Juandi, Cita-Cita Preman Berjiwa Kuliahan

BAGI sebagian orang, menyandang predikat mahasiswa hanyalah untuk menyenangkan hati orang tuanya. Sebagian lagi, duduk di bangku perkuliahan hanya mengikuti trend, beranggapan bahwa jika tidak kuliah sama dengan tidak gaul. Hanya sedikit yang murni berkeinginan untuk menuntut ilmu, hingga harus bersusah payah mencari biaya sendiri demi mengecap pendidikan di perguruan tinggi. Salah seorangnya adalah Juandi, kelahiran Kuta Panjang-Kabupaten Gayo Lues, 12 Agustus 1988.

Iwan, begitu ia biasa disapa. Alumni SD Rema Baru dan SMP 2 Kuta Panjang ini semula bercita-cita menjadi preman di Kota Medan. Dalam pikirannya dengan menjadi preman, ia tidak perlu bersusah payah bekerja saat menginginkan sesuatu, tinggal memerintahkan anak buahnya. Ia akui, lingkungannya sangat mempengaruhi pemikirannya saat itu.

Berasal dari keluarga kurang mampu, sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) ia sudah mulai mencari uang sendiri. Yaitu dengan bekerja di bengkel yang berada di dekat sekolahnya, SMA 1 Kuta Panjang. Lingkungan tempatnya bekerja inilah yang membentuk karakternya, hingga sempat terlintas dibenaknya untuk menjadi preman di provinsi tetangga.

Setamat SMA, ia dan temannya berangkat ke Banda Aceh bermaksud jalan-jalan demi melepas penat seusai ujian akhir. Tak dinyana perjalanannya ke kota besar membuat pemahamannya akan kehidupan berubah total. Ia yang tak pernah merasa takut dengan siapapun, langsung merasa kurang percaya diri demi melihat orang-orang yang berpendidikan tinggi.

Sejak saat itu, terbersit keinginannya untuk melanjutkan sekolah di luar kampungnya. Ia sadar, kehidupannya tidak akan berubah jika ia hanya “duduk” di kampungnya. Dan salah satu modal untuk sukses adalah dengan berpendidikan tinggi. Biaya darimana, itu yang terngiang-ngiang dibenaknya. Karena untuk meminta kepada orang tuanya adalah hal yang mustahil.

Berbekal uang yang pada mulanya untuk liburan di Kota Banda Aceh, ia bertahan hidup dan mencoba mengadu nasib. Tekadnya sudah bulat untuk meneruskan kuliah. Beruntung, tak lama tinggal di Kota Banda Aceh ia mendapat pekerjaan sebagai kuli bangunan di Daerah Batoh, saat itu untuk sementara ia menumpang tinggal di kost-kostan temannya.

Tahun 2008, Bujang Gayo ini resmi terdaftar sebagai Mahasiswa Jurusan Teknologi Industri di Universitas Serambi Mekkah. Lelah bekerja sebagai kuli bangunan, ia bekerja di rental komputer dan fotocopy. Sebelumnya ia tidak tahu-menahu mengenai mesin fotocopy dan komputer. Namun dengan keuletan dan kegigihannya mempelajari pengoperasian mesin-mesin tersebut, kini selain sebagai petugas fotocopy, ia juga menerima jasa pengetikan laporan, skrispsi dan tugas-tugas mahasiswa/mahasiswi lainnya. Bahkan ia pernah mengajari teman-temannya yang buta sama sekali tentang komputer hingga dapat bekerja di rental komputer.

Dari bekerja di rental dan fotocopy ini, ia mendapatkan banyak ilmu di luar jurusan yang diambilnya. Ia benar-benar haus akan ilmu. Setiap orang yang mengcopy bahan kuliah, diarsipkannya satu bagian untuk dirinya pribadi, begitu juga dengan pengetikan skripsi atau tugas-tugas kuliah. Jika ada waktu luang, bahan-bahan tersebut ia baca untuk menambah wawasan dan pengetahuannya. Sehingga seringkali ia lebih mengerti daripada mahasiswa yang kuliah di jurusan tersebut.

Ada satu kejadian yang membuatnya semakin terpacu untuk menamatkan pendidikannya. Yaitu saat keluarganya memutuskan pindah ke Kabupaten Aceh Tenggara karena tidak sanggup menanggapi cibiran tetangga yang mempertanyakan perihal dirinya melanjutkan sekolah, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari saja sangat sulit.

Di kampungnya masih jarang yang setamat SMA melanjutkan sekolah lagi, kalaupun ada mereka adalah anak-anak dari keluarga berada. Mau tidak mau ia harus “menutup telinga” untuk pertanyaan “kenapa harus bersekolah tinggi-tinggi?”, membuat pertanyaan itu menjadi cambukan untuk melecutinya agar terus berjalan. Agar dapat membuktikan asumsi bahwa kuliah hanya bagi orang-orang yang memiliki uang adalah salah. “Kuliah itu, asal ada kemauan pasti ada jalan” ujarnya sambil tersenyum.

Kini ia telah menginjak semester akhir, semester yang paling berat karena harus mengeluarkan biaya yang lebih besar. Hingga saat ini ia masih belum bisa melanjutkan ke tahap seminar proposal tugas akhir karena terkendala biaya. Orang tuanya jelas tidak mampu untuk membiayainya. Bahkan pada awalnya orang tua Iwan tidak tahu menahu soal keinginan anaknya melanjutkan sekolah lagi, yang mereka tahu Iwan berangkat ke Banda Aceh untuk liburan.

Menurutnya dalam kurun waktu enam bulan, ia hanya mendapatkan Rp.100.000,- dari orang tuanya. Ia tidak mengurus beasiswa karena terkendala harus menyertai nomor rekening. Selama ini ia tidak pernah membuka rekening karena merasa tidak memiliki uang yang cukup banyak sehingga perlu disimpan di sebuah bank. Namun kini sepertinya ia harus merubah pemikirannya, karena banyak sekali biaya yang harus dikeluarkan untuk semester akhir ini. Dengan sedikit pesimis, ia terus berupaya untuk memperoleh uang demi menyelesaikan kuliahnya, ia harus menyelesaikan apa yang telah dimulainya.

Harapannya kini selain menamatkan kuliah, ia ingin melanjutkan ke jenjang berikutnya, ia ingin meraih gelar master. Bukan hanya itu, ia juga ingin menyekolahkan adik-adiknya, ia ingin adik-adiknya juga merasakan pendidikan sama tinggi seperti dirinya bahkan lebih.(Ria Devitariska)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.