Guru, Robot Yang Terbelenggu

Oleh Johansyah*

 

Johansyah, paling kanan

Pada tanggal 25 Nopember kemarin, via facebook dan sms, beberapa  teman mengucapkan selamat hari guru kepada penulis, karena memang hari itu adalah hari profesi guru. Lalu penulis membalasnya dengan mengatakan; bagaimana bisa kita menikmati hari guru di saat begitu banyak persoalan yang membelitnya. Lalu dia membalas; ‘yaa ya, barangkali di hari guru yang ada hanyalah sederetan list tentang catatan buruk guru.

Kelihatan demikian, hemat penulis memang catatan buruk guru ini tampak sekali, terutama ketika kita memotret guru dan menghubungkannya dengan kebijakan pemerintah. Kebijakan yang dapat dikatakan masih diskriminatif  kepada guru dan memperlakukan mereka layaknya robot. Stereotipe kepada kelompok penguasa ini tentu tidak berlebihan bila kita menoleh dan melototi realitas yang dialami oleh guru bangsa ini sebagai ujung tombak kebijakan. Suka atau tidak dia harus menjalankan kebijakan sesuai instruksi. Dilarang kritis dan banyak tanya, nanti dimutasi atau dipecat!.

Dalam ulasan berikut, mari kita lihat beberapa kebijakan pemerintah yang terkesan memosisikan guru sebagai patung atau robot yang diremot untuk melampiaskan syahwat kebijakannya; Pertama, bagaimana harus ‘siap komandan’ nya guru harus menjalankan perubahan dan pembaruan kurikulum. Terakhir, kita melihat bagaimana guru ‘dipaksa’ untuk harus mengganti kurikulum 1994 dengan kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Belumlah itu berjalan lama dan diimplementasikan guru dengan baik, tiba-tiba pemerintah kembali dengan ‘egois’ nya mengganti lagi dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) atau disebut kurikulum 2006, dengan alasan penyempurnaan.

Sepengetahuan penulis, kebijakan perubahan kurikulum tidak pernah didialogkan pemerintah (Kementerian Pendidikan Nasional) dengan para guru kita di daerah, kecuali setelah kurikulum itu jadi. Buktinya, para guru kita sering kaget, bingung, dan tidak tau harus bagaimana mengimplementasikan kurikulum tersebut. Akibatnya juga, pemerintah harus mensosialisasikannya melalui pelatihan, penataran, atau dengan kegiatan lainnya untuk memperkenalkan kurikulum baru ini. Ujung-ujungnya ya dana, guru jangan banyak tanya ya. Ini adalah gambaran egoime tersistematis dari pemerintah bukan?, mereka menganggap guru lebai, tidak berpotensi, tidak berwenang, dan anggapan diskriminatif lainnya.

Kedua, bagaimana kita melihat kebijakan pemerintah terhadap program sertifikasi yang penulis anggap aneh, kurang waras, dan tidak jelas apa yang diinginkan. Dikatakan profesionalisme, kita masih meragukan karena tidak ada perbedaan kemampuan antara guru sertifikasi dengan yang belum, sama saja. Bahkan banyak guru yang belum sertifikasi kelihatannya lebih professional, berdedikasi tinggi, dan lebih disipin.

Di lain pihak, kita juga masih ragu jika sertifikasi dipergunakan sebagai instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Hal ini dapat terdeteksi dari embel-embel administrasi yang bolak-balik, inkonsisten, serta berulang-ulang. Belum lagi aturan-aturan yang kaku dan nyleneh bagi guru, seperti diwajibkannya mengajar 24 jam, padahal kondisi satu wilayah dengan wilayah lainnya berbeda, namun pemerintah seolah tidak pernah mau tau. Dengan kata lain, untuk mendapatkan uang kesejahteraan melalui sertifikasi, capeknya setengah mati, makan hati, dan kurang lezat dinikmati. Jadi, profesionalisme plus kesejahteraan?, ataukah hanya salah satunya?, tidak jelas!

Ketiga, keberpihakan dan proteksi terhadap hak-hak dan kepentingan guru kelihatannya semakin menipis, lebih-lebih setelah diberlakukannya Undang-Undang (UU) nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Banyak di antara guru yang harus berurusan dengan aparat kepolisian, diseret ke meja hijau dan harus mendekam di jeruji besi lantaran dianggap telah melakukan tindak kekerasan kepada anak didiknya, yang menurut ‘ulama’ pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) melanggar.

Padahal ranah tindak pelanggaran di sekolah jauh berbeda latar belakang, motif, dan pengaruh psikologisnya dengan pelanggaran dan kekerasan di luar dunia pendidikan itu sendiri. Tunggu dulu jika ingin membantah persepsi ini, sebelum kita betul-betul memahami dan mendalaminya dengan meninjau dari beragam perspektif. Yang jelas, kita melihat banyak yang menyalahgunakan UU perlindungan anak ini, salah satunya adalah untuk ‘memeras’ guru melalui tuntutan denda jutaan rupiah. Sebagai renungan kita bersama untuk dipikirkan; relevankah UU perlindungan anak ini diberlakukan dalam menyelesaikan kasus-kasus kekerasan di dunia pendidikan?.

Kalau relevan mengapa banyak guru yang sudah banyak tak peduli dan tidak berani mengambil tindakan kepada siswa yang melanggar karena takut dikatakan melanggar HAM. Jika kondisi ini dibiarkan, maka sama saja kita membelenggu guru dan memasung sebagian peran dan fungsinya sebagai pendidik.

Keempat, pemerintah (melalui Dinas Pendidikan) sering menyalahkan guru ketika siswanya sebagian besar gagal di Ujian Nasional. Persis seperti apa yang dikatakan Doni Koesoema A. dalam bukunya Pendidikan Karakter di Zaman Keblinger (2009: 20), bahwa jika terjadi ketidakberesan dalam masyarakat, atau kalau ada penurunan mutu pendidikan, sasaran utama kesalahan itu ada di tangan guru. Anehnya, giliran sekolah mampu meluluskan siswa ketika Ujian Nasional (UN), pejabat di Disdik lebih bernafsu mengakui bahwa itu berkat arahan dan bimbingan mereka, agak sungkan mengakui bahwa itu berkat kerja keras guru.

Banyak pejabat di Disdik yang mencari muka dan ingin diakui sukses sehingga mereka tidak malu meminta kepala sekolah beserta guru untuk berusaha meluluskan para siswanya di UN dengan cara apapun, termasuk dengan mengembangkan apa yang penulis sebut ‘metode talqin’ (metode pembocoran  soal ujian dan memberi kunci jawaban). Karena Disdik tidak ingin dicap dan dikatakan gagal, mereka ingin disanjung dan dipuji ‘wah hebat, wah’. Lagi-lagi, di sini guru yang diperalat. Siapa membantah awas dimutasi ke pelosok!.

Dengan berkaca kepada fakta dan realitas ini, setidaknya penulis masih ragu untuk menerima ucapan ‘selamat hari guru, atau penulis sendiri yang menyampaikan ucapan selamat tersebut kepada teman-teman guru. Barangkali kalimat yang lebih tepat diucapkan sesuai situasi guru saat ini adalah ‘bersabarlah wahai para guru, karena anda masih terbelenggu’.

Wahai para guru, berjuanglah untuk membebaskan diri dari penyanderaan penguasa yang selalu ego menumpahkan dan memaksakan kebijakan pendidikannya untuk dijalankan dan dilaksanakan. Berusahalah untuk terbebas dari ‘perkosaan’ dan penelanjangan komitmen mendidikmu. Jadilah pelaku perubahan, berdirilah menjadi sosok guru yang berani, tegar, kritis, dan pembela kebenaran. Jadilah pendidik, kapan dan di manapun selama engkau hidup.

*Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor Pendidikan Islam PPs IAIN Ar-Raniry.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.