Alam, Kopi, dan Depik
Hujan dan angin masih bergelut
Menyentuh cermin biru danau
Sejuk memang…
Hingga menggigil seluruh tubuh…
Jelang senja tanpa matahari
Dikaki Pereben ini…
Menatap jauh menembus air langit
Sambil memeluk tubuh sejuk
Ada kulihat, ampung-ampung pulo
Menari di ayunan riak
Berirama air pasrah
Merdeka…
bersama gerakan pohon pinus pucuk bukit
Tak sampai tatapan ke seberang
Terhalang rintik hujan
Namun di sini aku dengan berjuta kenangan
Berteman secawan kopi dan Singkong goreng
Sampai akhirnya aku tersentak
Disinilah kita berkisah
Tentang alam, kopi, dan Depik negeriku…
Takengon, 1-11-2012
Menunggu
Kubawa menuju arus hidup
Jiwa berliuk hingga kepuncak
Kutatap disejuk embun yang redup
Tentang jalinan muara dan sungai
Disini aku menunggumu
Kelana yang bimbang
Hingga nanti sampai ke detikmu
kusapa engkau perindu sejati
Sulaman hati belum selesai
Masih menunggu sutra setara
Duduk tetap disini ya,
Karena dipuncak aku memetiknya.
Resap sampai menembus jantung
Agar terasa cinta bergelora
Percayalah pada waktu yang menari
Hingga selesai layar terkatup
Simpan lelahmu sebagai intan
Karena kita perlu bersabar
Akupun rindu
Sampai langit mengajakku terbang
Takengon, 29-11-2012
PENULIS: Dia Master Psikologi. Bekerja di Rumah sakit Datu Beru Takengon. selain itu, perempuan ini pun aktif dan tercatat sebagai pendiri Yayasan Salsabila dan Habluluminnas Hablulminallah (H2), lembaga perempuan yang kreatif dalam pengelolaan sosial. Wahyuni, M,Mps,Psikolog tetap sebagai dirinya, menulis dan penyuka puisi.