Takengon | Lintas Gayo – Menristek, Prof Dr. Ir. Gusti Muhammad Hatta, MS mengaku sudah lama sekali mengenal nama Gayo, bahkan istilah Gayo sudah sangat terkenal. Seperti kopi arabika Gayo sudah dikenal orang diseluruh dunia. Oleh karena itu, sebaiknya nama Gayo dijadikan ikon untuk berbagai produk dari daerah itu. Misalnya, kalau produk kentang disebut saja dengan “kentang Gayo,” atau “labu Gayo,” pokoknya semua produk dicantumkan nama Gayo dibelakangnya.
Demikian diungkapkan Menristek dalam pertemuannya dengan tokoh masyarakat di Pendopo Aceh Tengah, Sabtu (22/9) malam. Dia menambahkan, kalau kopi arabika Gayo disentuh dengan Iptek dipastikan nilai jualnya akan lebih mahal. Sayang sekali jika produk hebat seperti kopi arabika Gayo tidak diolah didaerah sendiri. Hal itu sama dengan membuka kesempatan kerja di negeri orang.
Menteri yang asli putra Banjar Kalimantan Selatan itu berkisah saat berkunjung ke Thailand. Di negeri Gajah Putih itu, dia bertemu dengan orang yang sedang mengasah batu akik. Produknya cukup indah dan menarik karena mendapat sentuhan iptek. Ketika ditanya dimana mereka belajar mengasah batu akik, mereka menjawab di Martapura Kalsel. Sayangnya, pengasah batu akik di Martapura tanpa latihan khusus dan sentuhan iptek, sehingga hasilnya belum maksimal.
Menristek mengakui bahwa di Aceh Tengah sudah cukup banyak yang mampu mengolah kopi sampai tahap roasted dan menyajikan melalui mesin espresso. Mereka itu adalah aset berharga bagi Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah. Kalau perlu, mereka diajak untuk melihat pusat-pusat pengolahan dan latihan kopi di Jember atau daerah lainnya.
Dalam kunjungan kerjanya ke Aceh Tengah, Menristek dan rombongan mendarat di Bandara Malikussaleh Lhokseumawe, Sabtu pagi. Kemudian, dari Lhokseumawe, rombongan Menristek menempuh perjalanan darat sepanjang 150 Km lebih melalui jalanan yang sedikit rusak dan berliku-liku. Perjalanan yang ditempuh menghabiskan waktu hampir 3 jam itu, akhirnya pada pukul 13.30 WIB, rombongan tiba di Obyek Wisata Panorama Pantan Terong yang berada di ketinggian 2000 mdpl (sekitar 10 Km menjelang Takengon).
Zul (48) salah seorang petugas penjemput mengaku bahwa Menristek terkesima melihat kesuburan dan keindahan alam Aceh Tengah, lebih-lebih ketika Menristek dan rombongan berada di Pantan Terong. Dari Pantan Terong, sambil menikmati kopi arabika Gayo, rombongan Menristek memandangi setengah hamparan Kabupaten Aceh Tengah termasuk wilayah Bener Meriah. Salah satu titik pandang mereka, kata Zul, umumnya terfokus ke arah Danau Laut Tawar yang sangat indah dipandang dari ketinggian.
Tidak berlebihan jika dalam pertemuan tadi malam Menristek menyatakan bahwa “ternyata Aceh bagian tengah ini memiliki lahan yang subur.” Saat ini, susah mencari lahan yang subur seperti yang terdapat di Aceh Tengah dan Bener Meriah. Oleh karena itu, tambah Menristek, kita wajib bersyukur dengan merawat dan memanfaatkannya. Daerah Aceh Tengah juga sebagai sumber air (karena memiliki Danau Laut Tawar yang luasnya 5.742 hektar) maka harus dijaga kelestarian pohon yang ada di kawasan sumber air itu.
Minggu (23/9) pagi sekitar pukul 08.00 WIB, rombongan Menristek yang menginap di Pendopo Bupati Aceh Tengah terbang ke Medan melalui Bandara Rembele Bener Meriah. Mereka menggunakan pesawat carteran menuju Bandara Polonia Medan. Selanjutnya, pada Minggu siang, Menristek direncanakan akan melanjutkan kunjungan kerja ke Berastagi Sumatera Utara. (LG09)