BILA Pemda Aceh tetap membiarkan “bom” yang mereka tanam di Blang Bebangka, Pegasing, Aceh Tengah dampaknya akan semakin besar. Persoalanya semakin berlapis dan melibatkan banyak pihak.
“Persoalan Blang Bebangka bagaikan bom salju, Pemda Aceh harus cepat menyelesaikanya,” sebut Adam Muhlis Arifin, ketua Pansus IV DPR Aceh. Gergel Piraq panggilan akrabnya saat konflik, menilai “bom” yang ditanam Pemda Aceh di atas tanah seluas 122 hektar, menjadi persoalan yang sangat serius bagi Aceh Tengah.
Mengapa anggota DPR Aceh asal Gayo ini menyebutkan bagaikan bom salju dan harus cepat diselesaikan. Tanah asset pemerintah Aceh ini, dibiarkan menjadi pemicu perpecahan dan timbulnya masalah bagi Aceh Tengah.
Waspada yang menelusurinya memiliki catatan. Sejarahnya cukup panjang dan berliku. Diatas tanah yang dulunya mencapai 137 hektar ini, sudah berdiri puluhan gedung perkantoran, lapangan pacuan kuda tradisionil, serta perumahan penduduk. Direncanakan sejumlah bangunan lainya akan berdiri di sana.
Pemerintah Aceh “membiarkan” bom waktu itu cukup lama tidak diselesaikan. Di level masyarakat, walau masih asset pemerintah Aceh, namun kepemilikan lahan di sana tumpang tindih. Ada yang dijual dibawah tangan.
“Persoalan ini tidak bisa dibiarkan berlarut. Bom salju ini harus diselesaikan. Kami akan memperjuangkan dibentuknya Pansus DPR Aceh untuk menyelesaikan persoalan ini,” sebut Adam Muhlis, menjawab pertanyaan Waspada.
Tanah asset provinsi Aceh di Blang Bebangka, Kecamatan Pegasing, Aceh Tengah menjadi pembahasan publik. Mahasiswa sering melakukan demo, menuntut janji pemerintah Aceh yang sudah menyetujui 30 hektar lahan di sana untuk kampus Universitas Gajah Putih (UGP).
Janji pemerintah Aceh semasa dijabat Irwandi Yusuf itu tidak berkesudahan. UGP tetap tidak memiliki lahan kampus. Kejutan terjadi, salah seorang anggota DPRK Aceh Tengah, Syirajuddin menyerahkan sertifikat tanah di lokasi ini, kepada Gerak Gayo (aktifis anti korupsi). Syirajuddin menilai tanah yang diberikan kepadanya merupakan “upeti siluman” dari Bupati Aceh Tengah.
30 anggota DPRK priode lalu kebagian sertifikat tanah itu, bahkan sejumlah pejabat juga mengantongi sertifikat. Bagaimana prosesnya tanah ini sampai menjadi milik Pemda Aceh? Catatan Waspada, tanah yang asal muasalnya dari penduduk Kung ini luasnya mencapai 137 hektar.
Tanah di kawasan Blang Bebangka, Kecamatan Pegasing, Aceh Tengah ini akan dijadikan pabrik kertas (Kraf Aceh). Namun ahirnya lokasi pabrik dipindahkan ke Lhoksuemawe (Aceh Utara). Tidak jadi untuk pabrik, tanah di Bebangka ini diserahkan ke negara dan menjadi asset provinsi Aceh.
Saat menjadi asset Pemda Aceh, tanah 137 hektar ini pada masa Gubernur Syamsuddin Mahmud diusulkan dibebakan seluas 15 hektar untuk PT. Novasan. Kini lahan seluas 122 hektar itu sudah overlaving. Yang menguasai dan mengklaimnya cukup banyak. Bukan hanya masyarakat, namun juga ada puluhan pejabat. Sebagian lagi sudah dipergunakan untuk perkantoran Pemda Aceh Tengah dan sejumlah intansi lainya.
Bagaimana tanah itu berpindah-pindah kepemilikan. Apakah diatas tanah yang sudah dibangun perkantoran pemerintah itu, sudah diserahkan provinsi menjadi asset Aceh Tengah? Waspada menelusurinya.
Di sana sudah ada puluhan perumahan penduduk. Bahkan banyak yang mengklaim, anehnya walau milik provinsi Aceh, ada kepala desa disana (reje) mengeluarkan surat sejenis ganti usaha atau kepemilikan tanah. Jual beli dibawah tangan terus berlangsung. Disisi lain, pihak KPA juga menguasai sebagian lahan disana untuk pengembangan pertanian.
Di atas tanah ini juga sudah berdiri beragam kantor Pemda Aceh Tengah, lapangan pacuan kuda tradisionil. RSU Rujukan, Kantor Mahkamah Syariah, Kapolsek. Rencanya Makodim 0106 dan Batalyon Brimob, akan berdiri di sana, serta sejumlah program lainya. (Bersambung/ Bahtiar Gayo/ Waspada edisi Jumat 26 Juni 2015)