Oleh: Hafizul Furqan*
“BERIKAN saya 10 pemuda maka akan saya goncangkan dunia”
Demikian petikan kalimat Soekarno Presiden pertama RI, tapi 100 pemuda yang turun kejalan siang tadi jelas belum mampu membuat dunia terguncang, dan memang bukan itu tujuannya. Jum’at 2 Nopember 2012 kantor DPRA disesaki sejumlah masa yang menamakan diri dengan Gayo Merdeka, tuntutan mereka hanya satu yaitu mohon pertimbangkan kembali butir-butir atau poin-poin yang tercatat dalam rancangan Qanun Lembaga Wali Nanggroe (QLWN) yang sebagian isinya dirasa masih multi tafsir dan terkesan rasis.
Ratusan masa berteriak dari pagi hingga siang sampai perwakilan DPRA mau menjumpai mereka, pekikan demonstran tampak sahut menyahutT ‘apa dosa kami? Apa salah kami? Kenapa kami seperti dimusuhi’ demikian sebagian mereka berucap dan sebagian lain berteriak ‘Aceh tidak hanya 1 suku, Aceh ada 12 suku’ teriakan mereka bukan tanpa alasan, QLWN yang sedang dibahas hari itu memiliki poin yang mensyaratkan bahwa Wali Nanggroe, Waliyul’ahdi, Tuha Peut, Tuha Lapan dan pemangku jabatan yang lain haruslah mampu berbahasa Aceh dengan fasih dan baik, ini yang menjadi permasalahan.
Jika bahasa Aceh yang dimaksud adalah bahasanya suku Aceh, maka tentu ini akan terkesan melupakan suku-suku yang lain dan secara tidak langsung melarang suku yang lain (orang provinsi Aceh yang bukan keturunan suku Aceh) untuk dapat menjadi Wali Nanggroe. sedangkan nantinya Wali Nanggroe juga mempunyai wewenang di dalam wilayah-wilayah yang penduduknya bukan suku Aceh, sehingga masa Gayo Merdeka menyebutnya sebagai ‘upaya mengaburkan eksistensi suku-suku minoritas’.
Permasalahan ini jelas bukan hal baru Aceh, kendati demikian ini terus saja muncul seolah-olah pembuat kebijakan lupa dengan keberagaman yang ada. Setelah ditemui oleh perwakilan DPRA yang hanya bisa menjanjikan bahwa ‘tuntutan ini akan jadi pembahasan’ tanpa ada jaminan apa-apa, masapun membubarkan diri. Sebelumnya organi yang menamakan diri Gayo Merdeka ini berjanji akan turun kejalan kembali dengan jumlah masa yang besar, jika tuntutan mereka tidak didengarkan.
Setelah aksi bubar, sayapun bergegas menuju masjid karena waktu shalat Jum’at telah tiba. Secara kebetulan isi khutbah tentang masyarakat Palestina, sang khatib mengajak umat Islam untuk membantu masyarakat Palestina yang secara perlahan tapi pasti akan diusir dari tanah mereka. Sejarah keberadaan mereka dihilangkan. Banyak upaya untuk melenyapkan mereka, oleh siapa? Ya!! kita semua tau, tentu saja Israel.
Saya, anda dan kita semua (Gayo dan suku minoritas lainnya) tentu tidak ingin menjadi Palestina Aceh, yang secara masif dalam segala bentuk terus dikebiri, digerogoti bahkan di marjinalkan. Naudzubillah…
Inilah aksi wakil masyarakat minoritas, meski 100 orang pemuda tidak mampu menggoncangkan dunia, tetapi ini alkan terus menjadi kegelisahan yang tak berujung. Saya yakin 100 orang itu mampu mengguncangkan hati pemuda-pemuda dari suku-suku minoritas lain untuk ikut melawan kedzaliman ini.
Lalu mana kajiannya dari lini lainnya?(hafizulfurqan35[at]yahoo.com)
*Putra Gayo Kelahiran Tingkem Bener Meriah