Sungguh menjadi sebuah harapan kita bersama; bahwa, proses demokratisasi dan setiap proses transisi kepemimpinan di Aceh, baik itu di level provinsi maupun pada kabupaten/kota dapat berjalan dengan baik dan elegant. Artinya bahwa, kita berharap proses-proses suksesi dan transisi kepemimpinan yang terjadi, lambat laun terus mengalami kemajuan, lambat laun mengalami perbaikan-perbaikan,sehingga mampu melahirkan kepemimpinan yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat.
10 Tahun pasca MOU helshinki, harus kita akui bersama bahwa banyak hal positif yang telah terjadi, tentu dibalik itu juga banyak kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan pemerintah Aceh yang terkadang jauh dari ekspectasi publik.
Persoalan itu bukan hanya karena terjadinya kelemahan-kelemahan dalam manajemen kepemimpinan di level Provinsi, juga hal yang sama terjadi pada level kabupaten. Sehingga kita tentunya berharap setiap peralihan kepemimpinan dapat memunculkan harapan-harapan baru bagi rakyat Aceh secara keseluruhan. Persoalan-persoalan yang sekiranya harusnya segera diurai, tidak terus menerus terjadi “pembiaran” sehingga melahirkan ketidak pastian.
Salahsatu hal yang berpotensi menjadi masalah besar adalah,adanya ketidakpastian dalam implementasi UU No.8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur dan wakil gubernur bupati an wakil bupati dan UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Khususnya dalam hal pelaksanaan pemilukada serentak yang secara nasional direncanakan dalam tiga gelombang atau tiga tahap.
UU No.8 Tahun 2015, pasal 201 mengisyaratkan secara jelas bahwa pelaksanaan Pemilukada Serentak tahap kedua akan dilaksanakan pada Februari 2017. Berkaitan itu pula,bila merujuk Undang-undang tersebut, maka 17 Kabupaten/kota di Aceh serta Gubernur dan wakil Gubernur di Aceh akan menjadi peserta Pemilukada serentak tersebut,dan itu adalah program Nasional. Lalu, apakah Aceh akan mengikuti program Nasional Tersebut?.
Mengikuti dan atau tidak mengikuti Pelaksanaan Pemilikada serentak nasional Tahap Ke-2 bagi Aceh tentu akan menjadi persoalan yang amat penting. Menjadi Penting karena membawa konsekwensi yang amat besar dalam memastikan transisi kepemimpinan di Aceh.
Akan tetapi bila merujuk pada beberapa kasus dalam pemiluka, khususnya pemilukada 2012 di Aceh, maka tampaknya ada kecenderungan Pemerintah Aceh dan Partai Lokal di Aceh yang saat ini mendominasi parlement dan eksecutif akan lebih mengedepankan UUPA.
Bukanlah sebuah kesalahan manakala Aceh lebih mengutamakan UUPA dalam pemilukada di Aceh. Karena keberadaan UUPA adalah legal adanya dan itu juga menjadi satu ketentuan terkait kekhususan Aceh yang dijamin dalam UUD 1945,dan dalam Konsideran UUPA dalam point menimbang pada huruf (a) hal itu pula ditegaskan.
Akan tetapi satu sisi hal itu juga membawa konsekwensi yang cukup serius. Pelaksanaan Pemilukada serentak adalah amanah dari UU No.8 Tahun 2015 pasal 201. Dalam Undan-undang tersebut telah begitu memuat hal-hal berkait pemilukada yang begitu rinci, termasuk didalamnya persyaratan peserta pasangan Calon. Hal itu juga telah menjadi rujukan KPU RI dalam menyusun PKPU No.9 Tahun 2015,sebagaimana telah dirubah menjadi PKPU No.12 Tahun 2015.
Keberadaan UU No.8 Tahun 2015 dan disisilain keberadaan UUPA yang juga memuat syarat-syarat Peserta Pasangan Calon Pemilukada telah menjadi dua sumber hukum yang setara,akan tetapi secara subsatantif memiliki perbedaan yang mencolok.
Perbedaan itu antara lain, bahwa dalam UU No 8 Tahun 2015, syarat pasangan calon yang diusung dari jalur perseorangan adalah sejumlah 10 % dukungan KTP dari jumlah penduduk. Sementara dalam ketentuan UUPA, cukup dengan 3% dukunagan KTP dari jumlah penduduk. Begitu pula terkait dukungan dari partai politik, UU 8 Tahun 2015, mewajibkan 20% Kursi di DPRD untuk menjadi syarat minimal untuk menugusung pasangan Calon, sementara UUPA hanya mensyaratkan 15 % kursi di DPRA/DPRD atau 15% suara syah perolehan pemilu sebelumnya. Fakta-fakta hukum yang keduanya memiliki posisi yang setara tentu akan membutuhkan sinkronisasi lebih lanjut.
Kemudian juga yang tak kalah pentingnya adalah, bahwa UUPA dalam pasal 91; tidak mewajibkan bagi anggota DPRA/DPRK berhenti dari keanggotaan bila menjadi peserta dalam Pemilukada, melainkan cukup Non aktif. Begitupun yang berasal dari PNS dan TNI Polri hanya cukup mundur dari jabatan,akan tetapi tidak mundur dari institusi masing-masing. Hal ini tentu sangat bertolak belakang dengan UU No.8 Tahun 2015, juga bertentangan dengan Putusan MK terkait kewajiban anggota DPR,DPRD mundur dari keanggotaan DPR/DPRD bila telah ditetapkan sebagai pasangan calon dalam Pemilukada.
Kemungkinan hal yang akan mencuat adalah, bahwa Aceh memiliki kekhususan, aceh akan diperlakukan secara Khusus. Lex specialis VS lex Generalis. Bila hal itu terjadi maka, implementasi UU No.8 Tahun 2015 tidak dapat terlaksana penuh di Aceh. Pada saat bersamaan bila UU 8 Tahun 2015 terkait Pemilukada tidak dilaksanakan di Aceh, maka tentunya tidak akan terjadi Pemilukada Serentak tahap Ke-2 di 17 Kab/kota di Aceh,termasuk Gubernur dan wakil Gubernur. Ataukah untuk pelaksanaan pemilukada Serentak Aceh menggunakan sebagian dari isi UU No. 8 Tahun 2015 yaitu pasal 201; akan tetapi mengabaikan pada pasal-pasal lainnya dan mensubstitusi nya dengan Pasal 68 dan pasal 91 UUPA.
Prinsip pelaksanaan Pemilukada menurut UU No.15 Tahun2011 adalah adanya kepastian hukum. Tentu hal diatas semua adalah PR besar kita semua,untuk kiranya dapat lebih segera memastikan dasar hukum yang menjadi rujukan kita di Aceh secara keseluruhan dalam melaksanakan Pemilukada. Yang pasti adalah, bila Aceh sepenuhnya menrujuk pada UUPA, Maka Pemilukada serentak di Aceh tidak akan terlaksana. Disi lain, apakah masyarakat dan pemerintah Aceh akan bersedia “mengeyampingkan” sementara UUPA dan menjadikan UU No.8 Tahun 2015 sebagai rujukan dalam pemilukada??. Tentu itu bukan pilihan yang mudah,dan dipastikan sulit dengan membawa konsekwensi-konsekwensi yang mengikat.
Akankah pemilukada serentak di Aceh akan Batal pada februari 2017…?. Hampir bisa dipastikan akan batal, bila masyarakat dan Pemerintah Aceh lebih mengedepankan UUPA. Apakah masyarakat Aceh dan Pemerintah Aceh keliru lebih mengedepankan UUPA dibandingkan UU No.8 Tahun 2015 yang mengatur tentang pemilukada ?.jawabannya tentu tidak keliru,karena UUPA pun legal adanya,dan itu payung hukum kekhususan Aceh. Lalu apa solusinya?. Solusinya adalah harus segera dilahirkan singkronisasi aturan dan jalan tengan guna dapat mengakomodir semua kepentingan dan elemen yang berperan. Karena sejatinya proses Pemilukada dilaksanakan secara demokratis dan untuk mencari pemimpin, bukan semata-mata pemenang dalam sebuah kontestasi politik yang terkadang terjebak dalam Adagium (ungkapan), Politik adalah semata-mata bicara kepentingan. semoga Aceh segera menemukan dan menetukan solusi yang paling bijak.
*Penulis : Ketua DPD PA GMNI Provinsi ACEH.