Oleh. Drs. Jamhuri, MA*
Tuhan berfirman di dalam Al-Qurâan : âTalak (yang dapat dirujuk) dua kali, ⊠Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), paka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikan, maka tidak ada dosa baginya (bekas suami pertama dari isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum AllahâŠâ ( al-Baqarah 229 â 230)
Dalam hadis Nabi Bersabda â Dari Ibnu Umar dari Nabi SAW. ia berkata : Perbuatan halal yang paling di benci di sisi Allah adalah talakâ. (HR. Abi Daud).
Tulisan tentang talak (cerai) yang akan dibahas berikut dalam kaitannya dengan ayat dan hadis di atas terinspirasi dari telephon seorang tengku (tokoh masyarakat) di Kabupaten Bener Meriah jumâat pagi (22/09). Beliau meminta pendapat dari kami tentang adanya kasus dalam masyarakat, dimana antara seorang suami dan isteri telah cerai beberapa kali dan rujuk kembali dengan hitungan juga beberapa kali. Namun mereka ini sekarang kumpul kembali dalam satu rumah seperti tidak pernah melakukan perceraian.
Kejadian seperti ini tidak hanya sekali kami ketahui, tapi masih ada beberapa kasus yang serupa dan tidak dipublikasi, karena kasus serupa ini sering terjadi dalam masyarakat. Maka kendati jawaban terhadap pertanyaan yang di ajukan kepada kami telah dijawab secara lisan kepada Tgk (tokoh masyarakat) yang bertanya, maka ada baiknya melalui tulisan ini kita jelaskan kembali posisi hukum dari prilaku tersebut dan solusinya, dengan harapan semua orang dapat membaca dan dapat memberi tahu kepada orang lain.
Ayat dan Hadis tersebut berbicara tentang cerai, putusnya ikatan perkawinan ini biasa terjadi disebabkan tidak tercapainya tujuan yang akan di capai dari perkawinan tersebut. Boleh jadi perceraian itu terjadi karena sebab yang timbul dari pihak suami, pihak isteri atau juga pihak lain yang masuk ke dalam keluarga tersebut.
Tuhan melalui firman-Nya mengakui keberadaan perceraian itu, Ia membuat aturan tentang perceraian yang harus dipatuhi oleh semua orang yang mengaku dirinya muslim. Dalam ayat di atas dikatakan perceraian hanya boleh dirujuk hanya dua kali, dan kalau sudah terjadi perceraian yang ketiga kalinya maka pasangan suami-isteri yang sudah bercerai tidak boleh kembali lagi, kecuali si isteri telah menikah dengan suami yang lain dan juga bercerai dengannya. Kembalinya dengan suami pertama menurut ayat di atas dibenarkan apabila ada suatu keyakinan bahwa dapat menjalankan (mematuhi) aturan Tuhan yang telah di gariskan.
Menurut ketentuan hukum agama perceraian adalah perbuatan serius, sehingga ulama mengatakan perceraian itu sah apabila terpenuhi syarat dan rukunnya, dan kalau keduanya tidak dipernuhi maka perceraian tidak terjadi. Tukun talak adalah : Orang yang menalak, orang yang di talak dan ungkapan talak. Sedangkan syaratnya melekat pada rukun tersebut, seperti orang yang menalak dan ditalak mestilah suami/isteri yang sah, ungkapan yang digunakan harus disertai oleh sikap yang sungguh-sunggah.
Ulama fiqh mengatakan tentang hukun dari perceraian tersebut : Imam SyafiâI mengatakan perceraian itu hukum dasarnya adalah boleh, dengan sebab-sebab perceraian yang jelas, sedangkan Imam Hanafi menyebutnya dengan hukum dasar haram, karena nikah adalah nikmat Tuhan maka mereka yang memutuskan perkawinan berarti menolak nikmat dan dalam bahasa yang digunakan dengan kufur nikmat, dan perceraian hanya boleh terjadi dalam keadaan terpaksa.
Namun perceraian merupakan fenomena masyarakat yang sering terjadi sejak adanya perkawinan itu sendiri, Kendati Nabi menyebutkan perasaan Tuhan melalui hadisnya, bahwa perceraian itu boleh tertadi dan kita harus tahu bahwa perbuatan itu paling di benci.
Dalam kitab fiqh kita temukan
Tiga tipe masyarakat dalam menyikapi perceraiaan dalam kaitan dengan fenomena masyarakat :
- Menyikapi perceraian dengan pengetahuan, mereka tahu bahwa perceraian itu merupakan perbuatan yang paling di benci oleh Tuhan. Tapi mereka harus menempuh perceraian tersebut, karena akibat dari mempertahankan ikatan perkawinan lebih menyengsarakan semua pihak, hukum agama yang ada dalam ikatan kekeluargaan tidak dapat terlaksana dengan baik, kasih sayang yang seharusnya menyinari keseharian selalu padam sehingga hidup selalu dalam kegelapan, moralitas anak yang semestinya menghormati orang tua memunculkan kebencian. Kendati solusi yang diambil adalah prilaku yang dibenci Tuhan dan harus dilakukan, maka alasan tersebut membenarkan terjadinya perceraian. Mereka yang seperti ini tahu bahwa tidak boleh main-main dengan perceraian, kalaupun memang terjadi maka yang boleh dirujuk hanya dua kali perceraian Dan bila juga terjadi yang ketiga solusi yang ditawarkan Tuhan untuk menikah dengan orang lain diyakini benar dan kalau dilanggar melahirkan hukum haram.
- Orang yang taat beragama, selalu melaksanakan perintah Tuhan dan meninggalkan larangannya. Mereka tidak tahu tentang perceraian sebagai perbuatan yang paling di benci olah Tuhan, tidak tahu juga perceraian yang boleh dirujuk hanya dua kali, sehingga mereka sering bercerai dengan isterinya, lalu rujuk kembali dan ini dilakukan boleh jadi berulang-ulang. Untuk mereka ini mempunyai solusi dari ketidak tahuannya, rujuk mereka walau berulang tetap sah. Dan ini menjadi kewajiban mereka yang berpengetahuan untu memberi tahunya.
- Banyak masyarakat kita yang tidak mau tahu, mereka tidak membedakan antara penikahan dengan zina. Sebagian pernikahan yang dilangsungkan juga akibat dari perbuatan zina, ketika dinikahkan mereka hanya beranggapan bahwa nikah itu hanya legalisasi zina, dan ketika melakukan hubungan dengan orang yang dinikahi biar tidak melanggar hukum manusia. Bagi mereka ini perceraian adalah hal yang biasa, bisa dilakukan kapan saja dan berapa kali yang ia kehendaki, bahkan orang tua dan orang sekitarnya meresa bosan dan tidak mau lagi mengurus mereka (gayo : oya kin buet). Kehidupan mereka ini selalu bergelimang dengan kemurkaan Allah, solusi untuk mengatasi hal ini tidak kita temukan, kerema mereka sudah hidup di luar aturan Tuhan.
Dalam hal yang ketiga ini solusi hanya ada dalam hukum adat, kalau hukum adat selama ini belum mengatur, maka tokoh adat dan tokoh masyarakat harus membuat kesepakatan adat, sehingga kejadian seperti ini tidak dilakukan lagi oleh anggota masyarakat yang lain.