Menakar Kualitas Pelayanan Publik Rumah Sakit Daerah

Oleh: Sabiqul Khair S*

SEHAT merupakan dambaan dari setiap orang, karena dengan kesehatan manusia dapat melakukan aktivitas yang produktif  dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, lingkungan dan warga bangsa Indonesia dan dunia. Dalam konteks UU kesehatan No 36 tahun 2009 azas pembangunan kesehatan adalah perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, perlindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender, dan nondiskriminasi dan norma-norma agama. Sedangkan tujuan pembangunan kesehatan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis.

Rumah sakit merupakan salah satu intitusi pemerintah yang bertugas untuk menjaga masyarakat untuk tetap sehat. Upaya ini dilakukan dengan memberikan kualitas pelayanan  yang baik, menyiapkan fasilitas yang memadai, baik alat maupun alat penunjang lainnya. Sehingga kepuasaan pasien dalam pelayanan dapat tercapai. Dalam konteks kekiniannya masyarakat dalam beberapa perbincangan yang terbatas, baik diwarung kopi, dirumah dan diruang publik lainnya acapkali mengeluh dengan pelayanan rumah sakit daerah yang kurang  profesional, ramah, bersih, nyaman, birokrasi yang berbelit-belit dan masih banyak keluhan masyarakat lainnya yang cenderung memberikan nilai negatif terhadap pelayanan kesehatan dirumah sakit, dan kondisi ini telah berlangsung menahun seakan birokrasi rumah sakit “menikmati” kondisi ini. Seharusnya era otonomi daerah semakin menggiatkan dan meningkatkan semangat serta motivasi pemimpin rumah sakit untuk berbenah diri.

Mutu & Kualitas pelayanan publik

Cibiran dan kritikan masyarakat sepatutnya harus direspon dengan arif dan bijaksana oleh pemangku kebijakan rumah sakit karena kritikan masyarakat harus dipahami sebagai gizi atau nutrisi terhadap perbaikan pengolalaan organisasi rumah sakit. Kritik yang direspon  dan dipahami dengan baik cerminan bahwa organisasi rumah sakit mau berubah dan memperbaiki diri. Jangan dipahami kritik adalah ancaman bahkan harus dipahami sebaliknya. Rumah sakit ditengah perannya dalam pembangunan berwawasan kesehatan, senantiasa dipacu untuk terus melakukan upaya perbaikan, baik dalam peningkatan mutu perkembangan ilmu teknologi kedokteran, SDM, sarana  prasarana fasilitas lainya, singkatnya rumah sakit adalah jantung pelayanan publik dibidang kesehatan.

Keberpihakan pemerintah daerah terhadap perbaikan kualitas pelayanan dan mutu kesehatan sepatutnya mendapat perhatian khusus, karena komitmen pemerintah dalam memberikan pelayanan yang bersahabat, nyaman, cepat dan profesional tentu menjadi hal yang penting dilakukan, karena amanah konstitusi mewajibkan pemerintah daerah untuk memberikan pelayanan yang berkualitas tanpa melihat strata pasien, misalnya dari Umum, Askes, Jamkesmas, Jamkeda, Jampersal,JKA atau apapun nama programnya, singkatnya siapa saja yang datang ke rumah sakit wajib ditolong dan rumah sakit tidak boleh menolaknya.

Ada bebarapa hal yang penting diperhatikan oleh pemangku kebijakan rumah sakit, kalau rumah sakit ingin maju dan berkembang dengan baik; pertama, Rumah sakit harus memperbaiki sistem, misal dengan membuat standar pelayanan minimal (SPM), pembuatan standar operational procedure (SOP), membuat sistem remunerasi (sistem insentif) yang adil dan proporsional sehingga terbangun sinergi yang baik antara manajemen, dokter, perawat dan pihak-pihak lain yang terkait dalam organisasi rumah sakit, membangun sistem pengawasan internal yang profesional dan proporsional dalam bingkai tanggung jawab moral dan kemanusiaan dan membangun keterbukaan informasi publik terhadap pelayanan rumah sakit. Sistem diatas ketika itu lahir dari racikan kepentingan bersama yang berbasis kepentingan kemanusiaan dan profesionalisme kerja akan melahirkan budaya organisasi yang produktif dan selalu kreatif dalam memberikan service yang baik kepada masyarakat.

Kedua, Kepemimpinan atau leader ship merupakan faktor yang tak kalah penting dalam organisasi rumah sakit. Kalau kita andaikan rumah sakit seperti kapal laut, maka direktur rumah sakit sebagai kaptennya, artinya ditangan pemimpinlah arah kapal akan berlayar kemana, kapten yang menentukan arah tujuan, apakah turun, naik ataupun belok. Sikap berani, tegas, bertanggung jawab, mengayomi dan dapat menjadi panutan merupakan bagian penting seorang pemimpin. Dalam pengamatan penulis ketika mendampingi beberapa rumah sakit daerah di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jakarta, persoalan kepemimpinan merupakan persoalan serius dimana para direktur RS seringkali tidak berani mengambil terobosan dan resiko walaupun kebijakan atau keputusan yang akan diambilnya terkait untuk kepentingan publik sudah jelas-jelas itu benar dan penting dilakukan tidak dilakukan, singkatnya mentalitas pemimpin RS daerah yang tidak berani mengambil resiko sudah jamak terjadi.

Ketiga, pengembangan SDM, peningkatan kualitas dan kapasitas SDM RS (Dokter, perawat, manajemen dan lainnya) harus terus dilakukan secara  berkesinambungan baik dengan mengikuti seminar, workshop, pelatihan dan bentuk kegiatan lainnya yang dapat menambah pengetahuan dan pengalaman, sehingga peningkatan kualitas dan mutu pelayanan bisa berkembang dengan baik. Misal dengan pelatihan service excellent (pelayanan prima), capacitity building (peningkatan kapasitas), leader ship (kepemimpinan) menjadi suatu hal yang penting dilakukan guna mendorong percepatan pengembangan rumah sakit daerah lebih maju. Bagaimanapun SDM RS adalah aset  utama dalam mendorong proses mutu dan kualitas pelayanan menjadi lebih baik.

Masyarakat sebagai Aset Rumah Sakit

Dalam perkembangan manajemen RS selama ini telah melewati dan akan menemui beberapa fase, fase pertama, fase feodalistik (primitif, hirarki profesi medis, tidak efektif, power driven).  Kedua, birokratik (kaku tidak efektif, rule driven, menentang perubahan, konservatif). Ketiga, manajerial  (ada perencanaan & SOP, Visi-Misi, tujuan, uraian tugas, berorientasi pada proses, proses yang objektif.

Keempat, capacity building –peningkatan kapasitas (SDM adalah aset utama, memanusiakan organisasi (Hayron A Fernandez, 2009). Dari beberapa fase diatas RS daerah masih cenderung berada pada fase birokratik yang nota bene cenderung tidak mau berubah dan resisten terhadap perubahan, walaupun sudah ada juga rumah sakit daerah yang masuk pada fase manajerial, sedangkan fase capacity building masih berada pada tahap wacana belum pada implementasi karena masih akan berbenturan dengan sistem dan budaya organisasi RS yang masih kaku.

Sejalan dengan upaya mendorong perubahan dan kualitas dan kemandirian rumah sakit, maka lahir peraturan pemerintah No. 23 tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan badan layanan umum dan revisi UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009 yang mengamanatkan bahwa RS harus menjadi Badan Layanan Umum  (BLU). Singkatnya RSUD yang sudah BLU akan menjadi lembaga yang semi otonom dan mandiri dalam pengelolaan keseharian terutama terkait dengan pengelolaan keuangan RS. Dengan status BLUD RS tidak perlu lagi khawatir jika ketuk palu DPR tentang anggaran belum atau terlambat didok. Pembelian obat-obatan atau pelayanan lainnya yang menunjang peningkatan kualitas pelayanan di RS segera dapat terpenuhi, jadi pelayanan tidak lagi terhambat dengan proses anggaran yang cenderung lambat.

Keberadaan BLU akan memberikan sinyal kuat bahwa masyarakat diperlakukan sebagai aset rumah sakit. Dimana RS harus memberikan pelayanan yang berkualitas dan bermutu sehingga pelanggan senang dan puas terhadap pelayanan RSUD. Pola lama yang masih menganggap bahwa masyarakat adalah obyek RS ataupun subyek RS sudah harus digeser kepada minset yang lebih moderat yakni, masyarakat adalah aset RS. Tingkat persaingan pelayanan kesehatan semakin ketat, tercermin dari maraknya berdiri poliklinik, RS swasta, dan pelayanan kesehatan lainnya. Apalagi saat ini juga sudah mulai masuk rumah sakit asing ke Indonesia, walaupun untuk saat ini masih berada dikota-kota besar, tapi tidak menutup kemungkinan akan masuk kedaerah.

Berkaca dari pengalaman selama ini, dimana RS seringkali dintervensi oleh kepentingan politik yang cenderung berakibat terhambatnya pelayanan kesehatan kepada masyarakat, serta lambatnya perkembangan dan kemajuan RSUD yang ada didaerah. Kondisi ini memprihatikan, oleh karenanya butuh sikap arif dan bijaksana dari para pemangku kepentingan untuk tidak mengintervensi kebijakan RSUD yang nyata-nyata sudah berjalan pada koridor yang jelas (on the trac) dan bisa dipertanggung jawaban, tapi karena ada sesuatu dan lain hal, maka kebijakan yang ada di RS daerah dianulir atau dihambat. Keadaan ini jika terus menerus berlangsung maka akan menghambat kreatifitas dan inovasi baru dalam peningkatan kualitas pelayanan publik dibidang kesehatan Daerah. Singkatnya No intervensi politik. Tapi mungkinkah? Yang bisa menjawab adalah para pemangku kepentingan yang ada didaerah. Semoga!(biqul2001@yahoo.com)

*Penggiat Kesehatan dan Direktur Pusat Pengembangan Kebijakan Daerah (PPKD) Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.