Kantor “Bank Aceh” Jadi Konflik Berkepanjangan

CORETAN bernada kasar menghiasi seputaran lokasi pembangunan kantor Bank Aceh. Dasarnya tanah itu milik anak yatim (Panti Asuhan Budi Luhur). Kemudian tanah itu sebagianya dibeli Bank Aceh untuk didirikan kantor.

Sejak tahun 2009 saat penjualan tanah itu, sebenarnya aksi protes sudah bermunculan. Namun Bupati Aceh Tengah Nasaruddin tetap dengan keyakinanya. Hasil penjualan tanah itu senilai Rp 8 milyar, dijadikan Pemda Aceh Tengah sebagai setoran modal ke Bank Aceh.

Namun menjelang dilaksanakan pembangunan kantor bank di Desa Kemili itu, aksi protes kembali bermunculan. Jumat pagi (13/5) pagar seng di seputaran area pembangunan kantor bank itu dipenuhi tulisan. Salah satu tulisan dengan pilog merah itu berbunyi, “Jangan rampas hak/ tanah anak yatim.”

Spontan tulisan dengan beragam nada kecaman itu menjadi pembicaraan publik. Sebelumnya anggota DPR RI, Tagore AB, sudah melayangkan surat ke Gubernur Aceh yang meminta tanah tersebut dikembalikan kepada penggunaan semula untuk kegiatan sosial (panti asuhan).

Tagore menjelaskan argumenya, bahwa tanah tersebut ada pelanggaran aturan saat dilakukan penjual oleh Pemda Aceh Tengah kepada Bank Aceh. Mantan Bupati Bener Meriah ini menyebutkan, tanah tersebut masih menjadi milik asset provinsi Aceh. Tanah itu dialihkan ke Pemda Aceh Tengah pada 21 Januari 2009. Namun pengalihanya tanpa ada surat persetujuan dari Gubernur dan DPRA.

Sebelum dialihkan tanpa persetujuan Gubernur Aceh dan DPRA ini, menurut Tagore, jusrtu DPRK Aceh Tengah pada 28 Februari 2008 menyetujui tanah tersebut dijual Pemda Aceh Tengah. Dasar surat DPRK dan dukungan dokumen lainya itu,  Bupati Aceh Tengah ahirnya menjual  sebagian tanah itu (4/700 meter persegi) untuk Bank Aceh.

Namun surat yang dilayangkan Tagore belum ada jawaban. Sementara Bupati Aceh Tengah, Nasaruddin, ketika diminta Waspada keteranganya, tidak memberikan komentar lebih jauh. “ Semuanya sudah sesuai prosedur dan sah menurut hukum,” sebutnya.

Hingga kini persolan tanah itu masih menjadi polemik. Tagore yang bukan pemilik tanah itu, kepada Waspada mengakui terpanggil untuk membela tanah anak yatim dikembalikan kepada fungsi awal.

Bagaimana bila surat yang dikirim Tagore tidak ditanggapi Gubernur Aceh? “Kita akan menempuh cara apapun untuk mengembalikan tanah anak yatim ini,” sebut Tagore, yang tidak merincikan lebih jauh upaya yang akan dilakukan pihaknya.

 “Fakir miskin dan anak terlantar harus dipelihara negara. Undang-undang Dasar 1945 resmi mengamatkan hal ini. Ditambah kekhususan Aceh dengan syariat Islam, tidak patut tanah yang diperuntukan untuk kepentingan sosial (panti asuhan) dialihkan sebagai setoran modal ke Bank Aceh,” jelas Tagore.

Sejarah telah mencatanya, tanah yang awal kemerdekaan itu untuk menampung anak para pejuang yang gugur di medan pertempuran, sejak 16 Mei 1951 menjadi asset Pemerintah Aceh. Bagaimana kelanjutan konflik tanah Budi Luhur ini? Ketika berita ini diturunkan pihak rekanan yang sudah menanda tangani kontrak pembangunan kantor bank itu, tetap dengan sikapnya, melanjutkan pembangunan. Walau didinding pagar area tanah itu dipenuhi dengan tulisan kecaman. (Bahtiar Gayo/ Harian Waspada edisi senin 16/5/2016)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.


Deprecated: str_replace(): Passing null to parameter #3 ($subject) of type array|string is deprecated in /home/wxiegknl/public_html/wp-content/plugins/newkarma-core/lib/relatedpost.php on line 627