Oleh. Drs. Jamhuri, MA*
Terjemahan firman Allah dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 97, “mengerjakan haji kewajiban manusia kepada Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah”.
Sabda Rasulullah SAW : “ Hai sekalian manusia, Allah telah memfardhukan haji, maka berhajilah” (HR. Ahmad dan Nasa’i)
Departemen Agama dalam al-Qur’an dan terjemahnya mengartikan kata istitha’ah dengan sanggup mendapatkan perbekelan, alat pengangkutan, kesehatan jasmani dan keamanan dalam perjalanan. Tidak jauh berbeda dengan apa yang dipahami oleh ahli tafsir bahwa kesanggupan yang disebut dengan “al-Qudrah” adalah sanggup sampai ketujuan dengan fisik yang sehat, sanggup berjalan kaki atau kenderaan, juga keamanan jiwa, harta dan agama. (Abu al-Abbas, al-Bahr al-Madid, 1:470)
Pemaknaan Kementerian agama dan Abul Abbas tersebut memberi arti kepada kita bahwa dalam pelaksanaan ibadah haji yang merupakan rukun Islam, ada dua hal yang dibebankan kepada setiap muslim. Yaitu mempersiapkan bekal dan menjaga kesehatan jasmani. Sedangkan kewajiban kepada pemerintah adalah menyiapkan transportasi dan menjamin keamanan dan kelancaran perjalanan sejak keberangkantan sampai tiba kembali di tempat tujuan waktu kembali.
Sebagian dari ulama tafsir berdiskusi dalam memaknai kata Istitha’ah dalam ayat diatas dengan kesanggupan dalam hubungannya dengan keutamaan/keafdhalan, sebagian mereka mengaitkan keutamaan kesanggupan dengan kesanggupan berjalan kaki lebih utama dari dengan kenderaan, sebagian lagi mengatakan kesanggupan itu tidak hanya kesanggupan berjalan kaki atau berkenderaan. Karena disamping kesanggupan tersebut bagi mereka yang berhaji perlu juga makan, minum dan penginapan sesta kebutuhan lain. (al-Syanqithy, adhwa’ al-Bayan fi Idhah al-Qur’an bi al-Qur’an, 4 : 300).
Pada era 70-an dan sebelumnya ketika masyarakat yang tinggal di dataran tinggi Gayo menekuni kehidupan mereka dengan bertani khususnya sawah, maka pada saat yang bersamaan juga mereka hidup dengan berternak utamanya kerbau. Kerbau yang digunakan untuk membajak sawah semakin lama semakin banyak, dan ketika empunya sudah mulai tidak sanggup lagi mengerjakan sawah, mereka menjual kerbau untuk digunakan sebagai ongkos naik haji. Ada juga yang masih dalam usia relative muda melaksanakan ibadah haji, tapi itu hanya terbatas pada mereka yang mempunyai banyak kerbau. Karena itulah yang harta mereka yang dapat digunakan untuk berangkat naik haji.
Mata pencaharian atau profesi hidup bertambah banyak dan semakin berkembang, mereka yang hendak melaksanakan haji tidak lagi menumpukan nasib pada jumlah kerbau yang dimiliki — karena kerbau juga pada saat ini sudah jauh berkurang –. Tapi juga bisa dari profesi lain, seharusnya mereka yang menunaikan haji semakin banyak dan usia juga semakin muda. Kenyataan seperti ini terbukti, jumlah orang naik haji bertambah tahun bertambah banyak, usia haji pada masa dahulu identik kini dengan masa tua mulai berubah, kendati untuk sebagian kecil masyarakat masih identik dengan realita masa lalu.
Masa lalu, kewajiban haji sebagaimana perintah Tuhan di atas sangat ditentukan oleh kesanggupan indivdu, apabila sesorang punya kesanggupan harta dan punya fisik yang sehat maka kapan saja ia boleh medaftar dan berangkat naik haji. Kendati demikian tidak juga banyak orang yang naik haji, mereka hanya melaksanakan haji sekali dalam hidupnya, karena begitulah ketentuan Tuhan.
Jumlah penduduk dunia semakin banyak, profesi hidup juga tidak terhitung jumlahnya. Tampaknya kewajiban haji yang dahulu tertumpu pada individu, Kini beralih pada besarnya peran pemerintah untuk menentukan siapa yang didahulukan dan dikemudiankan. Dalam situasi yang azimah (normal) pemerintah tetap mengurut berdasarkan nomor kursi berdasarkan pendaftaran, sedang dalam keadaan rukhshah (kemudahan/kebijakan) pemerintah juga punya kewenangan untuk merubah urutan tersebut atau menambahnya.
Nampaknya itulah hikmah, kenapa Tuhan mewajiban haji sekali seumur hidup bagi setiap muslim, tidak mengenal jarak-dekatnya tempat dan lama-pendeknya waktu. Seharusnya akal manusia katakan bahwa kewajiban sekali berhaji hanya bagi mereka yang jauh tempat tinggalnya, tapi Tuhan dan utusan-Nya Muhammad tidak katakan demikian karena haji sangat berhubungan dengan daya tampung tempat ibadah.
Jadi istitha’ah atau kesanggupan dalam firman Tuhan “Ali Imran : 97” melibatkan social imaginaire Muhammad sebagai Nabi yang melaksanakan haji tidak hanya sekali dalam hidupnya, dan menjadikan haji selanjutnya sebagai sunat. Kita mencoba mehami kembali makna ayat tersebut dengan cara dekonstruksi. Artinya tidak ada maksud lain dari ayat kecuali memerintahkan kepada semua orang untuk melaksanakan haji hanya sekali seumur hidup.
* Mahasiswa Prodi Fiqh Modern pada Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh