Ini Konsep Promosi Wisata Aceh Tengah Menurut Win Wan Nur

Oleh : Win Wan Nur*

SEPERTI yang saya tulis di artikel sebelumnya. Pariwisata, seperti produk industri apapun, dasarnya adalah mengelola harapan kepuasan konsumen atas uang yang akan (telah) mereka keluarkan.

Jadi kalau kita ingin mempromosikan sebuah atau beberapa produk wisata. Mau tidak mau, suka atau tidak suka kita harus mengacu pada fakta di atas.  Tidak bisa mengacu pada selera pribadi kita.

Memang membangun pariwisata tanpa perhitungan yang matang, kadang bisa berhasil juga. Tapi juga sangat besar kemungkinan gagalnya. Apalagi kalau dari awal konsepnya sudah salah, akan hancur lebur jadinya.

Contoh pengembangan pariwisata tanpa perhitungan matang dan berakhir dengan muram, bisa kita saksikan dengan jelas di Takengen.

Ketika saya masih kecil, sekitar tahun  1983. Ujung Baro, yang letaknya tidak jauh dari tempat tinggal saya adalah tempat wisata tradisional, tempat muda mudi biasa pacaran. Tempat yang berbentuk tanjung yang menjorok ke danau itu memang sangat indah, selain pemandangan danau yang bening, dari tempat itu juga bisa dilihat gunung Burni Birah Panyang yang penampilannya seperti gunung-gunung di daratan eropa.

Suatu waktu, seorang pejabat dari Jakarta yang tidak memiliki latar belakang bisnis, tapi banyak uangnya, terkagum-kagum dengan keindahan yang dia saksikan, melihat potensi itu dan berpikir untuk membangun hotel megah di sana.

Lalu dia pun membangun sebuah hotel di sana. Hotel yang dinamakan Renggali (nama bunga khas Gayo) itu dibangun luar biasa indah, fasilitasnya hebat, waktu kecil karena memang dekat dengan rumah, saya sering ke sana dan takjub merasakan empuknya karpet mesjidnya, restorannya mantap betul.

Ketika hotel itu jadi, segera hotel itu menjadi fenomena. Pemandangan dari hotel ini, menjadi ciri khas Aceh Tengah, seperti Menara Eiffel yang menjadi ciri kota Paris. Ibu saya yang hobi berkebun bunga, ikut kecipratan rezeki, karena bunga yang ditanam ibu saya untuk sekedar hobi, sekarang bisa menghasilkan uang yang lumayan karena staf hotel membelinya setiap pagi untuk dijadikan dekorasi di hotel ini.

Orang berbondong-bondong datang ke sana. Tapi kebanyakan cuma untuk foto-foto, bukan untuk menginap.

Alhasil, karena kekurangan tamu yang menginap, perlahan tapi pasti hotel itu mulai kesulitan untuk sekedar beroperasi, ibu saya sudah semakin jarang mendapat permintaan bunga. Bahkan makin hari, hotel itu semakin tidak kesulitan untuk sekedar bisa membiayai perawatannya sendiri. Lama kelamaan beberapa kamar jadi rumah hantu dan taman yang indah sekarang mulai terlihat berantakan karena kurang perawatan.

Kenapa ini bisa terjadi?

Itu terjadi karena sang pemilik Hotel menjadikan dirinya sendiri sebagai patokan, dia membangun hotel tanpa meminta analisa dari orang yang memang punya kapasitas dan kapabilitas dalam mengellola pariwisata. Dia membayangkan kalau dia datang ke sini tentu akan menyenangkan tinggal di hotel yang bagus, tentu orang lain juga sama. Cuma dia tidak memperhitungkan berapa banyak orang seperti dia yang mau datang khusus ke Takengen untuk menikmati keindahannya.

Tapi karena itu uang pribadinya, biarlah itu menjadi urusannya.

Beda urusannya kalau yang melakukan kebijakan ini adalah pemerintah.  Karena apapun yang dilakukan pemerintah, uang yang digunakan bukanlah uang yang didapat dari warisan bapak moyang pejabat yang berkuasa, tapi uang RAKYAT, uang KITA yang berhak kita minta pertanggung jawaban penggunaannya.

Untuk itu, karena pemerintah Aceh Tengah sekarang sedang getol menggalakkan pariwisata. Perlu kiranya bagi kita sebagai rakyat untuk mengetahui paling tidak pengetahuan paling dasar mengenai seluk beluk industri pariwisata. Agar kita bisa mengontrol kebijakan pemerintah dan mereka tidak seenaknya menghamburkan uang kita tanpa bisa dimintai pertanggung jawaban.

Karena belum terbiasa dengan industri tanpa asap ini, mungkin kita tidak (belum) familiar dengan industri pariwisata, sehingga sulit bagi kita untuk membayangkan pariwisata sebagai sebuah produk.  Jadi mungkin lebih mudah bagi kita untuk membayangkan kalau kita mengambil analogi produk yang dekat dengan keseharian kita.

Dari itu untuk memahami strategi promosi pariwisata Aceh Tengah. Mari kita bayangkan suatu usaha yang dekat dengan kita, katakanlah  kita akan memulai usaha penjualan pisang goreng dan mempromosikannya.

Untuk berani memulai usaha Pisang Goreng. Jelas sebelumnya kita sudah memperhitungkan ada pasar yang akan menjadi konsumen pisang goreng yang akan kita jual.

Ini bisa berupa perhitungan kasar berdasarkan intuisi dan reka-reka, atau bisa juga melalui perhitungan yang mendetail.

Dalam analisa dagang yang paling sederhana pun orang tidak akan mungkin menjual pisang goreng seenak apapun di puncak Burni Telong. Karena meski seenak apapun pisang goreng yang kita jual, calon pembeli yang datang ke puncak gunung itu paling hanya sebulan sekali. Jadi mempromosikan pisang goreng yang dijual di puncak Burni Telong jelas perbuatan yang sia-sia.

Jadi sebelum menjual pisang goreng apalagi mempromosikannya, jelas kita harus memastikan jualan kita tersebut dapat diakses oleh pasar.

Kalau kita ingin membuka usaha pisang goreng hanya sekedar hobi dan mengisi waktu senggang saja. Perhitungan potensi pasar berdasarkan intuisi dan reka-reka saja tentu sudah cukup untuk meyakinkan kita untuk memulai usaha ini. Toh keuntungan bukan menjadi tujuan utama kita. Kalau pun rugi, tinggal ditutup saja usahanya.

Tapi kalau kita membuka usaha itu dengan KEUNTUNGAN sebagai orientasi,  tentu kita harus lebih serius dalam memulai perhitungannya.

Untuk itu,  tentu kita harus terlebih dahulu memetakan, siapa calon konsumen kita  dan apa yang diinginkan konsumen yang akan kita sasar dari sebuah produk pisang goreng. Dari sana kemudian kita analisa kelemahan dan kekurangan kita dan siapa pesaing kita, apa kekuatan dan kelemahannya.

Untuk itu, katakanlah kita akan membuka usaha pisang goreng itu di desa Dedalu. Siapa yang akan membeli pisang goreng yang  kita jual. Yang pertama sekali kita harapkan membelinya tentu saja orang-orang yang ada di sekitar kita. Kemudian orang yang lewat melalui desa Dedalu.

Untuk pasar di sekitar kita, agar pisang kita benar laku, kita harus terlebih dulu mempelajari apakah tingkat ekonomi orang di sekitar kita tersebut cukup memadai untuk membeli pisang goreng yang bukan merupakan kebutuhan primer.

Selebihnya adalah orang yang lewat, dan yang lewat itupun bermacam-macam, ada orang yang pergi ke kebun, ada yang pergi mudoran dan ada yang memang wisatawan. Siapa yang akan kita sasar? Bagaimana daya beli mereka?

Dengan mengetahui daya beli dari calon konsumen kita ini baru kita bisa menentukan harga dari produk pisang goreng yang akan kita jual. Dan dari sana kita hitung selisihnya, layak atau tidaknya jualan pisang goreng dijadikan usaha.

Lalu, mungkin masih ada pasar potensial lain yaitu orang yang tinggal di desa sebelah, Hakim dan Bale. Untuk mereka ini, pertanyaannya, apakah bagi mereka pisang goreng kita cukup berharga untuk membuat mereka mau berkorban membeli pisang goreng sampai ke Dedalu?

Jawabannya tergantung. Tergantung dari apakah pisang goreng menjadi kebutuhan orang di Hakim dan Bale dan juga tergantung apakah kita punya pesaing penjual pisang goreng juga di Hakim dan Bale.

Kalau ada, pertanyaannya sekarang apakah rasa pisang goreng atau  pelayanan yang kita berikan sama saja dengan yang ada di Hakim atau Bale?. Kalau sama atau kita hanya menang sedikit saja. Jelas sia-sia saja kita mempromosikan pisang goreng kita kepada mereka. Paling kalaupun ada orang Bale apalagi Bale Atu yang khusus mau membeli Pisang Goreng ke Dedalu, itu adalah orang-orang yang rasa ingin tahunya berlebih, penggemar fanatik kuliner Pisang Goreng yang memang ingin membanding-bandingkan rasa satu produk pisang goreng dengan pisang goreng lainnya. Dan kelompok seperti ini, kalaupun ada biasanya jumlahnya sedikit sekali.

Tapi beda ceritanya, kalau pisang goreng yang kita jual adalah produk yang sangat istimewa (entah itu rasa produk atau suasana yang ditawarkan), bukan tidak mungkin orang Hakim dan Bale bahkan dari Bale Atu dan Kebayakan akan datang ke Dedalu.

Untuk di Takengen, kasus seperti ini bisa kita lihat pada fenomena Mie So Samalero. Karena memang sangat istimewa (untuk kelas Takengen), mau pemilik warung ini jualan di Bale, di Pasar Inpres, di Gentala bahkan sekarang di Kebayakan pun, konsumen tetap mengejarnya. Orang mau capek-capek datang dari Tan, Temung Penanti bahkan Pegasing dan Teritit khusus ke Kebayakan dengan tujuan menikmati Mie So.

Intinya, apapun dagangan yang akan kita jual, kalau ingin sukses, kita terlebih dahulu harus mampu mengukur kapasitas diri kita. Baru kita bicara pasar.

Sekarang kita masukkan ke dalam konteks pariwisata. Apa yang dipunyai Aceh Tengah?…Apa target kita dalam mengembangkan pariwisata?. Sekedar melepas hobi mengisi waktu luang, atau memang diharapkan menjadi salah satu andalan pendapatan asli daerah?

Kalau target kita seperti yang pertama, ini bukan suatu usaha yang serius dan rakyat juga tidak keberatan uangnya dihambur-hamburkan untuk usaha yang sekedar pelepas hobi dan pengisi waktu luang pejabat yang ditempatkan di dinas Pariwisata. Yang penting, pejabat dan pegawainya terlihat bekerja, bukan sekedar makan gaji buta. Ya buat saja promosi seenaknya. Setelah berhasil membangun Graffiti GAYO HIGHLAND, mungkin perlu lagi dibuat rencana pembangungan Graffiti DANAU LUT TAWAR di gunung yang lain.

Tapi kalau jawabannya adalah yang kedua, urusan ini menjadi lebih serius.

Untuk bisa menjadikan pariwisata layak sebagai sumber ekonomi penyumbang PAD yang signifikan. Pertama kali kita harus tahu dulu apa yang menjadi jualan utama kita.

Dalam industri pariwisata, sekarang pariwisata itu sudah dikategorikan menjadi banyak sekali macamnya. Ada yang disebut, Shopping Tourism, Health Tourism, Edu Tourism, Theme Park Tourism (semacam Disney atau Trans Studio), ada Spiritual Tourism dan paling umum kita kenal ECO TOURISM yang di dalamnya termasuk juga budaya.

Selain ECO TOURISM, dengan kondisi potensi wisata yang dimiliki oleh Aceh Tengah saat ini, semua jenis kelompok pariwisata di atas jelas tidak cocok untuk menjadi jualan Aceh Tengah. Jadi kalau ingin mempromosikan pariwisata Aceh Tengah, kita jelas tidak bisa keluar dari konteks ECO TOURISM.

Berangkat dari inilah kita menyusun strategi promosi yang akan dilakukan dan melakukan kampanye kepada target yang kita sasar.

Untuk itu, apa yang menjadi jualan utama kita dan pernak-pernik pendukungnya dalam konteks ECO TOURISM?

Katakanlah Danau Laut Tawar sebagai jualan utama dengan pernak-pernik pendukung seperti perkebunan kopi, perkebunan nenas, tari-tarian dan budaya lainnya.

Siapa yang tertarik pada keindahan danau ini dan merasa pengorbanan yang dikeluarkan untuk datang ke danau ini cukup pantas untuk menikmati keindahan itu?

Untuk Segmen domestik…

Pasar terdekat jelas orang Aceh Tengah sendiri yang tinggal jauh dari danau, mulai dari Pegasing, Jagong, Isak sampai ke Ise-Ise sana. Jadi idealnya, target pertama yang harus digarap untuk menjual keindahan danau tentu saja mereka. Merekalah pasar terdekat dan paling realistis untuk menikmati jualan utama kita. Tapi bagi mereka kebun kopi mungkin tidak menarik, karena mereka sendiri punya kebun kopi di rumahnya.

Kemudian lebih jauh lagi, siapa?

Penduduk Aceh yang tinggal di Bireun, Lhokseumawe. Untuk kelompok ini selain danau Laut Tawar, kebun kopi dan kebun nanas bisa merupakan sesuatu yang sangat menarik.

Terus bagi wisatawan asal Bireun dan Lhokseumawe, apa yang mereka harapkan dari berwisata di Takengen. Mereka mau mengeluarkan uang untuk apa saja?.

Dengan mengetahui apa yang mereka harapkan, baru kita bisa membuat strategi yang tepat untuk memancing kedatangan mereka dan membuat mereka mau menghabiskan uang sebanyak mungkin di Aceh Tengah.

Sigli, Langsa apalagi Banda Aceh, masih mungkin dijangkau tapi pelayanan yang kita berikan harus lebih istimewa karena mereka melakukan pengorbanan yang lebih besar dibanding orang Bireun atau Lhok Seumawe.

Lalu siapa lagi?…Medan?. Hampir mustahil, karena mereka juga memiliki Danau Toba yang malah menurut banyak orang lebih indah dan fasilitas liburannya lebih lengkap dari Danau Laut Tawar.

Tapi hampir mustahil, bukan berarti tidak bisa. Tapi untuk bisa mengundang orang Medan datang ke Takengen, Laut Tawar harus seperti Mie So Samalero, harus memiliki satu keistimewaan yang luar biasa yang tidak dimiliki oleh pesaing yang lebih mudah dijangkau oleh konsumen yaitu danau Toba.

Untuk segmen internasional, siapa konsumen potensial yang mau berkunjung ke Takengen?

Turis manca negara kelas A, jelas mustahil. Untuk turis kelas ini, tuntutan kenyamanan yang mereka inginkan sangat tinggi. Mulai dari fasilitas Hotel saja sudah tidak mungkin karena untuk bisa mengundang mereka, setidaknya harus ada  hotek bintang 4 yang menyediakan minuman keras. Belum lagi bicara perjalanan yang harus ditempuh untuk menuju Takengen dari Bandara Internasional terdekat yang memerlukan waktu setidaknya 8 jam, tanpa ada satu atraksi istimewa pun di sepanjang jalan yang dilalui.

Untuk menjangkau pasar ini, selain perlu menyiapkan infrastruktur, kita juga butuh koordinasi setidaknya dengan seluruh wilayah di Aceh yang memiliki potensi wisata yang berbeda dengan Aceh Tengah. Mustahil ada orang mau menghabiskan uang sampai ribuan Euro hanya untuk menikmati keindahan Danau Laut Tawar yang keindahannya tidak sangat superior dibandingkan danau Toba, Singkarak dan lain-lain yang bisa dia tempuh dalam satu jalur perjalanan.

Pasar ini hanya mungkin digarap kalau dari Banda Aceh sampai ke Kuta Cane ada sesuatu yang menarik untuk dikunjungi, setidaknya tiap dua atau tiga jam perjalanan kita bisa berhenti untuk mengunjungi satu lokasi atau melakukan kegiatan tertentu. Untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Sumatera Utara.

Jadi untuk pasar Manca Negara, pasar paling mungkin kita garap adalah ceruk pasar untuk turis petualang. Entah itu yang berduit atau sekelas Back Packers.

Dari pemetaan itu, baru dipelajari bagaimana karakter mereka. Apa yang mereka harapkan?

Setelah mengetahui itu semua, baru bisa dibuat satu strategi promosi untuk masing masing segmen.

Tidak seperti promosi yang analisanya berdasarkan intuisi dan reka-reka, yang tingkat keberhasilannya tidak bisa diukur. Promosi yang didukung oleh analisa mendetail seperti ini tingkat efektifitasnya bisa dinilai secara kuantitatif. Artinya, dengan promosi seperti ini kita bisa membuat target. Dengan sekian dana promosi yang dikeluarkan, akan ada sekian jumlah kunjungan wisatawan dan sekian perputaran ekonomi yang bisa kita harapkan.

Pertanyaannya sekarang, seberapa seriuskah Pemda Aceh Tengah mengembangkan industri pariwisata?

Wassalam

*Pebisnis Pariwisata

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments

  1. Ya…infrastruktur menjadi hal yang mutlak, sebagus apapun daerah itu parawisata di daerah itu tidak akan maju jika tidak ada pendukung seperti jalan yang mulus, hotel berbintang dan sebagainya. Kemudian masyarakat setempat harus lebih ‘terbuka’ untuk menerima pendatang dan memberi kebebasan bagi tamu dengan memberi batasan tertentu