Supu Serule, Warisan Tradisional Hampir Hilang

Catatan :Desfallah Inesyah

Berbicara tentang pengabdian, saya pikir setiap pemuda bangsa bertanggung jawab mengemban peran sebagai agen perubahan dan pembangunan di berbagai bidang. Salah satunya terhadap budaya dan tradisi pada masyarakat terdahulu yang perlahan-lahan juga meningalkan peradaban modern. Modernisasi bersama arus gobalisasi yang pesat berhasil terus mengurangi jumlah rumah adat diberbagai daerah.

Program MBKM Umah Pitu Ruang (UPR) hadir mewadahi kegiatan Pelestarian Arsitektur dan Lingkungan Binaan Vernakular Gayo, Aceh Tengah. Umah Pitu Ruang adalah rumah tradisional adat suku gayo yang mempunyai 7 ruang. Rumah ini biasa dimiliki oleh setiap kaum atau keluarga, selain itu rumah ini juga digunakan untuk tempat tinggal para raja. Terhitung dari pertengahan Juni 2024, Program MBKM Umah Pitu Ruang (UPR) sudah sampai di Batch III yang dimulai dari beberapa pembekalan mengenai Arsitektur vernakular dan Tradisional Nusantara. Pada Batch III ini progres pembangunan Umah Pitu Ruang sudah sampai pemasangan atap setelah pada Batch II progresnya berhasil selesai hingga kerangka Umah Pitu ruang.

Pada Batch III Program MBKM Umah Pitu Ruang, dua diantara rentetan agenda yang bisa saya sebutkan pada kesempatan kali ini adalah; Workshop Pembuatan Atap Daun Serule sebagai kegiatan pengabdian terhadap masyarakat berbasis gampong binaan. Selain itu adalah Pendokumentasian Prosedur Pembuatan Supu Serule sebagai penelitian terhadap Arsitektur vernakular dan Tradisional Gayo yang kedepannya saya pikir mampu memberikan informasi yang akan menjadi pengetahuan yang akan di narasikan dalam sebuah tulisan yang akan dikonsumsi oleh banyak orang sebagai wawasan sekaligus bukti jejak kekayaan budaya pada masyarakat.

Dalam bahasa gayo Supu berarti Atap, Supu serule merupakan atap khas daerah dataran tinggi gayo yang terbuat dari tumbuhan serule. Pada saat ini sulit menemukan bangunan yang masih menggunakan supu serule sebagai penutup atap. Seiring berjalanya penelitian berlangsung, saya menghipotesiskan penyebab kepunahan Supu Serule disebabkan oleh tumbuhan serule yang terbilang sudah sukup langka ditemukan. Selain itu, standarisasi kebutuhan daun serule yang diperlukan untuk satu bangunan tempat tinggal cukup banyak. Keadaan ini yang membuat masyarakat dataran tinggi gayo perlahan-lahan meninggalkan material daun serule sebagai bahan penutup atap. Akibatnya banyak generasi muda, terutama pemuda gayo sendiri sudah jarang yang mengetahui seluk-beluk prosedur pembuatan supu serule.

Workshop yang diadakan melalui Program MBKM Umah Pitu Ruang pada Batch

III kali ini berhasil dilaksanakan dengan partisipasi warga lokal desa Desa Genuren, Kec. Bintang, Kab. Aceh Tengah. Kegiatan ini diyakini mampu melindungi warisan kekayaan budaya yang sedang dalam status hampir punah. Selain itu mampu memperkuat ciri khas dan identitas kebudayaan gayo.

Hal lainnya, melaui kegiatan Pendokumentasian Prosedur Pembuatan Supu Serule, saya menghasilkan analisa bahwa supu serule sebagai warisan tradisional dapat dijadikan sebagai sumber inovasi dilihat dari potensial material berkelanjutan yang ada pada bahan serule sebagai penutup atap.

Daun serule merupakan bahan alami yang dimanfaatkan sebagai material penutup atap oleh masyarakat gayo terdahulu. Atap daun serule merupakan pemanfaatan material lokal Daratan Tinggi Gayo dengan serangkaian proses pembuatan yang alami juga dilakukan oleh pengrajin lokal. Proses perendaman tulangan atap yang memanfaatkan Danau Lut Tawar atau air telaga yang ada, kemudian untuk proses pengeringan tali kereteng sekaligus atap yang sudah dijahit memanfaatkan sinar matahari alami. Bahan dan alat yang diperlukan dalam prosedur pembuatan atap seperti bambu, daun serule, kereteng, dan jarum munyemat, semua hal tersebut berasal dari alam wilayah Dataran Tinggi Gayo. Dalam hal ini bahan dan prosedur pembuatan atap serule melibatkan proses yang alami tanpa campur tanggan pabrikan yang memerlukan energi tidak terbarukan dalam prosedurnya.

Dalam konteks arsitektural, saya dapat menganalisa bahwa pemilihan bahan serule sebagai material atap oleh masyarakat gayo terdahulu merupakan pembuktian sikap tanggap iklim. Salah satu prinsip bekelanjutan pada arsitektur vernakular melaui penelitian Harysakti et al (2014) diperoleh tanggap iklim sebagai salah satu variabel. Hal ini dapat didukung oleh argumentasi yang meninjau kondisi geografis Dataran Tinggi Gayo. Pada umumnya di sepanjang dataran bagian pesisir Aceh populer daun rumbiah sebagai material penutup atap.

Namun hal ini berbeda dengan dataran tinggi Aceh tengah yang memanfaatkan serule sebagai material yang dijadikan penutup atap pada masa itu. Hal tersebut dikarenakan tanaman rumbiah atau sagu sulit ditemukan di daerah dataran tinggi. Sebaliknya, rumbiah pada umumnya ditemukan di daerah dataran rendah dan pesisir dikarenakan tanaman rumbiah membutuhkan tanah yang lembab dan berawa, serta suhu yang hangat untuk bertahan hidup. Sementara itu Dataran tinggi Gayo yang bercirikhaskan udara yang dingin dan lebih kering. Sehingga hal ini menyebabkan tumbuhan rumbiah sulit dijumpai di Dataran Tinggi Gayo. Di sisi lain, tumbuahn serule banyak sekali tumbuh di daerah dataran tinggi Gayo. Hal ini lah yang mendorong masyarakat Gayo untuk manfaatkan selure sebagai bahan material penutup atap pada arsitektur tradisional gayo.

Dalam buku Vernacular Architecture, oleh Turan Mete1990 dibahas bahwa Arsitektur vernakular adalah arsitektur yang tumbuh dan berkembang dari arsitektur rakyat yang lahir dari masyarakat etnik dan berakar pada tradisi etnik, serta dibangun oleh tukang berdasarkan pengalaman (trial and error), menggunakan teknik dan material lokal serta merupakan jawaban atas setting lingkungan tempat bangunan tersebut berada dan selalu membuka untuk terjadinya transformasi. Melalui Program MBKM Umah Pitu Ruang (UPR) BatchIII memberikan saya pembelajaran yang aktual mengenai poin Arsitektur Vernakular yang selama ini saya pelajari di kelas sebagai mahasiswi semester 5 Program Studi S1 Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala. Namun berbeda kali ini, saya mendapat kesempatan untuk mengobservasi dan menganalisa langsung hal-hal yang menjadi aspek peninjauan dalam ranah Arsitektur vernakular dan Tradisional.

Kesimpulan

Dalam konteks pengabdian terhadap negeri, tradisi dan arsitektur vernakular tetap harus dipertahankan, hal ini bertujuan untuk menghentikan kepunahan. Kesadaran akan pentingnya tradisi dan nilai-nilai dari warisan budaya berdampak besar terhadap pelestariannya untuk generasi mendatang. karna boleh jadi hal-hal yang terkandung dalam tradisi dan warisan budaya memiliki potensi sumber inovasi yang dapat dijadikan solusi terhadap permasalah yang terjadi di era modernisasi dan globalisai yang pesat ini. Sehingga penting sekali saya pikir memanfaatkan kesempatan revitalisasi aset bangsa yang hampir hilang ini. Kesimpulan ini sekaligus merupakan bagian akhir dari tulisan saya kali ini.

* Mahasiswa Jurusan Teknik Arsitektur Unsyiah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.