JAKARTA – Pertemuan antar elit politik Aceh dan penyelenggara pilkada dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) di Jakarta sore tadi tak menghasilkan kesepakatan apapun. Kemendagri menyerahkan urusan kisruh regulasi Pilkada Aceh kepada institusi masing-masing. Hal itu disampaikan Ketua Divisi Perencanaan dan Data KIP Aceh Yarwin Adi Dharma seusai pertemuan di kantor Kemendagri, Kamis (22/9) sore. Dalam pertemuan yang berlangsung sejak pukul 4.00 hingga 6.00 sore itu, kata Yarwin, tak ada hasil kongkret. “Masing-masing pihak bertahan dengan argumennya. Akihrnya, Dirjen Otda yang memimpin pertemuan, menyerahkan kembali kewenangan ke institusi masing-masing,” ujar Yarwin kepada The Atjeh Post saat dihubungi via telepon.
Sedangkan mengenai dilanjutkan atau tidaknya tahapan Pilkada belum ada keputusan. Kemendagri, kata Yarwin, menyerahkan kembaliĀ kepada KIP Aceh sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah di Aceh dan berkoordinasi dengan KPU Pusat.
Rapat membahas nasib pilkada Aceh itu dihadiri antara lain oleh Gubernur Irwandi Yusuf, Ketua DPR Aceh Hasbi Abdullah, Ketua KIP Abdul Salam Poroh beserta anggota komisioner, Ketua Pansus IV Adnan Beuransyah, Sekretaris Badan Legislasi Dewan Abdullah Saleh, Asisten I Sekda Aceh, Kepala Biro Hukum dan Humas Makmur Ibrahim. Ikut hadir anggota KPU Pusat Endang Sulastri dan perwakilan Bawaslu.
Meski diwarnai adu pendapat, kata Yarwin, para peserta pertemuan tidak terpancing emosinya. “Semua masih dalam taraf wajar,” kata Yarwin.
Kedatangan para elit politik Aceh ke kantor Kemendagri berdasarkan surat dari Kemendagri yang ditandangani Dirjen Otda Nomor 005/4268/Otda, tertanggal 21 September 2011.
Dalam surat yang dikirm ke gubenur Aceh, KIP, dan pimpinan DPRA itu disebutkan, pertemuan itu untuk mendengarkan penjelasan langsung dari pimpinan DPRA terkait rancangan Qanun pemilihan gubernur dan walikota.
Sebelumnya, lewat rapat Badan Musyawarah Dewan, DPRA memutuskan menghentikan pembahasan ulang rancangan Qanun Pilkada pada 13 September lalu. Alasannya, rancangan qanun Pilkada tidak dapat dibahas ulang karena bertentangan dengan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007, tentang Tata Cara Pembentukan Qanun. Pada pasal 33 disebutkan, rancangan qanun yang tidak mendapat persetujuan bersama antara gubernur/bupati/wali kota, dan DPRA/DPRK, tidak dapat diajukan kembali dalam masa sidang yang sama. (Yuswardi A Suud | The Atjeh Post)