Oleh : Sabela Gayo*
Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) di Indonesia merupakan suatu kewajiban hukum (legal mandatory) sebagaimana telah diatur dalam Pasal 74 UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Kewajiban hukum merupakan suatu perintah yang harus dilaksanakan oleh setiap perusahaan yang ada di Indonesia dan Aceh dan apabila tidak dilaksanakan maka akan memperoleh sanksi hukum. TJSL yang juga dikenal dengan nama Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan bentuk komitmen dan keberpihakan pelaku usaha dalam mendorong peningkatan ekonomi dan kepedulian lingkungan sekitar perusahaan di mana perusahaan tersebut beroperasi.
Istilah TJSL/CSR pertama kali mulai mengglobal pada tahun 1970-an ketika terbitnya buku karya John Elkington yang berjudul ”Cannibals with Forks,The Triple Bottom Line in 21st Century Business”. Elkington mengemukakan bahwa dalam pembangunan berkelanjutan (sustainable development) ada 3 (tiga) elemen penting yaitu; economic growth, enviromental protection dan social equity. Dan terkait dengan isu CSR, Elkington mengemasnya dalam 3 isu penting yaitu profit, planet dan people yang disingkat dengan 3P. Elkington berpendapat bahwa suatu perusahaan yang baik tidak hanya semata-mata mengejar keuntungan (profit) tetapi juga harus memiliki kepedulian terhadap lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people).
Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) menghendaki adanya keterlibatan seluruh elemen masyarakat dalam mencapai tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan salah satu pihak yang diharapkan dapat terlibat aktif dalam pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan adalah para pelaku usaha. Pelaku usaha diharapkan dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi pembangunan ekonomi, sosial dan lingkungan masyarakat. Sebelum isu CSR mengemuka ke permukaan sebagai sebuah isu global, perusahaan-perusahaan di dunia bahkan di Indonesia sudah lebih dahulu dan dalam jangka waktu yang lama sudah mempraktikkan kegiatan-kegiatan CSR seperti memberikan bantuan ekonomi kepada masyarakat sekitar perusahaan, membantu korban bencana alam, memberikan bantuan beasiswa, bantuan bagi rumah ibadah, bantuan untuk lembaga-lembaga pendidikan, kegiatan penghijauan berupa penanaman pohon, dan sebagainya. Sehingga isu CSR bukan lah merupakan isu baru bagi kalangan pelaku usaha di Indonesia khususnya di Aceh.
Pihak perusahaan di Indonesia khususnya di Aceh masih melakukan negosiasi dan dialog dengan pemerintah terkait dengan kata-kata ”kewajiban hukum” dalam pelaksanaan TJSL sebagaimana yang dimanahkan oleh Pasal 74 UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pihak pelaku usaha merasa keberataan dengan adanya kata-kata wajib tersebut karena dikhawatirkan akan menambah beban biaya produksi perusahaan, memperlemah daya saing dan menurunkan produktifitas perusahaan. bahkan ada kecurigaan dari sebagian kalangan pelaku usaha bahwa pemerintah mau mengalihkan tanggung jawab dan kewajiban dalam mensejahterakan masyarakat dari pemerintah kepada para pelaku usaha melalui kedok program TJSL/CSR sehingga dimasukkanlah kata-kata ”kewajiban hukum” di dalam Pasal 74 UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. di negara-negara maju pelaksanaan TJSL/CSR dilaksanakan secara sukarela oleh pelaku usaha sebagai bagian dari kebutuhan dan strategi perusahaan dalam menjaga hubungan baik dan harmonis antara perusahaan, masyarakat dan lingkungannya. Para pelaku usaha merasa selama ini mereka sudah melaksanakan program-program yang bernuansa TJSL secara sukarela dan dilakukan dalam rangka membangun hubungan yang harmonis antara perusahaan dan masyarakat sekitar perusahaan, tetapi mengapa harus dilaksanakan sebagai sebuah ”kewajiban hukum” yang diatur di dalam UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Proses dialog dan diskusi panjang serta tarik-menarik kepentingan antara pelaku usaha dan pemerintah semakin memperlambat keluarnya aturan pelaksana Pasal 74 yang seharusnya sudah dikeluarkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah sebagai landasan operasional pelaksanaan TJSL/CSR di Indonesia.
Perusahaan-perusahaan di Indonesia khususnya di Aceh sudah melaksanakan program-program bernuansa TJSL/CSR oleh karena itu kita mengenal adanya istilah-istilah seperti Amal Perusahaan (Corporate Charity), Kedermawanan Perusahaan (Corporate Philanthropy), Relasi Kemasyarakatan Perusahaan (Corporate Community/Public Relations), Pengembangan Masyarakat (Community Development) dan Kewarganegaraan Perusahaaan (Corporate Citizenship). Banyak sekali istilah-istilah yang digunakan oleh masing-masing perusahaan dalam mengimplementasikan program-program TJSL/CSR-nya. Keberagaman istilah ini menunjukkan bahwa selama ini pelaku usaha tetap menunjukkan kepedulian terhadap pembangunan ekonomi masyarakat dan lingkungan disekitar perusahaan. dan dengan keluarnya PP TJSL diharapkan keberagaman istilah tersebut dapat diminimalisir sehingga terjadi keseragaman dalam penyebutan program-program TJSL.
Keberadaan dana TJSL/CSR yang berada di berbagai perusahaan yang beroperasi di Indonesia maupun di Aceh justru dikhawatirkan akan terjadi rebutan dana TJSL/CSR antara pemerintah daerah, masyarakat adat dan kelompok-kelompok LSM. Di beberapa daerah, begitu pemerintah daerah tahu akan keberadaan dana TJSL/CSR tersebut maka biasanya pemerintah daerah langsung cepat-cepat membuat peraturan daerah/qanun yang bertujuan agar semua dana TJSL/CSR yang ada didaerahnya agar disetorkan ke kas daerah dengan alasan akan dijadikan sebagai dana tambahan dalam melaksanakan pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat di daerahnya. Hal ini apabila tidak diatur dan diawasi secara ketat justru akan menjadi lahan korupsi baru bagi para pejabat di daerah dan bukan tidak mungkin pelaksanaannya pun tidak tepat sasaran serta tidak sesuai dengan semangat dan tujuan dikeluarkannua dana TJSL/CSR oleh para perusahaaan tersebut.
Pemerintah harus segera memberikan kebijakan-kebijakan/insentif-insentif bagi perusahaan-perusahaan yang menjalankan program TJSL/CSRnya secara bertanggung jawab. Insentif tersebut dapat berupa pengurangan pajak, pengurangan bunga pinjaman modal, mempermudah akses modal kerja bagi perusahaan, mempermudah perizinan investasi, dan insentif-insentif yang menguntungkan lainnya. Karena jika tidak ada insentif-insentif seperti itu maka beban perusahaan akan semakin berat terkait dengan pelaksanaan ”kewajiban hukum TJSL/CSR” tersebut. Disatu sisi perusahaan harus mengalokasikan dana yang lumayan besar untuk melaksanakan program-program TJSL/CSR tetapi disisi lain pelaku usaha juga masih dibebankan dengan pajak-pajak, retribusi-retribusi dan pungutan-pungutan yang sangat menguras kas perusahaan.
Program-program TJSL/CSR yang diamanahkan oleh Pasal 74 mengharapkan adanya proses keberlanjutan dan tidak hanya sebatas kegiatan amal perusahaan yang bersifat taktis dan jangka pendek. Disini lah letak perbedaan antara program TJSL/CSR dengan kegiatan-kegiatan amal yang selama ini telah dipraktikkan oleh para pelaku usaha di Indonesia maupun di Aceh.sebelum berlakunya Pasal 74 UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas para pelaku usaha mungkin sudah sering melaksanakan kegiatan berupa bantuan beasiswa, bantuan rumah ibadah, bantuan alat-alat olahraga, bantuan bagi korban bencana alam, dan sebagainya tetapi setelah diterapkannya Pasal 74 tersebut, diharapkan program-program TJSL/CSR tidak hanya terbatas pada kegiatan-kegiatan seperti tersebut diatas saja tetapi diharapkan lebih luas dari semua kegiatan-kegiatan yang selama ini sudah dilakukan oleh para pelaku usaha dengan menitikberatkan adanya unsur keberlanjutan dalam setiap program TJSL/CSR yang dijalankan oleh masing-masing perusahaan.
Jauh sebelum diterapkannya kata-kata ”kewajiban hukum” dalam pelaksanaan TJSL/CSR di dalam Pasal 74 UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, perusahaan-perusahaan BUMN sudah melaksanakan program-program bernuansa TJSL yang dikemas dalam program yang disebut Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). Program PKBL terdiri atas 2 (dua) komponen utama yaitu program kemitraan dan program bina lingkungan. Program kemitraan dititikberatkan dengan memberikan bantuan dan pinjaman berbungan rendah kepada usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi sedangkan program bina lingkungan dititikberatkan pada bantuan-bantuan jangka pendek seperti bantuan pendidikan, beasiswa, bantuan bagi korban bencana alam, bantuan olahraga bagi pemuda, bantuan untuk rumah ibadah, dan sebagainya. Walaupun pemerintah belum mengeluarkan PP TJSl sebagai landasan operasional pelaksanaan Pasal 74 UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, pihak kementerian BUMN sudah mengeluarkan berbagai macam kebijakan yang mendukung terlaksananya Pasal 74 baik sebelum Pasal 74 di berlakukan melalui UU No.40 tahun 2007 maupun sesudah Pasal 74 diberlakukan. Beberapa kebijakan kementerian BUMN yang sudah dikeluarkan terkait dengan program-program bernuansa TJSL, yaitu;
1. Surat Edaran Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor SE.433/MBU/2003 tanggal 16 September 2003 tentang Petunjuk Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan.
2. Peraturan Menteri BUMN Nomor PER.05/MBU/2007 tanggal 27 April 2007 tentang Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan.
3. Surat Edaran Menteri Negara BUMN Nomor SE-07/MBU/2008 tentang Pelaksanaan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan dan Penerapan Pasal 74 UU No.40 Tahun 2007.
Pelaksanaan TJSL/CSR di negara-negara lain seperti Singapura dan Malaysia masih bersifat sukarela dan belum diatur sebagai suatu ”kewajiban hukum” seperti di Indonesia. Sehingga Indonesia selangkah lebih maju dibandingkan negara-negara tetangga dalam mengatur isu TJSL/CSR. Tetapi walaupun masih bersifat sukarela, pelaksaanan TJSL/CSR di Singapura dan Malaysia dikaitkan dengan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance) bahkan bagi perusahaan-perusahaan yang tidak menjalankan program TJSL/CSRnya dengan baik dan bertanggung jawab akan memperoleh ”rapor merah” terkait dengan pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance) dan ”rapor merah” yang diperoleh oleh perusahaan-perusahaan tersebut akan berakibat fatal terhadap tingkat penjualan saham perusahaan yang bersangkutan di pasar modal dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap eksistensi perusahaan yang bersangkutan.
*Mahasiswa Gayo di Malaysia