Banda Aceh – Lintas Gayo – Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Ifdhal Kasim mengatakan bahwa dalam waktu dekat akan Komnas HAM akan membentuk Komite Penyelidik Pelanggaran HAM (KPP HAM) Aceh untuk menindaklanjuti berbagai laporan terjadinya pelanggaran HAM berat di Aceh semasa terjadinya konflik.
Ifdhal lebih lanjut kembali mengatakan, tim kajian tersebut memperoleh mandat untuk memeriksa semua berkas laporan peristiwa pelanggaran HAM semasa Aceh menjadi wilayah operasi Darurat Militer I hingga akhir tahun 2003. “Seluruh laporan yang masuk, mulai dari kasus-kasus besar yang pernah terjadi, seperti pembantaian di Beutong Ateuh (Teungku Bantaqiah), tragedi simpang KKA, pemerkosaan di Rumah Geudong-Pidie, Bumi Flora dan sebagainya, akan diperiksa kembali satu per satu,” kata Ifdhal.
Empat tahun sudah berlalu atas statement yang dikeluarkan oleh Komnas HAM tersebut, dan 14 tahun berlalu diantara sederet kisah luka di Aceh, tepat tanggal 12 Agustus 1998, sekitar 30 menit setelah Tim Komnas HAM yang dipimpin oleh Baharudin Lopa meninggalkan lokasi Rumah Geudong, Kabupaten Pidie tersebut dalam rangka mencari bukti-bukti kebenaran, akhirnya dibakar oleh massa.
Atas hal tersebut KontraS Aceh melihat bahwa problem yang mengemuka dalam proses penyelesaian konflik Aceh bukan hanya sebatas terwujudnya sebuah perdamaian abadi yang memang menjadi cita-cita bersama bagi segenap rakyat Aceh, khususnya. KontraS Aceh melihat bahwa penyelesaian tersebut juga harus diliihat secara komprehensif dan kemudian menjadi cermin dari problem yang ada, yaitu, rendahnya upaya pertanggungjawaban negara terhadap para korban pelanggaran HAM yang terjadi dalam kurun lama di Aceh.
Kurang lebih 30 tahun masa konflik Aceh dan dugaan akan terjadinya pelanggaran Berat HAM merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sejarah kelam rakyat Aceh yang hidup dalam suasana konflik pra kesepakatan Helsinki. Penderitaan korban yang banyak tercatat dalam investigasi yang dilakukan oleh badan-badan pemerintah maupun organisasi non pemerintah sejuh ini belum melangkah jauh untuk menjawab problem keadilan.
Adalah sebuah kenyataan, dari sekian banyak kasus pelanggaran HAM yang sering diteriakkan penuntasannya, baru pembunuhan Teungku Bantaqiah yang sudah divonis majelis hakim Mahkamah Militer. Itu pun sama sekali tidak memuaskan keluarga korban karena penanggung jawab yang lebih tinggi tak pernah terjamah.
Dikarenakan hal tersebut, KontraS Aceh melihat bahwa upaya mendesak dan segera dilakukan untuk upaya penyelesaian yang bijaksana dan bermartabat bagi semua pihak adalah penyelesaian pelanggaran HAM di Aceh melalui mekanisme Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). KKR merupakan bagian dari Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki, 15 Agustus 2005. Di Point 2.3. MoU menyebutkan “Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan dibentuk di Aceh oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi”.
Mandat pembentukan KKR kemudian lebih lanjut dimasukan kedalam Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) No. 11 tahun 2005, Pasal 229. Dikarenakan hal tersebut juga, KontraS Aceh mendesak DPR Aceh untuk segera menyelesaikan dan memprioritaskan Qanun KKR untuk menjadi Qanun priotias pembahasan pada tahun 2012 ini.
Sisi lainnya, KontraS Aceh juga melihat bahwa upaya yang juga bisa dilakukan sesegera mungkin oleh pemerintah setempat adalah dengan membangun tugu peringatan atas berbagai kejadian masa lalu tersebut. Seperti halnya pembangunan tugu Rumoeh Geudong, di Kabupaten Pidie oleh pemerintah setempat, yang memang meninggalkan sejarah kelam bagi generasi muda Aceh. Memorialisasi ini adalah salah satu cara merawat ingatan publik tentang peristiwa pelanggaran HAM. Memorialisasi membantu publik memahami bagaimana peristiwa dan dampak pelanggaran HAM bagi manusia.
Destika Gilang Lestari, selaku Koordinator KontraS Aceh lebih lanjut mengatakan bahwa upaya pengungkapan kebenaran juga merupakan salah satu usaha untuk melawan lupa. Tragedi Rumoeh Geudong pada 1998 tersebut merupakan satu dari sekian banyak kasus yang mengisahkan masih gelapnya upaya penyelesaian konflik Aceh.
Memorilisasi pembangunan tugu tersebut adalah upaya kita yang dihadapkan pada ironi yang semakin menjulang bahwa generasi muda di negeri ini sedang dilanda “penyakit amnesia sejarah” penyakit lupa pada potret buram yang pernah terjadi dan menghiasai catatan sejarah bangsa ini. Akibatnya, impunitas semakin merajalela dan menjadi gurita yang menghambat upaya korban dan keluarga korban untuk mencari keadilan.(SP/red.04)