya tertata. Matanya yang biru kerap terbuka lebar. Usianya sekitar 60 tahun. Perempuan kelahiran Belanda ini sudah menetap di Kutecane selama 14 tahun.  Jelas pak Arifin pada kami.

Pak Arifin memperkenalkan saya, Salman dan Miga sekaligus mengutarakan maksud dan tujuan kami. Percakapan di mulai.

“Saya Maharadi, dari Media Online Lintas Gayo”, kata ku memperkenalkan diri. Senyumnya mengembang dari wajah yang sudah berkerut itu. Tampaknya ia begitu antusias dengan kedatangan kami.

Setelah ramah-tamah, ngopi dan ngobrol tentang berbagai hal, misi utamapun dijalankan. Pimpinan rombongan yang juga direktur The Gayo Institute (TGI) mulai angkat bicara.

“Jadi begini Bu Mariam, kehadiran Belanda pada zaman kolonial ke Nusantara dan ke Aceh serta Gayo pada khususnya, tentu ada yang telah menulis tentang berbagai hal menyangkut Aceh dan Gayo. Baik itu berupa catatan perjalanan, catatan militer maupun lainnya yang sempat didokumentasikan”.

Kami telah mengoleksi dan membaca karya-karya Christian Snouck Hurgronje, John R. Bowen, JJ. Kempes, Zegraaf, Dominyk Aides, Denis Lombard dan beberapa penulis lainnya tentang Gayo. Nah, selain nama-nama tadi, apakah ada penulis Belanda lainnya yang menulis tentang Gayo yang Bu Mariam ketahui. Kata Salman memulai mengarah pada misi ekspedisi.

“Sementara tradisi di Gayo, pengabadian dan transfer sejarah hanya melalaui tradisi lisan”. Salman memberi perbandingan.

“Ya, karena tidak dituliskan, ya kan,” sambung Mariam dengan dengan logat Belanda-nya. “Kami berkeyakinan masih ada buku-buku lain tentang sejarah Gayo di Belanda.”

“Ya,  tentu masih ada itu, di Perpustakaan Leiden di Belanda, saya bisa coba, melalui Fredryk, mendalaminya, dia bisa cari, kalaupun ada alamat bisa kirim. Kalau pun bahasa Belanda, ya aku bisa baca dan bisa bantu translate nanti”. Kata Bu Mariam dengan optimis bisa membantu kami.(Maharadi)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.